Jumat, 31 Desember 2010

Strategi Pembelajaran Terkini

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN TERKINI
DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

Abstrak
Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, namun belum dapat menunjukkan hasil yang menggembirakan. Keterbelakangan mutu pendidikan di Indonesia dipicu oleh berbagai faktor yang saling mengkait sehingga membentuk jalinan yang kompleks. Salah satu faktor yang diduga sebagai biangnya ialah peran guru yang masih mengacu pada paradigma konvensional yang di ilhami oleh pandangan behavioristik. Kini, hendaknya guru tidak perlu lagi mempertahankan paradigma lama itu. Upaya alternatif yang dapat ditawarkan ialah menerapkan strategi pembelajaran terkini yang telah diakui kemampuannya mengusung mutu pendidikan di negara-negara maju. Strategi/pendekatan dimaksud seperti Contekstual Teaching and Learning (CTL), pendekatan Berbasis Masalah, Cooperative Learning, Inkuiri, pendekatan PAKEM, dan sebagainya.

Kata Kunci: Penerapan, Strategi, Pembelajaran, Mutu

RASIONAL
Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia telah lama dilakukan. Berbagai inovasi dan program pendidikan juga telah dilaksanakan, seperti penyempurnaan kurikulum (oleh pusat), pengadaan buku teks, peningkatan mutu pendidik dan kependidikan melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualifikasi pendidikan, peningkatan manajemen pendidikan, pengadaan fasilitas lainnya, hingga diimplementasikannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah dengan sistem desentralisasinya masih menggema.
      Namun berbagai indikator menunjukkan bahwa mutu pendidikan masih belum meningkat secara signifikan. Beberapa tahun terakhir diketahui bahwa perolehan Nilai Ebta Murni (NEM) Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) relatif rendah dan tidak mengalami peningkatan yang berarti. Dari dunia usaha juga muncul keluhan bahwa lulusan yang memasuki dunia kerja belum memiliki kesiapan kerja yang baik. Depdiknas (dalam Sukmadinata, 2002: 23) juga melaporkan bahwa kualitas pendidikan Indonesia menduduki peringkat ke-109 sedangkan Malaysia menempati urutan ke-60 dari seluruh negara di dunia.
        Keterbelakangan pendidikan Indonesia diduga disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain peran dan hakikat guru/siswa dalam kegiatan pembelajaran yang masih mengacu pada paradigma lama yang konvensional. Sehubungan dengan itu, maka hubungan antara guru dan siswa perlu diperbarui. Jika selama ini guru lebih otariter, sarat komando, instruktif, bergaya birokrat, perlu diubah peran dan hakikatnya menjadi sosok ibu/bapak, kakak, sahabat atau mitra dan kolega.
       Berikut profil pendidikan gaya konvensional selama ini (1) guru mengajar, siswa belajar; (2) guru tahu segalanya, siswa tidak tahu apa-apa; (3) guru berpikir, siswa dipikirkan; (4) guru bicara, siswa mendengarkan; (5) guru mengatur, siswa di atur; (6) guru memilih dan memaksakan pilihannya, siswa menuruti sesuai tindakan guru; (7) guru bertindak siswa membayangkan bagaimana bertindak; (8) guru memilih apa yang diajarkan siswa menyesuaikan diri; (9) guru mengacaukan wewenang wawasan yang dimilikinya dengan wewenang profesionalisnya dan mempertentangkan dengan kebebasan siswa; dan (10) guru merupakan subjek proses pembelajaran, siswa objeknya.
        Berdasarkan hal-hal diatas, guru tidak boleh lagi mempertahankan paradigma lama tersebut. Teori, penelitian, dan hasil proses pembelajaran membuktikan, bahwa para guru sudah harus mengubah paradigma pembelajaran. Salah satu upaya yang ditawarkan ke arah itu adalah dengan menerapkan strategi pembelajaran terkini. Strategi dalam konteks tulisan ini mencakup pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.

PERUBAHAN PARADIGMA
Ada persepsi umum yang sudah berakar dalam dunia pendidikan dan juga sudah menjadi harapan masyarakat. Persepsi umum ini menganggap bahwa sudah menjadi tugas guru untuk mengajar siswa dengan muatan-muatan informasi dan pengetahuan. Guru perlu bersikap atau setidaknya dipandang oleh siswa sebagai yang membantu dan sumber informasi. Lebih celaka lagi, siswa belajar dalam situasi yang membebani dan menakutkan karena dibayangi oleh tuntutan mengejar standar minimal perolehan NEM yang ditetapkan oleh pusat.
        Dari hasil evaluasi sekolah-sekolah di negara Jepang dan Jerman, diperoleh gambaran bahwa peran guru-guru di kelas tidak dominan lagi (Manik, 2005: 3). Guru tidak dituntut untuk menjadi “pemberi” namun sebagai “perangsang” jiwa kreatif siswa. Negara lain, Italia contohnya, sejak awal para guru Taman Kanak-Kanak(TK) sudah menyadari bahwa siswa memiliki kemampuan berbeda sehingga tugas guru bukanlah menuntut siswa untuk memiliki kemampuan seragam, tetapi bagaimana agar setiap siswa memiliki kemampuan optimal dengan memperhatikan perbedaan-perbedaan yang melatarbelakanginya.
        Beberapa virus yang tampak di dunia pendidikan bersumber dari paradigma sentralisasi, diantaranya penggunaan kurikulum seragam, penggunaan strategi belajar yang seragam, penggunaan buku teks yang seragam, evaluasi yang seragam, dan bahkan sampai pada pakaian pun harus seragam. Semua bentuk penyeragaman tersebut telah berhasil membentuk anak bangsa yang sangat menghargai kesamaan dan tanpa sadar ternyata juga telah berhasil membentuk anak-anak bangsa yang mengabaikan penghargaan pada keragaman. Anak-anak sekarang sangat sulit menghargai perbedaan. Perilaku yang berbeda lebih dilihat sebagai kesalahan yang harus dihukum.
Anak-anak perlu mempersiapkan diri dalam memasuki era demokratisasi, suatu era yang ditandai dengan keragaman perilaku, dengan cara terlibat dan mengalami secara langsung proses pendemokrasian ketika mereka berada dalam setting belajar di sekolah. Penghargaan terhadap perbedaan perlu ditumbuhkembangkan sejak dini. Keterlambatan hanya akan memberikan peluang terjadinya peristiwa kekerasan seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini.
        Terkait hal tersebut, perlu ada perubahan paradigma dalam menelaah dan menyikapi sistem pendidikan. Proses belajar siswa dan interaksi antara siswa dan guru (proses pembelajaran) dalam kelas misalnya. Sudah seyogyanya mempertimbangkan siswa. Siswa bukanlah sebuah ‘botol kosong’ yang dapat diisi dengan muatan-muatan informasi yang dianggap perlu oleh guru. Selain itu, alur proses pembelajaran tidak harus berasal dari guru menuju siswa. Siswa juga dapat saling mengajar sesama siswa lainnya. Bahkan banyak penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran oleh rekan-rekan sebaya(peer teaching) ternyata lebih efektif daripada pengajaran oleh guru (lie, 2005: 13)

