Kamis, 27 Januari 2011

Teka-Teki Bahasa: Dilarang Mancing Di Sini


Anda memiliki hoby memancing. Suatu ketika, Anda pergi memancing ke salah satu tambak (milik sah seseorang), ternyata Anda temukan tulisan 'DILARANG MANCING DI SINI" . Bagaimanakah tindakan Anda..?

Senin, 17 Januari 2011

Manakah yang benar, S2 atau S-2?

Penggunaan bahasa selama ini tampak tidak seragam dalam menulis jenjang pendidikan strata dua dan strata tiga pada program pascasarjana. Di satu pihak, ada yang menuliskannya dengan singkatan S2 dan S3 (tanpa tanda hubung), sementara yang lainnya menulis dengan S-2 dan S-3 (dengan tanda hubung). Manakah penulisan yang benar?
Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu dijelaskan bahwa – sesuai dengan kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan – tanda hubung mempunyai beberapa fungsi, antara lainnya ialah untuk merangkaikan:
a. Se- dengan kata berikutnya yang diawali dengan huruf kapital, misalnya se-pulau Sumbawa dan se-Indonesia;
b. Ke- dengan angka, misalnya ke-2, ke-7, dan ke-21;
c. Angka dengan –an, misalnya 2000-an, dan 5.000-an
d. Singkatan (huruf kapital) dengan imbuhan atau kata, misalnya di- PHK, sinar-X, atau hari-H;
e. Nama jabatan rangkap, misalnya Menteri-sekretaris Negara. 
Dengan ketentuan (b) dan (c) tersebut tampak bahwa perangkaian ke- angka dan angka dengan –an dilakukan dengan menggunakan tanda hubung. Hal ini menunjukan bahwa perangkaian angka dengan unsur lain yang tidak sejenis (bukan angka) dilakukan dengan tanda hubung. Selain itu, pada ketentuan (d) tampak pula bahwa singkatan berhuruf kapital dengan imbuhan atau kata, juga dirangkaikan dengan tanda hubung. (bukan tanda pisah). Hal itu mengindikasikan bahwa singkatan berhuruf kapital,  jika dirangkaikan dengan unsur lain yang tidak sejenis juga ditulis dengan menggunakan tanda hubung.
Sejalan dngan penjelasan tersebut, jenjang akademik strata dua pada program pascasarjana, jika disingkat lebih tepat ditulis dengan menggunakan tanda hubung, yaitu S-2, bukan S2. Huruf S pada singkatan itu merupakan singkatan berhuruf kapital yang dirangkaikan dengan unsur lain (angka 2) yang tidak sejenis. Angka 2 pada singkatan itu juga digabungkan dengan unsur lain yang tidak sejenis, yaitu S. Oleh karena itu, perangkaian kedua unsur yang tidak sejenis itu lebih tepat menggunakan tanda hubung. Hal yang sama juga berlaku bagi jenjang strata tiga, yang disingkat S-3 dan strata satu, yang disingkat S-1, bukan S1. Angka dibelakang singkatan S itu tidak menyatakan jumlah (seperti P4 = 4P). Dengan demikian, angka 1, 2, dan 3 pada S-1, S-2, dan S-3 bukan berarti 1S, 2S, atau 3S, melainkan menyatakan tingkat pertama, kedua, ketiga.       

Saya Bingung! Bebas Parkir atau Parkir Gratis


Jika Anda bingung pada tulisan BEBAS PARKIR yang kerapkali terpampang indah di tempat-tempat umum berarti sikap positif Anda terhadap bahasa Indonesia patut diacung jempol karena Anda tergolong orang yang menghargai budaya bangsa. Ingat..! Bahasa menunjukkan bangsa.
Agar kebingungan Anda tidak berlanjut, ini jawabannya. Kata bebas parkir diartikan orang ‘dibebaskan dari pembayaran parkir’. Untuk menyatakan arti itu, sebaiknya dipakai kata parkir gratis atau parkir cuma-uma (free parking). Bebas parkir seharusnya diartikan ‘dilarang parkir’ (no parking). Jadi, bedanya dapat digunakan dengan makna yang berbeda.
Demikian pula tulisan yang terpampang indah pada pintu utama salah satu SMPN di kabupaten Bima; lingkungan 'bebas asap' sebaiknya diubah menjadi dilarang merokok!
Mampir terus di blog ini dengan mengajukan berbagai fenomena bahasa dan beri komentar untuk tetap menjaga kelestarian budaya.

