Sabtu, 26 Februari 2011

Semua, seluruh, segala, sekalian, dan segenap


Kata semua, seluruh, segala, sekalian, dan segenap memiliki persamaan dan perbedaan arti. Persamaan arti menyebabkan kata itu dapat saling dipertukarkan, sedangkan perbedaan arti menyebabkan kata itu tidak dapat saling dipertukarkan.
            Kata semua  bermakna setiap anggota terkena atau termasuk dalam hitungan. Makna itu terlihat pada contoh berikut ini.
(1)  Semua warga kota diungsikan
Kata seluruh juga mengandung makna bahwa setiap anggota termasuk dalam hitungan, tetapi dalam pengertian kelompokan atau kolektif. Kalimat di atas dapat diubah dengan mempertukarkan kata semua dengan seluruh seperti berikut. 
(2)  Seluruh warga kota diungsikan.
Kata tetapi, pada dua kalimat berikut pemakaian kedua kata itu memiliki makna yang berbeda.
(3)  *Semua bangsa Indonesia menjunjung bahasa persatuan.
(4)  Seluruh bangsa Indonesia menjunjung bahasa persatuan.
Perbedaan itu terjadi karena pemakaian kata semua ditekankan pada jumlah yang banyak, sedangkan pemakaian kata seluruh ditekankan pada satu benda yang merupakan kesatuan yang utuh. Bangsa Indonesia pada kalimat (3) dan (4) jumlahnya hanya satu. Oleh karena itu, pengguna kata seluruh pada kalimat itu lebih tepat daripada kata semua. Hal itu nyata juga pada perbandingan berikut.
(5)  Semua ruangan akan di bersihkan dan dicat lagi.
(6)  Seluruh ruangan akan dibersihkan dan dicat lagi.

Semua ruangan menyiratkan makna adanya beberapa ruangan.
Sementara itu, seluruh ruangan pada kalimat (6) mengandung pengertian adanya satu ruangan yang semua begiannya dibersihkan dan dicat lagi. Makna ‘semua bagian’ juga terlihat pada kalimat berikut.
(7)  Seluruh tubuhnya terkena tumpahan minyak.
Dalam kalimat itu kata seluruh tidak dapat ditukar dengan semua.     
     
Kata segala menyatakan makna ‘semua macam’. Jadi, kata itu dipakai untuk mengacu pada benda yang beraneka ragam. Pada kaliamat berikut kata segala dan semua dapat dapat dipertukarkan, tetapi ada sedikit perbedaan makna.
(8)  Dewi ingin memiliki segala bunga yang terdapat di kebun itu.
(9)  Dewi ingin memiliki semua bunga yang terdapat di kebun itu.

Kalimat (8) menyiratkan pengertian bahwa di kebun itu ada berbagai jenis bunga. Kalimat (9) mengandung dua pengertian: mungkin satu jenis bunga yang ada di kebun itu atau mungkin pula ada berbagai jenis.
Jika benda yang ditunjuk kata segala tidak beragam, penggunaanya akan janggal, seperti terlihat pada kalimat berikut.
(10)       *segala siswa kelas IX akan menghadapi ujian nasional.
Kata sekalian menyatakan keserentahan. Kata itu hanya digunakan untuk mengacu pada orang atau pada manusia. Hal itu terlihat pada kejanggalan pemakaiannya dalam kalimat berikut ini.
(11)       *sekalian meja akan diangkut ketempat lain
Kata sekalian diperlukan dengan semua seperti pada kalimat berikut.
(12)   Sekalian orang diruangan itu menengok kepadanya.
(13)   Semua orang diruangan itu menengok kepadanya.
Kata segenap menyatakan makna ‘semua’, tetapi dalam pengertian kelengkapan. Dalam hal ini maknanya mirip dengan kata seluruh.
(14)       Segenap bangsa Indonesia menjunjung bahaa persatuan.
Perbedaannya dengan kata seluruh ialah bahwa kata ini biasanya diikuti oleh kata yang mengatakan manusia. Kalimat berikut ini tidaklah lazim.
(15)       *kita akan melindungi segenap binatang dari kepunahan.
(16)       *segenap tubuhnya terkena tupahan minyak.