STRATEGI PEMBELAJARAN TERKINI SEBAGAI ALTERNATIF
       Sebagaimana yang disinggung pada bagian Rasional, strategi dalam konteks tulisan ini meliputi pendekatan, metode dan teknik. Pendekatan adalah konsep dasar yang melingkupi metode dengan cakupan teoretis tertentu, seperti pendekatan Contekstual Teaching and Learning (CTL), pendekatan Berbasis Masalah, Cooperative Learning, pendekatan Inkuiri, dan pendekatan PAKEM.
        Adapun pendekatan belajar yang relevan dengan kondisi saat ini dan yang dapat mendukung KTSP adalah antara lain sebagai berikut.
1) Pendekatan Contekstual Teaching and Learning
        Pendekatan kontekstual adalah konsep belajar yang menghubung-hubungkan materi dan proses pembelajaran dengan situasi dunia nyata. Dengan pendekatan ini, guru akan menghubungkan materi pembelajaran dengan dunia nyata siswa, kemudian siswa akan terndorong pula untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan keseharian. Pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru ketika ia belajar. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih baik dan bermakna jika mereka “mengalami” langsung secara alami apa yang dipelajarinya dan bukan sekedar “mengetahui”-nya.
2) Pendekatan Berbasis Masalah
        Pendekatan berbasis masalah adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pembelajaran. Pendekatan ini digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi yang berorientasi pada masalah, termasuk belajar bagaimana belajar. Siswa dilatih untuk memecahkan masalah yang diajukan oleh guru dan/atau siswa. Kemudian siswa secara individu atau berkelompok memecahkannya.
3) Pendekatan Cooperative Learning
        Pendekatan Cooperative Learning adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menghindari suasana belajar yang kompetitif, karena dalam belajar kompetitif terdapat dua variabel yang harus bersaing ketat, yaitu ada yang menang dan yang dikalahkan. Secara tidak sadar pembelajaran seperti ini justru akan menimbulkan ketersinggungan dan kesalahpahaman di antara siswa, yang memungkinkan terjadinya saling bermusuhan. Dampaknya, yang mampu maju terus dan yang kalah terkucilkan, bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi yang lebih parah lagi.
        Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa manusia memiliki derajat potensi yang berbeda-beda. Karena perbedaan itu, manusia dapat saling asah, asih, dan asuh sehingga terjadi masyarakat belajar(learning community). Siswa tidak harus belajar dari guru tetapi juga dari sesama siswa. Metode pembelajaran yang cocok untuk pendekatan ini yaitu STAT (Student Team Achievement Divisions), Jigsaw, GI (Group Investigation), dan sebagainya.
4) Pendekatan Inkuiri
        Pendekatan inkuiri adalah suatu pendekatan yang berusaha mendorong siswa untuk belajar dengan sebagian besar melalui keterlibatan aktif dalam menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip dengan melakukan berbagai percobaan. Dasar pikirannya adalah pengetahuan itu merupakan proses dan bukan suatu produk. Dengan pendekatan ini, siswa termotivasi untuk mengetahui dan melanjutkan pekerjannya hingga menemukan jawabannya.
        Siklus pembelajaran inkuiri dimulai dengan observasi (observation) yang menjadi dasar pemunculan berbagai pertanyaan (questioning) yang diajukan siswa. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut dikejar dan diperoleh siklus pembuatan prediksi dengan perumusan hipotesis (hiphotesis), pengembangan cara-cara pengujian hipotesis, pembuatan observasi lanjutan, penciptaan teori dan model konsep atau simpulan (conclution) yang didasarkan pada data dan pengetahuan. Berdasarkan siklus tersebut, pendekatan inkuiri dapat menciptakan berbagai kesempatan bagi guru untuk mempelajari bagaimana otak siswa bekerja dan dapat memanfaatkannya untuk menentukan situasi yang tepat dan memfasilitasi siswa dalam proses pencarian ilmu.
5) Pendekatan PAKEM
PAKEM merupakan singkatan dari Pembelajaran, Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Berikut deskripsi masing-masing komponen.
(a) Pembelajaran
Pembelajaran (bukan proses belajar-mengajar) adalah proses atau cara untuk menjadikan siswa belajar sesuai dengan kemampuannya sehingga belajar menjadi suatu proses aktif dalam membangun makna informasi dan pengalaman yang diperolehnya.
(b) Aktif
        Untuk aktifnya kegiatan pembelajaran, siswa harus dipandang sebagai subjek. Artinya siswalah yang seharusnya aktif yaitu merencanakan dan mereka sendirilah yang melaksanakan belajar. Pada kenyataannya di sekolah-sekolah, seringkali guru yang aktif sehingga siswa tidak diberi kesempatan untuk itu. Aktif yang dimaksud di sini adalah aktif jasmani dan rohani. Untuk aktifnya siswa maka guru hendaknya memberikan aktivitas(kegiatan) yang berupa (a) Aktivitas visual seperti membaca, menulis, melakukan eksperimen, dan berdemonstrasi; (b) Aktivitas lisan seperti bercerita, membaca puisi, tanya jawab, berdiskusi, dan menyanyi; (c) Aktivitas mendengarkan seperti mendengarkan penjelasan guru, mendengarkan penjelasan temannya; (d) Aktivitas gerak seperti menari, senam, melukis; dan (e) Aktivitas menulis seperti mengarang, membuat surat, membuat makalah. Setiap jenis aktivitas tersebut memiliki kadar atau bobot yang berbeda, tergantung pada tujuan yang hendak dicapai. Jadi, aktif dalam PAKEM merupakan sistem pembelajaran yang menggiatkan siswa secara jasmani dan rohani(mental) untuk memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara kognitif, afektif dan psikomotor.