BENARKAH, namun demikian..?

Kata namun mempunyai makna yang sama dengan tetapi, yakni untuk menghubungkan dua hal yang berlawanan. Bentuk tetapi demikian yang seharusnya sama dengan namun demikian tidak pernah digunakan karena janggal. Atas dasar itu, bentuk namun demikian boleh di katakan sebagai bentuk yang benar. Bentuknya yang benar adalah namun. Sebagai kata penghubung, namun dapat digunakan sebagai penghubung antarkalimat dalam paragraf.

Yang benar 'Jam atau Pukul...?'



Kata jam dan pukul masing-masing mempunyai makna sendiri, yang berbeda satu sama lain.nya Seringkali pemakaian bahasa yang tidak cermat dalam menggunakan kedua kata itu  sehingga tidak jarang digunakan pada maksud yang sama.
Sebenarnya, kata jam menunjukan makna ‘masa atau jangka waktu’, sedangkan kata pukul mengandung pengertian ‘saat atau waktu’. Jika yang ingin diungkapkan ialah ‘waktu atau saat’, kata yang tepat ialah pukul, seperti pada contoh berikut.
1.    Lomba itu akan dimulai pada pukul 10.00.
2.    Kantor kami ditutup pada pukul 21.00.
Sebaliknya, jika yang ingin diungkapkan itu ‘masa’ atau ‘jangka waktu’, kata yang tepat digunakan ialah jam, seperti pada kalimat contoh berikut.
3.    Kami kerja selama delapan jam sehari.
4.    Jarak tempuh Bima-Dompu dengan kendaraan pribadi sekitar satu  jam.
Selain digunakan untuk menyatakan arti ‘masa’ atau ‘jangka waktu’, kata jam juga berarti ‘benda penunjuk waktu’ atau ‘arloji’, seperti pada kata jam dinding dan jam tangan.

Selasa, 11 Januari 2011

Pegawai Negeri atau Pegawai Negara?


Kata negeri tidak sama artinya dengan negara. Negeri berarti “kota, tanah tempat tinggal, wilayah atau sekumpulan kampung (distrik) di bawah kekuasaan seorang penghulu (seperti di minangkabau), kata negeri bertalian dengan ilmu bumi. Negara berarti “persekutuan bangsa dalam suatu daerah yang jelas batas-batasnya dan di urus oleh badan pemerintahan yang teratur”. Kata negara perpadanan dengan kata state (Inggris) atau staat (Belanda). Kata negara digunakan jika bertalian dengan sudut pandang politik, pemerintahan, dan/atau ketataprajaan.
Berdasarkan pengertian dua kata itu, kita telah mengubah bentuk badan kepegawaian negeri, kas negeri, dan ujian negeri menjadi badan kepegawaian negara, kas negara, dan ujian negara. Sejajar dengan perubahan itu, dan jika kita taat asas pada pengertian negeri dan negara, sebaiknya bentuk pegawai negeri, sekolah negeri, peguruan tinggi negeri, pengadilan negeri di ubah pula menjadi pegawai negara, sekolah negara, perguruan tinggi negara, pengadilan negara jika memang-memang badan itu diurus oleh badan pemerintah secara teratur.