Nyaris dan Hampir


Kata hampir dan nyaris mempunyai kemiripan arti. Keduanya menyatakan hal yang dekat dengan peristiwa atau keadaan tertentu. Perbedaannya ialah bahwa kata hampir bersifat netral; mungkin berkaitan dengan hal yang tidak di inginkan, mungkin pula tidak. Kata nyaris cenderung dikaitkan dengan peristiwa yang tidak di inginkan, seperti bahaya, kecelakaan, kemalangan, dan yang sejenisnya.

1.    Mobil kami hampir kehabisan bensin ketika sampai di Sumbawa.
2.    Kedua pesawat penumpang itu nyaris bertabrakan.

Kata hampir mengandung makna ‘belum’ dan mengisyaratkan bahwa peristiwa yang dimasudkan itu selanjutnya dapat terjadi. Pada kalimat 1, misalnya, mobil itu dapat benar-benar kehabisan bensin setelah melewati Sumbawa. Contoh lain terdapat pada kalimat ini.

3.    Hari sudah hampir malam.
Kata nyaris tidak mengisyaratkan berlangsungnya suatu proses. Pada kalimat kedua di atas, misalnya, tidak diisyaratkan bahwa peristiwa tabrakan betul-betul terjadi sesudah itu. Dalam hal ini, kata nyaris sepadan dengan hampir saja seperti pada kalimat berikut.
4.    Kedua pesawat penumpang itu hampir saja bertabrakan.

Untuk peristiwa yang tidak ada hubungannya dengan bahaya atau kecelakaan, dapat menggunakan hampir saja dan bukan nyaris.
Contohnya pada kalimat berikut ini.

5.    Ia hampir saja menjadi juara dalam turnamen itu.
Untuk menyatakan hal yang mendekati keadaan atau sifat tertentu dapat digunakan hampir-hampir dan bukan nyaris. Berikut ini contohnya.
6.    Gerakannya hampir-hampir sempurna.
7.    Ia manusia yang hampir-hampir tidak mengenal menyerah.

Setelah memperhatikan pengertian dan perbedaan kata nyaris dan hampir itu, diharapkan kita dapat lebih cermat dalam menggunakannya sesuai dengan keperluan.

Kamis, 24 Februari 2011

Di sini melayani obat generik

Kalimat Di sini melayani obat generik seringkali kita temukan pada apotek yang direntang dengan kain (spanduk). Maksud kalimat itu (kurang-lebih) untuk menyatakan bahwa di tempat itu dijual obat generik. Hemat penulis, terdapat dua kesalahan yakni (1) kesalahan pemakaian kata di sini dan (2) pemakaian kata melayani.
Kelompok kata di sini dalam kalimat itu berfungsi sebagai keterangan. Unsur-unsur kalimat tulis harus dinyatakan secara lengkap. Setidaknya kalimat ragam tulis itu harus terdiri atas subjek dan predikat. Pada kalimat itu tidak terdapat subjek. Jika ditambahkan unsur subjek maka kalimatnya menjadi Di sini kami melayani obat generik tetapi maknanya terasa tidak masuk akal karena predikatnya dilesapkan. Oleh karena itu, kalimat tersebut masih perlu disempurnakan menjadi: Di sini kami melayani pembelian obat generik atau Di sini kami menjual obat generik.

Masyarakat Madani, Apa maksudnya?