(c) Kreatif
       Pada hakikatnya setiap manusia memiliki potensi untuk kreatif. Kreatif adalah daya untuk menciptakan sesuatu dalam angan-angan. Jika siswa berfantasi bahwa pekan depan sekolah akan mengadakan rekreasi ke pantai Hu`u, tentu mereka bayangkan berbagai makanan serta mandi bersama kawan-kawan dipantai. Apabila siswa berfantasi bakal terjadi lomba dangdut di sekolah, tentu mereka membayangkan suara merdu vokalis dengan berbagai instrumen musik dandut. Dua contoh di atas merupakan sebagian cara melatih siswa untuk mengembangkan kreativitas.
        Banyak cara yang dapat dilakukan guru dalam menggali kreativitas ini seperti menyelesaikan gambar, menceritakan gambar, menyusun kata menjadi kalimat, latihan mengedit tulisan kawan, dan sebagainya. Apabila seseorang melakukan kreativitas self consep maka ia akan tumbuh. Oleh sebab itu, upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan kreativitas perlu digali terus. Jadi, kreatif merupakan kemampuan seseorang dalam menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga dapat memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa.
(d) Efektif
        Kata efek mengandung makna pengaruh atau akibat dan efektif bermakna ada pengaruhnya, ada akibatnya. Terkait dengan itu, efektif dalam perspektif pembelajaran merupakan segala bentuk kegiatan yang mampu menciptakan hasil sebagai berdampak (outcome) dari proses pembelajaran. Ada banyak cara untuk menciptakan pembelajaran yang efektif, antara lain seperti yang dikemukakan Usman (2002) berikut ini: (a) melibatkan siswa secara aktif, (b) menarik minat dan perhatian siswa, dan (c) membangkitkan motivasi siswa.
(e) Menyenangkan
        Menyenangkan (joyful) dalam perspektif ini adalah kegiatan pembelajaran yang enjoy, sehingga siswa betah dan perhatiannya terfokus dalam belajar. Untuk menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain (a) menganggap siswa sebagai bapak/ibu, kakak, kawan atau mitra dan sebaliknya, (b) membuat pujian, (c) belajar melalui mengalami. Semua siswa diharapkan memperoleh pengalaman langsung melalui indarawi yang memungkinkan mereka memperoleh informasi dari melihat, mendengarkan, meraba, mencicipi, dan mencium. Dalam hal ini terdapat beberapa topik yang tidak mungkin dapat disediakan pengalaman nyata, guru dapat menggantikannya dengan model atau situasi buatan dalam wujud simulasi. (d) Menyediakan umpan balik yang bermakna. Umpan balik adalah respon atau reaksi guru terhadap tingkahlaku siswa. Apa yang dilakukan guru ketika siswa bertanya? Ketika siswa berpendapat? Ketika siswa menunjukkan hasil kerja? Ketika siswa membuat kesalahan?. Umpan balik yang baik adalah respon yang tidak memvonis “salah”, “bukan!”, “tidak!”, “baik!”, “betul!” merupakan umpan balik memvonis.
Pendekatan PAKEM didasarkan pada prinsip-prinsip berikut ini.
(a) Pengetahuan ditemukan, dibentuk dan dikembangkan oleh siswa: Guru menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan siswa membentuk makna dari bahan pembelajaran melalui suatu proses belajar dan menyimpannya dalam ingatan yang sewaktu-waktu dapat diproses dan dikembangkan lebih lanjut (Freire, 1970: 82).
(b) Siswa membangun pengetahuan secara aktif: Belajar merupakan kegiatan yang dilakukan oleh siswa. Bukan sesuatu yang dilakukan terhadap siswa. Siswa tidak menerima pengetahuan dari guru atau kurikulum secara pasif. Teori skemata menjelaskan bahwa siswa mengaktifkan struktur kognitif akomodasi masukan-masukan pengetahuan yang baru (Piaget, 1952: 43 & 1960: 76). Jadi penyusunan pengetahuan yang terus-menerus menempatkan siswa sebagai peserta yang aktif.
(c) Guru perlu berusaha mengembangkan kompetensi dan kemampuan siswa: Kegiatan pembelajaran harus lebih menakankan pada proses daripada hasil. Setiap orang pasti mempunyai potensi. Paradigma lama mengklasifikasikan siswa dalam kategori prestasi belajar seperti dalam penilaian rangking dan hasil-hasil tes. Paradigma lama ini menganggap kemampuan sebagai suatu yang sudah mapan dan tidak dipengaruhi oleh usaha dan pendidikan. Paradigma baru mengembangkan kompetensi dan prestasi siswa berdasarkan asumsi bahwa usaha dan pendidikan dapat meningkatkan kemampuan siswa sampai setinggi yang dia bisa (Rogers, 1982: 80).
(d) Pendidikan adalah interaksi pribadi diantara para siswa dan interaksi antara guru dan siswa: Kegiatan pendidikan adalah suatu proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa interaksi antarpribadi. Belajar adalah suatu proses pribadi tetapi juga proses sosial yang terjadi ketika masing-masing orang berhubungan dengan yang lain dalam membangun pengertian dan pengetahuan bersama (Johson, Johson & Smith, 1991: 64).
(e) Siswa dilibatkan dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman & kemampuan dengan menekankan pada belajar melalui berbuat (learning by doing).