Jumat, 07 Januari 2011

Anda Bertanya Kami Menjawab

Goresan sederhana ini diilhami oleh sebuah pemikiran konstruktif terhadap berbagai pertanyaan yang kerap dilontarkan oleh berbagai fihak yang berkepentingan pada ‘sesuatu’ terhadap ‘sesuatu’ kepada penulis terkait dengan penggunaan bahasa yang baik dan benar dalam berbagai konteks. Sesuatu yang pertama ialah bahasa sebagai alat komunikasi dan sesuatu yang kedua ialah sasaran sebagai rujukan bertindak/pragmatis. Semula penulis enggan memberikan jawaban dengan berbagai alasan pula. Namun, setelah ditelaah secara seksama serta desakan keingitahuan positif dari berbagai pihak tadi, tampaknya memang penting untuk dijawab. Jika tidak ‘dihawatirkan’ muncul bias makna yang berujung pada bias bertindak karena setiap satu tindakan membutuhkan seribu satu kali pikiran.
Pada suatu ketika, saat itu malam Rabu pekan lalu datanglah sekelompok kerabat ke kediaman penulis. Sebagian mereka merupakan muka baru dan bahkan sama sekali tidak dikenal. Kelihatan dari rona mereka membawa suatu kabar. Yang agak tua langsung buka bicara yang diawali dengan pengakuannya berusaha untuk menemui penulis, dari tempat kerja hingga ke kampus tempat penulis mengajar. Di tangan salah seorang sesekali dikibaskan sehelai potongan kertas koran lokal. salah satu kolomnya dilingkari dengan spidol board marker ukuran tanggung dengan tajuk Himbauan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bima Tahun 2010. Saat itu, diskusipun terjadi alot tentang substansi yang terkandung dalam penggalan koran itu. Dari diskusi tersebut dapat digeneralisasi bahwa ternyata bahasa menunjukkan bangsa dan dengan bahasa seseorang dapat bertindak masih sangat ampuh dan akan terus eksis diera globalisasi sekalipun. Oleh sebab itu, kepada semua pihak, lebih lagi kepada pihak yang mengeluarkan bahasa konstitusi untuk lebih cermat dengan penuh kehati-hatian. Karena era ini, semua orang sudah bisa bicara dan bertindak dengan dalih yang tidak masuk akal sekalipun. Sebagai contoh kasus, cermati kutipan penggalan salah satu kolom berita koran lokal edisi Jumat 09 April 2010 No. 1493 Tahun V halaman 2 berikut.

HIMBAUAN KEPADA SEMUA PIHAK UNTUK MENTAATI KETENTUAN UU NO. 32 TAHUN 2004
TENTANG
PEMERINTAH DAERAH TERKAIT LARANGAN KAMPANYE
Dalam kampanye DILARANG melibatkan:
-Hakim;
-Pejabat BUMN/BUMD
-PNS, TNI, Polri sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dalam Pemilihan Umum Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah;
-Kepala Desa, dan seterusnya