Kata madani mulai mencuat ketika BJ Habibie menjadi presiden Republik Indonesia. Kata madani berkaitan dengan kota Madinah. Pada masa Nabi Muhammad SAW, masyarakat Madinah sudah memiliki peradaban tinggi, santun, menghormati pendatang, patuh pada norma dan hukum yang berlaku, memiliki rasa toleransi yang tinggi yang dilandasi penguasaan iman, ilmu pengetahuan ,dan teknologi. Atas dasar penalaran tersebut maka masyarakat madani yang acapkali kita dengar bermakna masyarakat yang memiliki peradaban tinggi, santun, menjunjung tinggi norma dan hukum yang berlaku yang dilandasi penguasaan iman, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Perbedaan Rakyat dan Masyarakat

Penggunaan kedua kata ini sering dipertukarkan dengan tidak tepat. Kata rakyat berkaitan dengan sebuah negara, sedangkan kata masyarakat berkaitan dengan kelompok sosial yang tinggal disuatu wilayah negara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata rakyat berarti segenap penduduk suatu negara, sedangkan masyarakat berarti sejumlah manusia yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Dalam bahasa Inggris kata rakyat maknanya sama dengan people dan dalam bahasa Belanda disamakan maknanya dengan volks.
Padanan kata masyarakat di dalam bahasa Inggris ialah community. Makna kata itu berkaitan dengan adat-istiadat dan budaya yang sama seperti ungkapan masyarakat desa, yakni kelompok sosial yang terikat oleh kesamaan tatanan dan tradisi dan pola hidup yang berlaku di lingkungan pedesaan.