(f) Guru menggunakan berbagai alat bantu untuk membangkitkan semangat termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar. Masalahnya, mengapa sampai saat ini masih ada guru yang enggan menggunakan media dalam pembelajaran? Berdasarkan pengalaman dan diskusi dalam berbagai kesempatan dengan teman-teman guru, sekurang-kurangnya ada enam penyebab guru tidak menggunakan media, yaitu; (1) media itu repot, (2) media itu canggih dan mahal, (3) tidak bisa, (4) media itu hiburan sedangkan belajar itu serius, (5) media tidak tersedia, dan (6) kebiasaan menikmati bicara (baca Maman, 2006: 38).
Selanjutnya tentang metode. Metode merupakan jabaran dari pendekatan. Satu pendekatan dapat dijabarkan ke dalam beberapa metode. Metode adalah prosedur pembelajaran yang difokuskan pada pencapaian tujuan. Dari metode, teknik pembelajaran diturunkan secara aplikatif. Satu metode dapat diaplikasikan melalui berbagai teknik pembelajaran. Teknik adalah cara kongkret yang dipakai saat proses pembelajaran berlangsung. Berikut ini merupakan beberapa teknik alternatif yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran sebagai strategi alternatif dalam upaya meningkatkan proses dan hasil pembelajaran.
1) Bermain Lempar Kata
Dikatakan bermain lempar kata karena dalam prosesnya kata yang diproduksi dan dilempar sampai membentuk sebuah kalimat. Teknik ini cocok untuk pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Teknik pelaksanaannya sebagai berikut.
Aturlah tempat duduk siswa berderet ke belakang dalam formasi lima sampai enam orang. Siswa yang paling depan menyebutkan satu kata ke teman dibelakangnya sambil mencatat kata itu dalam buku. Siswa belakangnya menambah satu kata sehingga membentuk dua kata yang berkaitan untuk disampaikan kepada teman di belakangnya. Siswa diurutan ketiga menambah satu kata lagi kemudian disampaikan ke siswa diurutan keempat. Siswa keempat menambah satu kata lagi dan menyampaikan ke teman dibelakangnya. Siswa terakhir menambah satu kata sehingga membentuk kalimat. Kalimat tersebut dicatat oleh siswa ke lima ke dalam buku yang disediakan. Kata terus dilemparkan dari depan ke belakangnya dengan cepat karena dilombakan.
Selama kegiatan berlangsung, guru bertindak sebagai fasilitator. Guru
memberikan penjelasan tentang aturan permainan. Setelah penjelasan di anggap cukup, guru dapat memberikan aba-aba pertanda permainan dimulai. Jangan lupa guru melihat jam sebagai pembatas waktu. Jangan sampai waktu yang diberikan terlalu lama sebab akan melemahkan motivasi siswa.
Setelah dimulai guru melakukan pengamatan sambil menjaga irama permainan. Motivasilah siswa agar dapat dengan cepat mengungkapkan kata tambahan atau membentuk kalimat. Guru jangan sampai berdiri pada salah satu kelompok tetapi usahakan berada pada semua kelompok dengan cara mengelilingi kelas.
Guru juga mencatat jumlah kalimat yang dihasilkan oleh setiap kelompok seperti permainan pertama. Kegiatan selanjutnya adalah mereviu tiap kalimat yang dihasilkan siswa. Yang logis dikumpulkan ke yang logis dan sebaliknya. Kemudian guru menyatakan bahwa kalimat baik terdapat pada kelompok A dan yang kurang baik terdapat pada kelompok B. Kemudian guru bertanya kepada siswa tentang alasan bahwa A merupakan kalimat baik dan B buruk. Untuk hal tersebut siswa dapat bekerja secara berkelompok. Jadi tanpa guru berceramah tentang kalimat yang baik dan buruk siswa mengerti dengan sendirinya.
Dari permainan tersebut tampaknya semua siswa terlibat. Yang pasif pun terlibat karena dipengaruhi oleh situasi kelas. Siswa tampak aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan dalam membuat kalimat dan merasa tidak digurui.
2) Kancing Gemerincing
Teknik kancing gemerincing dikembangkan oleh Spencer Kogan pada tahun 1992(Lie, 2005: 62). Teknik ini dapat digunakan pada semua matapelajaran dan untuk semua tingkatan usia siswa. Dalam kegiatan kancing gemerincing masing-masing anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk memberikan kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan dan pikiran anggota yang lain. Keunggulan lain dari teknik ini adalah untuk mengatasi hambatan pemerataan kesempatan yang sering mewarnai kerja kelompok. Dalam banyak kelompok sering ada siswa yang terlalu dominan dan banyak bicara. Sebaliknya juga ada siswa yang pasif dan pasrah saja pada rekannya yang lebih dominan. Dalam situasi seperti ini, pemerataan tanggung jawab dalam kelompok bisa tidak tercapai karena anak yang pasif akan selalu menggantungkan diri pada rekannya yang dominan.
Adapun langkah-langkah kegiatan pembelajaran dengan teknik ini adalah sebagai berikut (1) guru menyiapkan satu kotak kecil yang berisi kancing-kancing(bisa juga benda-benda lainnya, seperti kelereng, kedelai, biji jagung, batang lidi, dan lain sebagainya); (2) sebelum kelompok memulai tugasnya, setiap siswa dalam masing-masing kelompok mendapatkan dua atau tiga buah kancing (jumlah kancing tergantung pada sukar-tidaknya tugas yang diberikan); (3) Setiap kali seorang siswa berbicara atau mengeluarkan pendapat, dia harus menyerahkan salah satu kancingnya dan meletakannya di tengah-tengah; (4) Jika kancing yang dimiliki seorang siswa habis, dia tidak boleh berbicara lagi sampai semua rekannya juga menghabiskan kancing mereka; dan (5) jika semua kancing sudah habis, sedangkan tugas belum selesai, kelompok boleh mengambil sepakat untuk membagi-bagi kancing lagi dan mengulangi prosedur kembali.