Kita mulai dari penggunaan kata himbauan. Kata himbauan berasal dari kata asal imbau yang mengalami proses morfologi menjadi kata dasar himbau dan memperoleh imbuhan –an yang bermakna seruan, ajakan. Dengan hadirnya kata itu, maka pembaca lalu memaknainya secara pragmatis. Dan yang lebih parah lagi, dianalogikan bahwa kata himbauan identik dengan kata sunat (dalam hukum Islam) yang kurang-lebih bermakna ‘dilaksanakan mendapat pahala, tidak dilaksanakan tidak mendapat dosa’. Jika taat asas, maka himbauan yang dimuat di koran itu boleh ditaati dan juga boleh tidak karena tidak ada sanksi yang jelas atau yang mengikutinya. Dalam konteks ini seyogyanya diberlakukan hukum JIKA-MAKA. Jika dilarang maka harus diberi sanksi.
Terkait dengan frasa larangan kampanye. Mungkin maksud tulisan di koran itu ialah “beberapa hal yang dilarang dalam berkampanye bagi peserta Pilkada”. Tetapi pembaca dapat memaknai secara bebas, dan memang jika dianalisis secara semantik frase itu bermakna larangan untuk berkampanye. Konsekuensinya bermakna “tidak boleh berkampanye” Agar kalimat itu tidak ambigu dapat dibenarkan menjadi LARANGAN DALAM BERKAMPANYE.
Lebih bingung lagi jika kita lanjut pada kalimat berikutnya: Dalam kampanye dilarang melibatkan….dst. Ada dua masalah yang muncul pada kalimat itu (1) Siapa yang dilarang? Subjek yang dilarang tidak jelas. Apakah Calon Bupati/Calon Wakil Bupati (peserta Pilkada) ataukah Hakim, pejabat BUMN/BUMD, PNS, TNI, Polri, atau Kepala Desa (pemilih tertentu)? Kalau Calon Bupati/Calon Wakil Bupati yang dilarang, gunakan kalimat bagi Calon Bupati/Calon Wakil Bupati yang berkampanye tidak boleh melibatkan ….dst. dan kalau yang dilarang itu pemilih tertentu, kalimat yang benar ialah bagi Hakim, pejabat BUMN/BUMD…. dst. dilarang…. (2) Hadirnya kata melibatkan, akan mengkonstruk bias makna, bagaimana kalau Hakim, pejabat BUMN/BUMN, PNS/Polri…. dst melibatkan diri (tidak dilibatkan/tidak diajak oleh peserta Pilkada), apakah dilarang juga? Pembaca jadi bingung.
Jika itu merupakan larangan baku, maka secara filosofi tidak berterima karena di samping tidak memiliki konsekuensi konstitusi juga telah membatasi hak seseorang sebagai warga negara. Hemat penulis, mereka perlu mendengarkan visi-misi yang disampaikan oleh para calon yang akan mereka pilih dan agar mereka tahu gambaran arah Bima pada lima tahun ke depan. Jika tidak, nasib mereka akan menjadi seperti pepatah beli kucing dalam karung. Dan apakah itu demokrasi atau mungkin pengecualian dari konsep demokrasi?. Harus jelas dong...! Dari sisi agama, ketidakhadiran pada saat kampanye justru dihawatirkan akan menaburkan bibit fitnah. Karena mau tidak mau, yang tidak ikut akan menanyakan orang yang ikut. Mungkin maksud UU itu dilarang untuk berperan aktif seperti naik panggung untuk menjadi jurkam, me-yel-yel-kan salah satu calon atau yang kerap kita dengar politik praktis.
Lalu sekarang muncul pertanyaan, mengapa kasus seperti di atas bisa terjadi? Hemat penulis, jawabannya hanya satu yakni pemberitaan UU itu hanya sepotong, ‘mungkin’ karena alasan ruang/kolom sehingga pembaca memahaminya secara sepotong pula, al hasil makna UU itu menjadi kabur.
Kasus bahasa seperti ini juga ditemukan pada koran nasional yang pernah penulis baca bulan lalu “Rumah profesor yang aneh itu akan segera dijual”. Yang aneh itu rumah atau profesor? Masih untung kalau rumahnya yang aneh, karena hantunya dapat di usir, tetapi kalau profesornya yang aneh, uang bayaran rumah itu bisa raib karena biasanya orang aneh susah diajak kompromi. Demikian pula dengan kalimat STOP SANDAL yang sering kali ditemukan pada tempat sakral. Artinya yang bersepatu dibebaskan. Di halaman sebuah institusi juga ditemukan ada tulisan DILARANG JALAN DI SINI. Artinya lari, melompat, merayap, berguling, dan sejenisnya bisa.

Sabtu, 01 Januari 2011

Bahasa Bima (Tantangan dan Pemecahannya)