Selasa, 22 Februari 2011

Upacara 'Hanta U’a Pua' Sebagai Sejarah Masuknya Islam di Bima

Disari dari Prosesi Upacara Hanta U’a Pua 19 Februari 2011

         Sara Dana Mbojo yang kini dikenal dengan nama Majelis Adat Dana Mbojo merupakan forum partner kerja pemerintah daerah kabupaten Bima dalam melaksanakan hukum adat dan hukum agama dalam tatanan kehidupan masyarakat. Majelis ini berperan untuk membina dan meningkatkan kehidupan sosial budaya dan agama masyarakat Bima untuk terus menggali dan melestarikan falsafah kehidupan berbudaya dan bermasyarakat. Dihidupkannya kembali majelis ini (sejak tahun 2000), dimaksudkan untuk mengantisipasi arus globalisasi dan modernisasi yang tengah merambat dan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat Bima.
Majelis ini diketuai oleh Dr. Hj. Siti Mariam S. Salahuddin, SH, Wakil ketua Putra Mahkota Kesultanan Bima, H. Ferry Zulkarnain, ST bin Sultan H. Abdul Kahir II. Anggotanya terdiri atas lima Saraweki yang masing-masing bergelar Ruma Bumi Kaka, Ruma Bumi Runggu, Ruma Bumi Ncandi, Ruma Bumi Kae, dan Ruma Bonto Paja dan dibantu oleh 30 Sara Tua yang meliputi 11 Sara Hukum, dan 6 Bumi Pasisi dan Jena Luma. Salah satu tradisi yang tengah dihidupkan kembali ialah Hanta U’a Pua yang digelar setiap tahun pada Maulid Nabi Muhammad SAW.
U’a Pua (melayu; Sirih Puan) merupakan serumpun tangkai bunga telur berwarna-warni yang dimasukan ke dalam wadah bersegi empat. Jumlah bunga  99 tangkai sesuai dengan usma’ul husna kemudian ditengahnya diletakkan sebuah kitab suci Al-Quran.
U’a Pua ditempatkan ditengah-tengah sebuah rumah mahligai (Bima: Uma Lige) yang berbentuk segi empat berukuran 4x4 meter. Bentuk Uma Lige (UL) ini terbuka ke empat sisinya. Atapnya bersusun dua sehingga para penari lenggo Mbojo (empat orang gadis), dan penari Lenggo Melayu (empat orang perjaka), beserta para penghulu melayu dan pengikutnya yang berada di atas  UL dapat dilihat oleh seluruh masyarakat sepanjang jalan.
UL diusung oleh 44 orang pria berbadan kekar sebagai simbol keberadaan 44 DARI MBOJO yang terbagi menurut jenis keahlian dan keterampilan yang dimilikinya sebagai bagian dari struktur pemerintahan kesultanan Bima. Mereka start dari kampung Melayu menuju Istana Bima untuk diterima oleh Sultan Bima dengan amanah untuk memegang teguh pada ajaran agama Islam.
Sebelum acara inti, upacara adat ‘Hanta U’a Pua(HUP)’ dilaksanakan di Istana Kesultanan Bima pada tanggal 12 rabi’ul awwal. Pada malam harinya diselenggarakan dzikir Maulid yang diikuti oleh majelis Adat Dana Mbojo, pejabat pemerintah, dan masyarakat umum. Dzikir ini dilaksanakan untuk memperingati hari Maulid Nabi Besar Muhammad SAW. Sembari dzikir berlangsung, oleh beberapa orang dilakukan kegiatan pengirisan daun pandan membuat “bunga bareka” yakni pandan yang dicampur dengan kembang-kembang dan wangi-wangian yang akan dibagikan kepada peserta dzikir dan tetamu.