3) Berkirim Salam dan Soal
Teknik belajar Berkirim Salam dan Soal memberi kesempatan kepada siswa untuk melatih pengetahuan dan keterampilan mereka. Siswa membuat pertanyaan sendiri, sehingga akan merasa lebih terdorong untuk belajar dan menjawab pertanyaan yang dibuat oleh teman-temannya sendiri di kelas. Teknik ini cocok untuk persiapan menjelang tes atau ujian dan dapat digunakan dalam semua matapelajaran dan untuk semua tingkatan usia siswa.
Langkah-langkah kegiatan teknik ini adalah sebagai berikut. (1) Guru membagi siswa dalam kelompok berempat dan setiap kelompok ditugaskan untuk menuliskan beberapa pertanyaan yang akan dikirim ke kelompok yang lain. Guru bisa mengawasi dan membantu memilih soal-soal yang cocok; (2) kemudian masing-masing kelompok mengirimkan satu orang utusan yang akan menyampaikan salam dan soal dari kelompoknya (salam kelompok bisa berupa sorak dan atau tepuk pramuka); (3) setiap kelompok mengerjakan soal kiriman dari kelompok lain; (4) Setelah selesai, jawaban masing-masing kelompok yang membuat soal.
4) Bermain Arisan dan Lempar Bola
Teknik ini cocok untuk pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada topik membaca intensif (baca Maman, 2006: 4). Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut.
Tahap Pertama:
a) Guru memberikan siswa guntingan opini/tajuk dari koran.
b) Mintalah siswa membaca guntingan koran. Pada saat membaca, siswa tidak boleh memegang alat tulis-menulis (batas waktu membaca maksimal tiga menit).
c) Seusai siswa membaca, berikan masing-masing satu lembar kertas kosong yang telah dipotong sesuai kebutuhan.
d) Mintalah setiap siswa untuk menulis pertanyaan sesuai dengan teks tajuk/opini yang telah dibaca tanpa menuliskan nama. Pertanyaan boleh keluar dari tema teks bacaan, namun masih ada relevansinya. TETAPI, upayakan pertanyaan yang muncul, merupakan materi pokok pembelajaran. Untuk memfokuskan pertanyaan, daftar indikator yang hendak dicapai tetap ada di papan tulis (lihat lampiran III).
e) Ajak siswa menggulung kertas tersebut.
f) Mengumpulkan gulungan kertas ke dalam suatu wadah, seperti tas belajar atau topi siswa. Kocoklah gulungan kertas tersebut.
g) Mintalah siswa mengambil gulungan kertas tersebut. Setiap siswa hanya boleh mengambil satu. Jika ternyata gulungan kertas yang diperolehnya merupakan pertanyaan siswa yang bersangkutan, mintalah untuk mengambil ulang.
h) Mintalah siswa secara bergilir maju ke depan kelas untuk membacakan pertanyaan yang terdapat dalam gulungan kertas, kemudian menjawabnya. Apabila siswa tersebut tidak dapat menjawab, guru boleh meminta siswa lain untuk membantu.
Tahap Kedua
a) Guru menyiapkan pertanyaan sesuai teks bacaan yang berhubungan dengan materi pokok. Pertanyaan tersebut telah tersedia dalam suatu kertas yang terdiri atas tiga warna yakni merah, kuning, dan hijau. Ketiga warna tersebut menyatakan tingkat kesulitan pertanyaan; merah (sulit), kuning (sedang), dan hijau (mudah). Pertanyaan isi bola (lihat lampiran II).
b) Sebarkan kertas yang berisi pertanyaan teks bacaan tersebut secara acak kepada masing-masing siswa dalam keadaan tertutup.
c) Mintalah siswa untuk meremas kertas tersebut hingga membentuk bola.
d) Mintalah semua siswa untuk berdiri berhadapan, dan atau membentuk lingkaran.
e) Mintalah agar siswa saling lempar dengan bola tersebut. Ketika guru menyatakan STOP, maka siswa segera berhenti.
f) Mintalah siswa untuk membuka bola perolehanya masing-masing, kemudian secara bergilir menjawab pertanyaan yang ada dalam bola yang diperolehnya(untuk kegiatan ini, agar diberi tenggang waktu satu menit untuk berpikir).
g) Apabila ada siswa yang tidak dapat menjawab, mintalah kepada siswa lain untuk membantunya(beri hadiah gula-gula bagi yang dapat membantu temannya).
Tahap Ketiga:
a) Kumpulkan kembali teks bacaan yang telah dibagikan pada tahap pertama.
b) Berikan lagi teks bacaan(teks yang sama) yang telah dipotong per-paragraf. Setiap siswa hanya mendapat satu potongan teks bacaan.
c) Mintalah siswa untuk menulis gagasan pokok dan gagasan pendukung yang terdapat pada masing-masing paragraf yang merupakan bagiannya.
d) Mintalah kepada masing-masing siswa untuk menulis temuannya di papan tulis secara acak.
e) Diskusikan urutannya, sehingga menjadi sebuah kerangka karangan yang padu.
f) Mintalah kepada siswa untuk mengembangkan kembali kerangka karangan yang ada di papan tulis dengan bahasa mereka sendiri. Kegiatan ini diberi batas waktu maksimal lima menit.
g) Mintalah kepada siswa untuk menukar hasil pekerjaannya dengan teman sebangku.
h) Mintalah kepada siswa untuk mengedit dan mengomentari pekerjaan temannya, baik dari pilihan kata, struktur kalimat, penggunaan tanda baca, maupun unsur kebahasaan lainnya.
Itulah beberapa strategi pembelajaran terkini yang dapat digunakan sebagai alternatif dalam upaya peningkatan proses dan hasil pembelajaran.