Disampaikan pada Seminar Nasional Bulan Bahasa di Mataram-NTB

Perubahan era globalisasi yang cukup pesat saat ini membawa dampak dalam berbagai tatanan kehidupan masyarakat Bima, termasuk terhadap bahasa dan sastra. Diduga sebagian masyarakat Bima telah mengalami perubahan sikap terhadap bahasa Indonesia. Akhir-akhir ini, bahasa Indonesia telah kehilangan pamornya(wibawa) pada sebagian masyarakat Bima. Mereka diduga telah berkurang respeknya(rasa hormat) terhadap bahasa Indonesia.
Di sisi lain, hasil pengamatan penulis pada sebagian masyarakat Bima, juga telah terjadi perubahan sikap terhadap bahasa daerahnya sendiri (bahasa Bima). Ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya generasi muda Bima yang sudah tidak mampu lagi berbahasa Bima, baik lisan maupun “tulisan”. Bahasa daerah hanya fasih dilafalkan oleh orang-orang tua.
Dahulu, umumnya masyarakat Bima berbahasa ibu bahasa Bima yang sebutan lokalnya nggahi Mbojo, sedangkan kini sudah banyak generasi Bima yang meskipun bersuku Bima asli justru menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Dengan demikian, keberadaan bahasa daerah kini sangat dilematis sehingga cenderung ke arah kepunahan.
Sikap masyarakat terhadap bahasa Bima juga tergambar dari perilaku orangtua dalam menurunkan bahasa pertama(bahasa ibu) di dalam keluarga. Ada orangtua yang menurunkan bahasa Bima sebagai bahasa pertama kepada anaknya, tetapi ada pula yang menurunkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Pertimbangan orangtua mengajarkan bahasa pertama bahasa Indonesia adalah untuk kepentingan kependidikan. Menurut mereka, jika anak sejak kecil diajarkan bahasa Bima, akan tertinggal dalam pendidikan terutama pendidikan dasar, mengingat bahasa pengantar di sekolah adalah bahasa Indonesia.
Dilematis memang, jika anak diajarkan bahasa pertama bahasa Indonesia. Ia akan mampu mengikuti proses pendidikan secara baik, tetapi secara tidak langsung merupakan suatu upaya sistematis terhadap pemusnahan bahasa daerah. Sebaliknya, jika anak diajarkan bahasa daerah sejak dini maka akan menjadi salah satu upaya melestarikan bahasa daerah, tetapi konsekuensinya terkendala dalam dunia pendidikan. Menyikapi kondisi demikian, sebagian orangtua berpendapat bahwa bahasa yang diajarkan kepada anak tergantung pada lingkungan berdomisilinya suatu keluarga. Jika lingkungan masyarakat sekitar mayoritas penutur bahasa Bima hendaknya anak diajarkan bahasa pertama bahasa Bima pula.
Secara geografis, sikap positif terhadap bahasa daerah mulai mendapat tantangan serius dilingkungan masyarakat perkotaan. Masyarakat kota yang heterogen memilih berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah. Hal ini dapat difahami karena bahasa Indonesia lebih bersifat netral, dan dapat dimengerti oleh semua suku yang ada di Indonesia.
Mengantisipasi pudarnya kepedulian masyarakat terhadap bahasa dan sastra daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten Bima melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayan, sejak tahun 1994 telah mengakomodir bahasa dan sastra daerah Bima ke dalam kurikulum Pendidikan Dasar sebagai salah satu materi submatapelajaran muatan lokal. Pada tahun yang sama (1994) telah disusun pula buku pelajaran bahasa dan sastra daerah Bima “Caha Tanao” sebagai solusi terhadap keluhan guru-guru atas kekurangan sumber belajar. Buku pelajaran tersebut disusun oleh guru-guru yang berkompeten dalam bidangnya yang dikemas dalam bentuk task. Namun sejauh ini program pengajaran bahasa Bima tersebut belum pernah dievaluasi. Apakah program tersebut memiliki dampak positif terhadap upaya pelestarian bahasa daerah. Realitanya sekarang dapat dirasakan betapa dari hari ke hari bahasa daerah secara perlahan akan pudar. Tidak dapat dipastikan apakah dua atau tiga generasi depan, masih eksis di daerah ini. Untuk menghindari punahnya bahasa dan sastra daerah terdapat beberapa alternatif, antara lain mengadakan studi atau penelitian tentang sikap masyarakat terhadap bahasa daerah, menyusun kurikulum muatan lokal bahasa dan sastra, melaksanakan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

Revitalitalisasi Pengelolaan Sekolah (Setitik Renungan Hasil Studi Banding)