Beberapa hari kemudian, upacara adat HUP digelar dan disaksikan oleh seluruh masyarakat Bima. Upacara adat HUP ini merupakan iring-iringan UL yang diusung oleh 44 orang tiap sudutnya berjumlah 11 orang menggambarkan keberadaan 44 kelompok masyarakat dari Mbojo, yakni kelompok asli Dou Dana Mbojo sesuai dengan jenis keahliannya. Misalnya dari kelompok Ngali yang menjadi guru ngaji, dari kelompok Bedi menjadi tentara. UL tersebut membawa Penghulu Melayu yang mengantarkan rumpun Bunga Dolu 99 buah melambangkan 99 nama Allah Asma’ul Husna dan sebuah Al-Quran untuk disampaikan kepada Sultan Bima. Iring-iringan Penghulu Melayu terdiri atas empat putri penari Lenggo Mbojo dan empat putra penari Lenggo Melayu merupakan perpaduan seni budaya tradisional Bima dan Melayu. Diiringi pula oleh musik Genda Mbojo. UL diusung hingga depan serambi Istana yang sedah ditunggu oleh Sultan dan pembesar kerajaan serta tetamu lainnya.
Rombongan penghulu Melayu kemudian menyerahkan Bunga Dolu dan Al-Quran sebagai lambang perjanjian antara Sultan I yang masuk Islam, Sultan Abdul Kahir dengan pendekar pembawa agama Islam pertama di Bima yakni Datuk Ribanda dan Datuk Ditiro. Penghulu Melayu merupakan keturunan dari pendekar yang membawa Islam pertama kali di Bima.
Iring-iringan UL ini disambut Tari Sere yang mengantar UL sampai ke tangga Istana. Pada posisi depan masuklah Jara Wera yang berlari kencang mendahului UL. Menurut sejarah, para penumpangnya ialah pendekar yang menunjukkan jalan serta mengantar para Datuk yang datang dari Makasar menuju Bima melalui teluk Bima ketika pertama kali membawa ajaran Islam di kerajaan Bima. Itulah sebabnya jara Wera posisinya paling depan. Dibelakang pasukan Jara Wera diikuti pasukan Jara Sara’u yakni pasukan elit berkuda Kesultanan Bima sebagai pengawal kehormatan. Pasukan ini merupakan pasukan berkuda yang amat terampil menunggang, mengatur irama, dan gerak langkah kuda. Di tengah halaman Istana, kuda-kuda ini melakukan atraksi mempertontonkan keterampilan seni menarinya. Kuda-kuda jantan berbadan tinggi tegap ini dulunya pandai menari mengikuti irama tambur yang ditabuh bertalu-talu.
Disusul pasukan Prajurit Kesultanan Bima yang disebut Laskar Suba Na’e. Pasukan ini membawa peralatan perang berupa tombak dan tameng sebagai simbol kesiapsiagaan pasukan kerajaan dalam mengamankan negeri. Dibelakang pasukan Laskar Suba Na’e berjalan UL diiringi oleh keluarga besar kampung Melayu. Mereka ialah tamu kehormatan dalam upacara adat ini. Setelah UL tiba di tangga Istana, UL diturunkan untuk mengantarkan rumpun bunga Dolu dan Al-Quran yang diserahkan kepada sultan Bima.
Setelah penyerahan Al-quran lalu digelar Tari Lenggo Mbojo dan Lenggo Melayu dihadapan para undangan dan disaksikan oleh masyarakat umum. Diakhir acara, Bunga Dolu dibagikan oleh sultan kepada masyarakat Bima yang hadir sebagai simbol membagi berkah kepada rakyat sekaligus menandakan kerajaan sangat peduli kepada kemakmuran rakyatnya. Dengan berakhirnya pembagian Bunga Dolu, maka berakhir pulalah seluruh rangkaian upacara adat HUP.