SIMPULAN
Rendahnya kualitas hasil pembelajaran diduga disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain peran dan hakikat guru/siswa dalam proses pembelajaran yang masih mengacu pada paradigma lama yang konvensional dengan ciri behavioristiknya. Namun, tidak berarti strategi konvensional ditinggalkan begitu saja. Tentu, pola-pola lama itu masih dapat digunakan, sesuai dengan karakteristik dan substansi pembelajaran yang hendak dicapai. Kita hendaknya berprinsip bahwa hubungan antara guru dan siswa perlu diperbaharui. Jika selama ini guru lebih otariter, sarat komando, instruktif, bergaya birokrat, perlu diubah peran dan hakikatnya menjadi sosok ibu/bapak, kakak, sahabat atau mitra. Alur proses pembelajaran tidak harus berasal dari guru menuju siswa. Siswa juga dapat saling mengajar sesama siswa lainnya. Bahkan banyak penelitian menunjukkan bahwa pengajaran oleh rekan-rekan sebaya(peer teaching) ternyata lebih efektif daripada pengajaran oleh guru.

Kamis, 30 Desember 2010

Penelitian Tindakan Sekolah (Studi Kasus pada SMPN 1 Bolo)

                                                                                          ABSTRAK
PENINGKATAN KOMPETENSI GURU SMPN 1 BOLO DALAM MENYUSUN RPP MELALUI PEMBINAAN MODEL COPELKOKEM

Kata Kunci: peningkatan, kompetensi, copelkokem
Ikhtiar meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia telah lama dilakukan dengan berbagai strategi yang inovasif. Namun, berbagai indikator menunjukkan bahwa mutu pendidikan masih belum meningkat secara signifikan. Keterbelakangan pendidikan Indonesia diduga disebabkan oleh berbagai faktor yang saling kait-mengkait. Salah satu diantaranya ialah rendahnya kompetensi guru dalam menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang berakibat buruk pada proses dan hasil pembelajaran.
Pada hakikatnya, perkembangan Ipteks yang mengglobal saat ini merupakan isyarat bahwa guru tidak boleh lagi mempertahankan paradigma lama yang konvensional. Teori, penelitian, dan pelaksanaan proses pembelajaran membuktikan, bahwa para guru sudah harus mengubah paradigma pembelajaran, mulai dari menyusun perangkat rencana pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, hingga menilai hasil pembelajaran yang dilakukannya. Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan pembelajaran ialah melakukan Penelitian Tindakan Sekolah (PTS). Penelitian ini memfokuskan pada perumusan Tujuan Pembelajaran (TP) sebagai bentuk tindakan terhadap hasil supervisi akademis guru. Tindakan dilakukan melalui dua siklus. Pada setiap siklus diterapkan model pembinaan Copelkokem. Model pembinaan ini merupakan model hasil kreatifitas penulis yang telah menggabungkan konsep Contoh, Pelatihan, Kontrol, dan Kerja Mandiri secara konsekuen. Data diambil melalui observasi yang dilakukan oleh dua orang pengamat dan dianalisis dengan teknik porsentase. Dengan penerapan model ini, kompetensi guru dalam merumuskan TP dengan pelibatan formula Audience, Behavior, Condition, dan dedgree (ABCD) dapat ditingkatkan secara signifikan. Data dan hasil analisis menunjukkan bahwa dari 56 orang guru sebagai sasaran, yang semula memiliki rerata taraf kompetensi 59% meningkat hingga mencapai taraf keberhasilan 83% dengan deskripsi tingkat keberhasilan sangat baik, sehingga hipotesis tindakan yang diajukan “model pembinaan Copelkokem dapat meningkatkan kompetensi guru SMP Negeri 1 Bolo dalam merumuskan tujuan pembelajaran” DITERIMA. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan proses dan hasil pembelajaran yang pada gilirannya dapat meningkatkan mutu pendidikan.