Goresan sederhana ini diilhami oleh berbagai temuan studi pendidikan SMP/MTs. pada SMPN 5 Bandung, SMPN 1 Bekasi, dan SMPN 4 Bekasi yang telah diakui kemampuannya dalam menciptakan outcome yang kompetitif hingga era globalisasi yang tengah merebak di segala lini kehidupan ini, serta hembusan sistem otonomi daerah (Otda) yang menampilkan corak tertentu.
Saat ini dunia, pendidikan di kabupaten Bima ditantang untuk menjawab perubahan global yang terjadi begitu cepat, seperti perkembangan ilmu, pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS) dengan berbagai media informasi dan elektronika yang sangat hebat, pasar bebas (free trade), dan juga tenaga kerja bebas (free labour). Secara nasional, saat ini juga bangsa Indonesia –termasuk kabupaten Bima– dihadapkan pada fenomena yang dilematis, yakni rendahnya peringkat daya kolaboratif dan kompetitif yang dapat dipandang sebagai indikator, bahwa sebagian pendidikan di Indonesia belum mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang berkompeten seperti dilaporkan oleh the World Competitiveness Yearbook. Kendati sekolah-sekolah tertentu dikabupaten Bima telah mampu menunjukkan nyalinya, baik ditingkat nasional maupun internasional (baca prestasi SMPN 1 Bolo pada blog: http//smpn1bolo.blogspot.com).
Tantangan lainnya adalah penyerahan sebagian wewenang pusat kepada daerah melalui mekanisme Otda. Beberapa isu sentral yang mencuat ke permukaan terkait dengan pelaksanaan Otda. Salah satu diantaranya adalah bergesernya egoistik sektoral menjadi fanatiktis daerah. Konsekensi logisnya ialah termotivasi dan meningkatnya pola dan tatanan kinerja masing-masing daerah dalam meningkatkan pembangunan di segala lini kehidupan. Namun, kenyataan menunjukan bahwa pada sisi tertentu –bidang pendidikan misal– tampaknya belum dapat diusung optimal. Berbagai bukti menunjukkan, bahwa masih ada sekolah yang “belum” mampu membenahi diri dalam menata seluruh proses pendidikan dalam memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Menghadapi segala tantangan internal maupun eksternal, saat ini Pemerintah Daerah Kabupaten Bima, dalam hal ini sekolah sebagai perpanjangan tangan dari Dinas Dikpora diberikan angin segar untuk menata secara mandiri eksistensinya dalam memprakarsai perubahan-perubahan yang terjadi dalam mengemban tugas sebagai industri jasa penghasil sumberdaya manusia yang berkualitas, akhlakul qarimah, dan profesional sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja saat ini dan masa datang. Untuk itu, sekolah sebagai institusi pengelola langsung hendaknya segera berbenah diri untuk melakukan revitalisasi manajemennya dalam satu kemasan yang bersubstansi mutu layanan jasa yang ditawarkan kepada masyarakat, yang apabila dikaitkan dengan kebutuhan sumberdaya manusia di kabupaten Bima akan memperoleh dukungan positif.