Jumat, 18 Februari 2011

Guru di SKAK Mutu Pendidikan Meningkat: Menelusuri Program Sertifikasi

 A. Rasional

UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dimaksudkan untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan, serta efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global yang mencuat. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan nasional (MPN), pemerintah telah menetapkan delapan standar nasional pendidikan yang harus menjadi acuan, sekaligus kriteria dalam menetapkan keberhasilan penyelenggaran pendidikan nasional. Delapan standar nasional pendidikan yang dimaksud meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan[1].
Salah satu standar yang berkaitan langsung dengan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan ialah standar pendidik dan tenaga kependidikan, khususnya guru. Guru sebagai tenaga profesional bertugas mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, guru sebagai tenaga profesional wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi, serta sehat jasmani dan rohani.
Kualifikasi akademik untuk guru ialah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi dan dibuktikan dengan kepemilikan ijazah yang mencerminkan kemampuan akademik yang relevan dengan bidang tugasnya. Kompetensi guru adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan[2]. Ini menunjukkan bahwa standar kualifikasi akademik dan kompetensi (SKAK) guru telah ditetapkan, baik guru TK/RA, guru SD/MI, guru SMP/MTs, guru SMA/MA maupun guru SMK untuk kelompok mata pelajaran normatif dan adaptif.
Pencapaian SKAK guru dibuktikan melalui sertifikat profesi guru yang diperoleh melalui program sertifikasi. Dengan kata lain, sertifikasi adalah proses untuk mengukur dan menilai pencapaian SKAK minimal yang dicapai oleh seorang guru. Guru profesional yang memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi yang memenuhi standar akan mampu mewujudkan mutu pendidikan nasional (MPN). Oleh karena itu, program sertifikasi merupakan salah satu program utama untuk meningkatkan MPN.
B. Paradigma Profesi Guru
Ada banyak faktor yang berperan urgensif dalam mengusung MPN di republik ini. Salah satunya ialah tersedianya sosok guru yang
berkompeten yaitu memiliki empat kompetensi yang dipersyaratkan oleh UGD seperti  kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Guru merupakan pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik
[3]. Jika ke empat kompetensi ini telah disandang dan melekat kuat pada sosok guru, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama obsesi mutu pendidikan yang kerap digaungkan selama ini akan dapat dicapai. Artinya, dapat digeneralisasi ‘kasar’ bahwa salah satu faktor yang diduga sebagai biang rendahnya MPN diantaranya ialah guru, karena masih ada sebagian guru yang tidak kompeten. Lalu muncul pertanyaan retorik “mengapa guru tidak kompeten? Jawabannya amat bervariasi dan sangat tergantung pada ‘kaca mata’ yang Anda gunakan. Namun, jika dipandang pada perspektif yuridis karena masih ada (bahkan banyak) guru yang tidak memahami secara akurasi tugas yang diembannya sebagai profesi yang seharusnya profesional yakni untuk meningkatkan martabat (bukan untuk peningkatan kesejahteraan) dan perannya sebagai agen pembelajaran dalam meningkatkan MPN. Atau memang mereka pura-pura tidak memahami dengan berbagai dalih klasik yang menurut hemat penulis tidak berterima lagi pada era milenium ini.
 Anda harus ingat dan merevitalisasi bahwa hakikat dari profesi ialah sebuah pernyataan dan pernyataan itu merupakan janji seseorang yang mengabdikan dirinya pada suatu jabatan atau layanan –yang menjadi sumber penghasilan kehidupan– karena ia merasa terpanggil menjabat pekerjaan itu. Profesionalitas (bukan profesionalisme) guru tentu telah dibangun dengan susah payah melalui kompetensi yang secara nyata diperlukan dalam menyelesaikan pekerjaan yang digelutinya. Jika ini tidak difahami secara utuh tentu obsesi awal pendidikan kita akan macet dan bahkan gagal memanusiakan manusia. Jika yang terjadi sebaliknya, maka akan lahir anak bangsa yang mumpuni, yang ahklakul qarimah sebagai profil pendidikan yang bermutu.
Pengembangan profesionalitas guru meliputi peningkatan kompetensi
kinerja (performance), kesejahteraan, dan moralitas. Saat ini,  diharapkan guru yang mampu memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi serta
berubah peran menjadi fasilitator yang membelajarkan siswa sampai menemukan
sesuatu.
Selain itu, guru hendaknya bersikap demokratis serta menjadi profesional
yang mandiri dan otonom. Bukan untuk mencari-cari kelemahan orang lain. Pengalaman penulis dalam memimpin sebuah SMP menunjukkan bahwa kerja guru
60% membangun negatif tinking dan hanya 40% untuk peningkatan mutu. Sehubungan dengan ini, guru harus siap diuji kompetensinya
secara berkala agar kinerjanya tetap memenuhi syarat profesional yang terus