Rabu, 29 Desember 2010

CARUT-MARUT TEKNOLOGI (Telaah Kritis tentang Perkembangan dan Dampaknya)

Kini, teknologi berkembang amat cepat. Para ahli sepakat pada pandangan bahwa teknologi memudahkan kehidupan manusia tanpa harus kehilangan sifat humanisnya. Manusia juga tidak dapat lepas dari pendidikan yang sebenarnya juga merupakan kegiatan teknologi, bahkan dengan pendidikanlah teknologi dapat disebarluaskan kepada generasi penerus bangsa. Salah satu dampak terbesar ialah perkembangan pembangunan di bidang pendidikan.
Di era global sekarang ini, tidak ada lagi sekat dalam hal akses informasi sehingga semua lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri dalam segala aspek kehidupan. Tentunya, sebagai warga negara, kita tidak dapat menolak terhadap “booming” teknologi informasi ini. Peran pendidikan menjadi kunci utama untuk menyaring, mentransfer, dan memberikan constraints sehingga nilai-nilai tradisi positif tidak terkikis, bahkan kita berharap dapat bergabung secara sinergi. Tentunya tugas kita semua untuk sama-sama berpikir dan menyatukan langkah dalam mencari formula terbaik dalam memanfaatkan dan mengevaluasi peran teknologi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air tercinta ini.
Dalam perspektif pendidikan, tampaknya teknologi telah membawa dampak yang kuat. Hampir semua bidang pendidikan tersentuh oleh teknologi. Contoh, adanya situs atau web site ataupun web log yang mengusung khusus tentang pendidikan dengan segala gendrenya. Semua substansi pendidikan diulas habis hingga ke akarnya. Apapun alasan dibalik realita itu tidaklah jadi masalah. Yang penting ialah, bahwa pendidikan yang notabene merupakan kegiatan membosankan bagi kebanyakan orang, ternyata masih tetap eksis.
Namun, peran teknologi di zaman ini belumlah dapat dimaksimalkan oleh pemuda kita. Sebagai bukti, cermati kembali prestasi kaum pendahulu kita dengan segala keterbatasannya. Bandingkan dengan semakin manjanya pemuda kita dengan teknologi tetapi ‘kurang’ prestasi. Pernyataan ini bukan bermaksud untuk mengecilkan peran pemuda masa kini. Tetapi paling tidak konsep ini mampu merevitalisasi semangat pendidikan era teknologi yang kini tengah merambat hingga dapur.
Semula, teknologi merupakan alat bantu terhadap keterbatasan kemampuan manusia, tepai kenyataan menunjukkan bahwa teknologi telah menjadi sebuah kekuatan yang justru ‘membelenggu’ perilaku dan gaya hidup seseorang. Dengan daya pengaruhnya yang besar, teknologi telah menjadi pengarah hidup manusia. Sistem komputerisasi saat ini telah mengalihfungsikan tenaga manusia dengan pembesaran dan percepatan yang menakjubkan. Dampaknya, masyarakat yang rendah kemampuan teknologinya cenderung bergantung dan hanya mampu bereaksi terhadap dampak yang ditimbulkan oleh kecanggihan teknologi.
Di satu sisi, perkembangan teknologi yang amat mengagumkan itu memang telah membawa manfaat yang luar biasa bagi kemajuan kehidupan manusia, termasuk pendidikan. Pekerjaan yang sebelumnya membutuhkan kemampuan fisik yang besar, kini sudah serba mesin. Kapasitas dan model aplikasi sistem komputerpun melaju terus, seolah menggeser posisi kemampuan otak manusia dalam berbagai aktifitas. Kemajuan teknologi yang telah dicapai sekarang benar-benar telah diakui dan dirasakan memberikan banyak kemudahan dan kenyamanan bagi kehidupan manusia. Artinya, manusia tidak dapat pula menipu diri terhadap kenyataan bahwa teknologi juga akan mendatangkan malapetaka.
Terkait dengan itu, Rosenberg (2001) menjelaskan lima hal yang mengalami pergeseran sebagai pengaruh teknologi terhadap pendidikan, khusus dalam proses pembelajaran yaitu (1) pergeseran dari pelatihan ke penampilan; (2) pergeseran dari ruang kelas ke dimana dan kapan saja; (3) pergeseran dari kertas ke “on line” atau saluran; (4) pergeseran fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja; (5) pergeseran dari waktu siklus ke waktu nyata.
Sebagai media pendidikan komunikasi sebagai bagian integrasi dari teknologi dilakukan dengan menggunakan telepon, komputer, internet, e-mail, dan sebagainya. Interaksi antara guru dan siswa tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi juga dapat dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut.
Teknologi mempunyai peran urgensif dalam bidang pendidikan seperti yang dikemukakan Ancok (2005) berikut:
1) Munculnya media massa, khususnya media elektronik sebagai sumber ilmu dan pusat pendidikan. Dampak dari hal ini ialah guru bukannya satu-satunya sumber ilmu pengetahuan;
2) Munculnya metode pembelajaran baru yang memudahkan siswa dan guru dalam proses pembelajaran. Dengan kemajuan teknologi terciptalah metode-metode baru yang membuat siswa mampu memahami materi-materi yang abstrak, karena materi tersebut dengan bantuan teknologi dapat di kongkritkan;
3) Sistem pembelajaran tidak harus melalui tatap muka.
Kehadiran teknologi internet, misalnya telah merubah gaya hidup manusia dan tuntutan pada kompetensi manusia. Kini kehidupan manusia semakin tergantung pada komputer. Berbeda dengan menonton televisi yang penontonnya pasif. Internet dan permainan elektronik sangat interaktif. Diduga internet dan permainan elektronik dapat merangsang pertumbuhan kecerdasan anak dan bahkan orang dewasa. Namun, sejauh ini belum ada pemantauan serius untuk melihat perkembangan inteligensi generasi kita. Apakah anak-anak semakin tinggi kemampuannya dibanding dengan generasi sebelumnya? Apakah generasi pengguna internet lebih tinggi kecerdasannya jika dibanding dengan yang bukan pengguna internet.