Selanjutnya, dalam menghadapi permasalahan pembangunan, termasuk membangun insan Mbojo yang madani dengan motto taho mpara ndai, surampa dou labo dana. Dalam hal ini, sekolah tidak sekedar proaktif berpartisipasi dalam pembangunan material jangka pendek. Hendaknya berpegang teguh pada berbagai keyakinan yang secara fundamental memberikan watak pada misi pendidikan, yaitu perhatian mendalam pada etika moral (etmor) yang luhur, karena etmor merupakan power, sebuah kekuatan yang mampu mengembangkan potensi yang ada pada anak-anak kita. Ketika etmor ini dijadikan core dalam penyelenggaraan pendidikan, maka mutu outcome-pun dapat diusung pelan dan meyakinkan hingga mencapai titik ideal yang diharapkan .
Memang, akhir-akhir ini sudah banyak sekolah yang mampu menunjukkan kemampuan kinerjanya, namun jika diakumulasi dalam sebuah skala ukur SNP, tampakya masih berada pada level di bawah garis rerata. Ini adalah sebuah masalah yang perlu ditangani secara profesional, hati-hati, dan membutuhkan pikiran yang jernih, serta hati yang dingin dalam menemukan solusinya. Yang kita butuhkan sekarang ialah solution and action bukan ‘bicara’. Salah satu upaya menggapai tujuan tersebut adalah melaksanakan studi banding pada sekolah-sekolah yang sudah diakui kemampuannya. Hal ini sesuai sabda nabi Muhammad Saw: ut lubul ilma walau bissi in.
Berdasarkan wacana di atas, lalu muncul pertanyaan retorik “apanya yang kurang?” atau mungkin ada yang lebih ‘over confidance’!; Kenapa kebanyakan sekolah-sekolah dipulau Jawa, sebagian di pulau Sulawesi, dan sebagiannya lagi di Sumatra selalu lebih dari kita, lalu kenapa kita tidak bisa seperti mereka? Secara filosofi, jawabannya enteng saja ‘TERGANTUNG”, tergantung pada ‘kita’ semua.
Jika dipandang secara utuh dan ilmiah sebenarnya terdapat banyak faktor yang saling berhubungan satu sama lainnya sehingga membentuk suatu jalinan yang kompleks. Kekompleksan tersebut memungkinkan timbulnya masalah. Salah satu yang diduga sebagai biangnya adalah pola pengelolaan sekolah yang ‘mungkin’ belum berterima. Untuk menjawab, sekaligus sebagai solusi alternatif yang dapat ditawarkan ialah merevitalisasi pengelolaan sekolah sebagai implementasi dari hasil comparative study yang telah dilaksanakan oleh kepala-kepala sekolah/pengawas/Ka. UPT yang baru lalu.
Untuk memenuhi seluruh kebutuhan peningkatan mutu, kebijakan dasar yang perlu ditempuh oleh sekolah dalam rangka pembaruan sistem manajemen adalah merevitalisasi pengelolaan sekolah untuk meningkatkan outcome dengan langkah berikut: (1) melakukan perencanaan pengembangan dan pengendalian mutu berdasarkan pada evaluasi diri sekolah (EDS); (2) melakukan penataan kelembagaan agar bersinergi mewujudkan visi sekolah; (3) menyelenggarakan pendidikan dan proses pembelajaran (bukan KBM) secara efisien dan efektif; dan (4) menetapkan standar proses yang akan dimonitoring dan dievaluasi oleh badan penjaminan dan pengendalian mutu (Quality Assurance). Selain itu, penanaman konsep visi dan afeksi pada seluruh warga sekolah –terutama siswa¬– merupakan hal yang urgensif dan hendaknya ditanamkan lebih dini secara holistik dan kontinyu.