berkembang. Untuk masa depan profil kelayakan guru akan ditekankan pada aspek kemampuan membelajarkan, yang dimulai dari menganalisis, merencanakan/merancang, mengembangkan, dan mengimplementasikan serta memenuhi pembelajaran yang berbasis pada penerapan teknologi pendidikan[4]. Profesionalisasi dalam bidang kependidikan mengandung arti peningkatan segala
daya dan usaha dalam rangka pencapaian secara optimal layanan yang diberikan
oleh masyarakat. Dengan demikian, guru harus mampu secara tepat
menggunakan pertimbangan profesional dalam bertindak dan menjawab segala
tantangan yang dihadapi.
C. SKAK, Mutu Pendidikan Nasional dan Kenyataan
MPN yang tercermin dalam kompetensi lulusan satuan pendidian dipengaruhi oleh berbagai komponen yang saling kait-mengkait, seperti proses, isi, guru, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Pencapaian kompetensi lulusan yang memenuhi standar hendaknya didukung oleh isi dan proses pendidikan yang juga memenuhi standar. Perwujudan proses pendidikan yang berkualitas dipengaruhi oleh kinerja guru, kualitas, dan kuantitas sarana dan prasarana, kualitas pengelolaan, ketersediaan dana, dan sistem penilaian yang valid, objektif dan tegas. Oleh karena itu perwujudan MPN hendaknya didukung oleh isi dan proses pendidikan yang memenuhi standar, guru yang memenuhi SKAK agar berkinerja optimal, serta sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan yang memenuhi standar.
Secara konseptual, kinerja guru selain ditentukan oleh SKAK juga ditentukan oleh kesejahteraan, karena kesejahteraan yang memadai akan memberi motivasi kepada mereka untuk melakukan tugas profesionalnya secara sungguh-sungguh. Kesungguhan seorang guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya akan sangat menentukan perwujudan pendidikan nasional yang bermutu, karena mereka merupakan agen pembelajaran yang akan menjadi modelling bagi siswanya, baik dalam lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Kenyataan menunjukkan bahwa masih ada guru yang memaknai keliru terhadap istilah ‘kesejahteraan’. Mereka menganggap  bahwa kesejahteraan identik dengan uang. Tidak jarang kita dengar pernyataan yang membandingkan besarnya nominal gaji guru di Indonesia dengan Malaysia dan dengan negara-negara lain yang sudah maju. Kemudian mereka membuat generalisasi bahwa kesejahteraan guru di Indonesia masih rendah. Mereka tidak sadar bahwa mereka sedang menanamkan optimistik dan kemalasan bekerja. Padahal, diberikan kesempatan untuk berlibur pada setiap akhir semester, kebijakan jumlah beban mengajar, dan sampai pada pemberian ijin untuk hal-hal yang bersifat sosial-kemasyarakatan merupakan kesejahteraan yang telah melebihi sejahteranya guru-guru di negara lain. Demikian pula pada tataran konstitusi, guru-guru di Indonesia telah diberi kesejahteraan yang super seperti antara lain melalui Undang Guru dan Dosen (UGD). Namun, kenyataan menunjukkan bahwa UGD telah menjadi Unit Gawat Darurat bagi sebagian guru kita.
Jika dimencermati, UU RI Nomor 14 Tahun 2005, jelas bahwa UU tersebut berintikan peningkatan kesejateraan guru yang ditandai oleh adanya tunjangan khusus, tunjangan fungsional dan tunjangan profesi pendidik. Namun harus disadari bahwa peningkatan kesejahteraan guru yang diamanatkan oleh UU tersebut bukan merupakan tujuan, tetapi lebih sebagai instrumen untuk meningkatkan kinerja guru agar berdampak terhadap peningkatan MPN. Peningkatan kesejahteraan bagi guru yang telah memenuhi SKAK akan berfungsi meningkatkan kinerja, tetapi peningkatan kesejahteraan bagi guru yang SKAK-nya belum memenuhi standar sulit diharapkan untuk berdampak terhadap peningkatan kinerja sesuai yang diharapkan. Oleh karena itu, khusus untuk tunjangan profesi guru hanya akan diterima oleh guru profesional yang ditandai dengan kepemilikan sertifikat profesi guru melalui program sertifikasi. Melalui program sertifikasi, akan terwujud guru profesional, yaitu guru yang minimal telah memenuhi SKAK dan kepada mereka akan diberi tunjangan profesi pendidik yang besarnya sama dengan satu kali gaji pokok, dan selanjutnya diharapkan bahwa mereka akan berkinerja optimal dan pada gilirannya akan mewujudkan MPN.
Sebaliknya kesejahteraan yang diberikan kepada guru yang belum memenuhi SKAK, sulit untuk mewujudkan kinerja yang optimal dan selanjutnya juga tidak akan berdampak terhadap peningkatan MPN. Oleh karena itu, memberian tunjangan profesi pendidik sebagai salah satu komponen kesejahteraan kepada semua guru tanpa sertifikasi tidak akan berdampak terhadap peningkatan kinerja guru dan dengan sendirinya juga tidak akan berdampak terhadap peningkatan MPN[5].