Selain dapat digunakan untuk berpacaran melalui progam internet relay chatting (IRC), internet dapat pula digunakan untuk mengakses gambar dan film porno. Walaupun gambar porno dan cerita porno dapat diperoleh dari berbagai sumber. Kehadiran internet semakin menyemarakkan perolehan pronografi. Conger (dalam Ancok, 2005) menjelaskan bahwa rangsangan seksual yang diperoleh anak akan mempercepat proses kematangan seksual.
Menjelang pergantian tahun 2011 yang tinggal hitungan hari lagi, banyak manusia yang dilanda kecemasan. Ketakutan akan listrik padam, kekhawatiran terhadap tidak kuatnya signal HP. Selain itu, ada juga yang cemas akibat komputernya terserang virus yang berakibat fatal terhadap hilangnya file penting dalam komputer. Inilah beberapa contoh stres yang terjadi karena teknologi. Akan menjadi sumber stres yang besar bila terjadi gangguan dalam sistem komputernya. Fenomena stres seperti ini yang disebut dengan technostress (Hanson, dalam Hastuti 2009). Stres karena teknologi adalah salah satu sumber stres dalam kehidupan manusia. Tentu saja banyaknya informasi yang masuk melalui e-mail atau internet dapat pula menyebabkan information overload, dan ini menjadi sumber stres yang lain. Berapa besar dampak stres teknologi ini pada kehidupan manusia, sepengetahuan penulis belum pernah ada studi yang mengidentifikasinya.
Lalu kemudian muncul pertanyaan, bagaimana solusinya? Sebenarnya ada banyak cara dalam menghadapi perkembangan teknologi, khususnya perspektif pendidikan. Salah satu upaya yang ditawarkan ialah penanaman visi dan afeksi pada para siswa dan mahasiswa. Penanaman visi dan afeksi dimaksudkan untuk membantu para pelajar dan mahasiswa mengembangkan potensi diri terhadap tantangan dan tanggung jawab masa depan. Sebagian besar para pelajar kita tidak memiliki visi dan konstruksi masa depan yang jelas. Dari pengamatan penulis terhadap siswa dan juga mahasiswa baru, 68% siswa dan hampir 70% mahasiswa yang tidak mempunyai visi dan cita-cita yang jelas. Alasan mereka masuk ke institusi sekolah –juga di Perguruan Tinggi– atas kemauan orangtua dan untuk memperoleh ijazah/gelar. Mereka tidak merencanakan hari depannya. Apa yang mereka pikirkan hanyalah hari ini.
Penanaman visi dan cita-cita kepada para pelajar dan mahasiswa sangatlah penting. Dengan visi, seseorang dapat merencanakan cita-citanya. Mereka tahu apa yang harus dilakukan untuk menyongsong masa depan. Sedangkan dengan cita-cita, orang mempunyai target dan tujuan yang jelas dalam mengisi kehidupannya. Dengan cita-cita yang jelas seseorang memiliki motivasi yang kuat untuk melakukan sesuatu yang telah direncanakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hasan (2005) bahwa tidak ada keberhasilan yang dapat dicapai tanpa tujuan yang jelas. Lebih lanjut Hasan membeberkan bukti bahwa 27% orang di dunia tidak mempunyai tujuan hidup yang jelas. 60% mempunyai tujuan hidup yang samar-samar. 10 % mempunyai tujuan hidup yang jelas, dan hanya 3% yang menuliskan tujuan hidupnya. Dalam kenyataannya, hanya sedikit orang di dunia yang dapat mencapai sukses, yaitu mereka yang mempunyai tujuan hidup yang jelas. Mereka yang tidak mempunyai tujuan hidup yang jelas, seakan tidak berhak atas keberhasilan.
Selain kehilangan visi, para pelajar dan mahasiswa kita juga kehilangan idealis. Mereka terjebak pada sikap hidup yang materialis dan hedonis. Mereka mengukur nilai diri mereka dari segi materi atau hal-hal yang tampak secara fisik. Hal ini dapat dilihat dari gaya hidup mereka saat ini. Gaya hidup handphonistik telah melanda pada sebagian besar siswa dan mahasiswa kita hingga ke desa-desa. Dari pengamatan penulis, di kalangan mereka, HP bukan difungsikan sebagai alat komunikasi yang efektif, tetapi lebih banyak dijadikan sebagai simbol gaya hidup yang materialis dan hedonis. HP lebih banyak digunakan sebagai alat ngrumpi daripada sarana untuk mencari informasi yang berguna. Mereka merasa lebih bangga memiliki HP daripada memiliki buku-buku. Mereka merasa malu jika tidak memiliki HP, tetapi tidak malu ketika tidak dapat menjawab soal-soal ulangan/ujian. Akibatnya, sebagian besar siswa dan mahasiswa kita yang kehilangan moralitas. Mereka terjebak pada mentalitas yang ingin serba instan tanpa mau kerja keras.
Terkait dengan hal tersebut, pendidikan harus diarahkan bukan hanya pada perubahan kognitif, tetapi yang lebih penting adalah pada perubahan sikap. Pendidikan afeksi jauh lebih penting daripada kognisi, dan harus dilakukan sejak dini. Membentuk sikap yang baik tidak dapat dilakukan secara instan. Penamanan nilai dan sikap yang produktif, kolaboratif, dan tanggungjawab terhadap siswa dan mahasiswa merupakan proses pendidikan yang panjang dan harus dilakukan secara kontinu. Oleh karena itu, di pendidikan afeksi harus mendapat porsi yang lebih besar. Dengan cara ini, maka manusia yang ahklakul karimah dapat dicapai. Manusia yang ahklakul karimah ialah manusia yang selalu mendasarkan sesuatu pada prinsip-prinsip moral.