Manajemen Berbasis Sekolah(MBS)

 Disampaikan pada Seminar Pendidikan
yang Diselenggarakan oleh Hipmasi Kota Bima

MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat), dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.

HASIL PENELITIAN TENTANG MBS
Penerapan MBS telah dilakukan penelitian, di antaranya dilakukan Nasip (2004) terhadap tiga SMPN Rintisan di kabupaten Lombok Tengah, NTB. Hasil penelitian menunjukkan antara lain:
1) Ada beberapa langkah yang dilakukan sekolah dalam menyusun program dan rencana anggaran yaitu: (a) menyusun visi, misi, dan tujuan sekolah; (b) mengidentifikasi tantangan nyata; c) menentukan sasaran; d) mengidentifikasi fungsi-fungsi; (e) melakukan analisis SWOT; (f) menentukan alternatif langkah pemecahan persoalan, dan RKAS. Pihak yang terlibat dalam penyusunan RKAS. adalah Kepala Sekolah, Wakasek/Urusan, wakil guru (guru senior), dari berbagai matapelajaran, dan wakil UPTD.
2) Ada empat upaya yang dilakukan sekolah berkaitan dengan pelaksanaan program kerja MPMBS yaitu: (a) memotivasi warga sekolah dengan cara memberikan insentif, menghargai hasil kerja, melibatkan pada berbagai kegiatan agar mereka terdorong untuk bekerja secara optimal; (b) menjalin hubungan kerja sama antarwarga sekolah dan masyarakat agar tercipta rasa saling pengertian dan tanggung jawab dalam meningkatkan mutu pendidikan; (c) kepala sekolah melakukan supervisi kepada para guru dan staf UPTD dengan cara observasi dan kunjungan kelas serta melalui rapat guru. Tujuannya adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja para guru dan staf UPTD, dan (d) pemantauan dan evaluasi baik secara langsung oleh Kepala Sekolah maupun oleh Wakil Kepala Sekolah agar program kerja dapat berjalan sesuai rencana.
3) Implementasi program MPMBS pada sekolah-sekolah yang diteliti mempunyai dampak positif pada: (a) pengelolaan pembelajaran yang lebih aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan; (b) adanya perencanaan yang partisipatif dan keberanian mengevaluasi diri; (c) adanya diversifikasi pengelolaan kurikulum; (d) adanya kemandirian dalam pengelolaan ketenagaan; (e) pengelolaan fasilitas yang lebih otonom; (f) pengelolaan keuangan menjadi lebih efektif dan transparan.
4) Implementasi program MPMBS pada sekolah-sekolah tersebut berpengaruh terhadap adanya peningkatan partisipasi orangtua dan masyarakat. Tumbuhnya partisipasi orangtua dan masyarakat sebagai buah dari keberanian sekolah-sekolah tersebut dalam membuka diri dan transparannya manajemen sekolah.
5) Sekolah-sekolah yang ber-MPMBS mendapat dukungan dari semua pihak terkait karena keputusan-keputusan sekolah rintisan diambilkan melalui proses yang bersifat partisipatif, artinya dalam membuat keputusan melibatkan pihak-pihak terkait.
6) Dalam implementasi program MPMBS pada sekolah-sekolah tersebut, terdapat faktor pendukung dan penghambat.
(1) Faktor pendukung: (a) jumlah guru sudah memadai; (b) motivasi yang tinggi dari guru, karyawan serta siswa untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah terlihat dari kedisiplinan mereka di dalam melaksanakan tugasnya; (c) Adanya dana CTL dari pemerintah; (d) adanya dukungan orangtua; (e) lokasi sekolah yang cukup strategis; (f) adanya jalinan komunikasi dan kerjasama semua komponen yang terlibat dalam pelaksanaan program kerja MPMBS khususnya koordinator program; (g) terbentuknya komite sekolah sebagai pengganti BP3 yang kepengurusan dan anggotanya lebih luas dan kualitas SDM-nya lebih baik (h) faktor kepemimpinan kepala sekolah yang baik serta tidak alergi dengan inovasi yang ada dalam perkembangan pendidikan.
(2) Faktor penghambat: (a) tingkat ekonomi sebagian siswa rendah; (b) kebiasaan siswa yang tidak tertib; (c) jarak rumah dengan sekolah sebagian siswa lumayan jauh; (d) sangat sulit untuk merubah pola pikir dari birokratik sentralistik menjadi otonomi dan partisipatif; (e) masih terjadinya perbedaan persepsi tentang konsep program MPMBS baik antara komponen yang ada di sekolah maupun antara sekolah dengan pemerintah dan masyarakat; (f) jumlah ruang kelas yang masih belum memadai sehingga proses pembelajaran masih double shift.
9) Berbagai upaya yang dilakukan sekolah dalam mengatasi berbagai hambatan lebih diarahkan pada pemberdayaan warga sekolah dan masyarakat setempat. Dengan cara mengoptimalkan pemanfaatan sumber insani dan material yang ada. Selain itu, upaya yang dilakukan tidak hanya menyelesaikan masalah yang bersifat sesaat (jangka pendek), tetapi juga bersifat mencegah agar masalah tersebut tidak muncul kembali di masa yang akan datang (jangka panjang).