Dari uraian tersebut jelas bahwa sertifikasi akan berdampak terhadap peningkatan kinerja guru dan selanjutnya berdampak terhadap peningkatan MPN jika sertifikasi dapat dilakukan secara objektif dan valid. Artinya sertifikat profesi guru hanya diberikan kepada guru yang telah memenuhi SKAK dan benar-benar telah memiliki SKAK yang dipersyaratkan. Hal ini hanya akan terwujud apabila program sertifikasi dilakukan secara objektif dan valid. Selain itu, sertifikasi juga hendaknya berkeadilan, dalam arti prioritas kesempatan untuk mengikuti sertifikasi berdasarkan atas berbagai faktor yang merupakan indikator kualitas dan prestasi guru di sekolah, seperti kesenioran (usia, kualifikasi akademik, pengalaman akademik, kepangkatan), prestasi kerja sehari-hari yang dinilai oleh atasan dan teman sejawat, dan kinerja profesional yang diperlihatkan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Dengan demikian mudah dipahami bahwa program sertifikasi yang dilaksanakan secara objektif, valid, dan berkeadilan akan berpengaruh positif terhadap peningkatan kinerja guru dan selanjutnya akan berpengaruh positif terhadap MPN.
            Selain ditentukan oleh kinerja guru, upaya MPN juga akan sangat ditentukan oleh pelaksanaan penilaian yang valid, objektif dan tegas, baik penilaian oleh guru dan satuan pendidikan maupun penilaian oleh pemerintah. Khusus penilaian oleh guru dan satuan pendidikan mempunyai peran yang penting, karena selain bertujuan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil pembelajaran secara berkesinambungan, juga bertujuan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa dalam rangka memelihara kontinuitas proses belajar siswa. Namun sangat disayangkan, ketika diakhir perjalanan siswa dalam menempuh suatu jenjang pendidikan akan dihadapkan pada ujian nasional yang konsepnya amat jauh dari formula authentic asessement. Hasil ujian nasional hingga tahun 2011 ini masih dijadikan sebagai dasar penetapan kelulusan siswa, kendati ada keterlibatan nilai sekolah. Selain itu, sekolah telah diberi kewenangan untuk menetapkan kelulusan, tetapi mengapa formula untuk memperoleh NA, besarnya porsentase keterlibatan NS lebih rendah (40%) daripada NUN (60%)? Mengapa pula porsentase NRR lebih rendah (40%) daripada Nilai Ujian Sekolah/NUS (60%) dalam perolehan NS? sementara NRR merupakan hasil authentic asessement dan US didominasi oleh uji domain kognisi.  Hal-hal semacam ini menggambarkan bahwa sekolah masih menjadi subordinasi-birokrasi dari pemerintah pusat.
D. Program Sertifikasi Guru
Sertifikasi guru merupakan proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi SKAK dengan mengacu pada UU Nomor 14 Tahun 2005, PP Nomor 19 Tahun 2005, Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007, dan Permendiknas Nomor 18 Tahun 2007. Program sertifikasi guru ini diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah dan dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel[6]. Sertifikasi guru dalam jabatan yang telah memenuhi SKAK, yaitu pendidikan formal minimal Sarjana (S-1/A-IV) dan/atau Diploma 4 (D-4/A-IV) akan dilakukan melalui penilaian portofolio sebagai suatu bentuk uji kompetensi guru untuk menilai yang bersangkutan telah memenuhi SKAK yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional[7].
Penilaian portofolio dilakukan sesuai ketentuan pemerintah yang merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mendeskripsikan: (a) kualifikasi akademik, (b) pendidikan dan pelatihan, (c) pengalaman mengajar, (d) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (e) penilaian dari atasan dan pengawas, (f) prestasi akademik, (g) karya pengembangan profesi, (h) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (i) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan (j) penghargaan yang relevan dengan pendidikan. Guru dalam jabatan yang lulus penilaian portofolio akan mendapat sertifikat pendidik, sedangkan yang tidak lulus penilaian portofolio dapat: (a) melakukan kegiatan-kegiatan untuk melengkapi dokumen agar mencapai nilai lulus dan (b) mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru yang diakhiri dengan ujian, sesuai persyaratan yang ditentukan oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi[8].
Secara retoris dapat dipertanyaan: apakah kumpulan kertas dalam penilaian portofolio dapat menjamin kevalidan data?; dan apakah perguruan tinggi yang ditunjuk sudah dapat melaksanakan tugas seperti yang diamanatkan oleh permendiknas itu? Kita harus cermati bahwa ketika program sertifikasi ini digaungkan hingga implementasi, bermuncullah berbagai kegiatan seminar dimana-mana, dan lahir pula perguruan tinggi hingga ke desa-desa terpencil, semuanya bertajuk pendidikan. Masih dalam kategori baik jika mereka dengan serius dan benar mengikuti kegiatan dan perkuliahan itu, tetapi jika sekedar untuk mendapatkan legitimasi melalui sehelai kertas sertifikat seminar dan ijazah –yang tidak jelas ujung pangkalnya–, harapan apa yang dapat diperoleh.
Lebih unik lagi, sekitar pertengahan tahun 2010 kegiatan-kegiatan itu mulai surut dan bahkan menghilang. Walau praduga tak bersalah, hendaknya dicari tahu kenapa itu semua terjadi, padahal sebelumnya tidak pernah terjadi, Ada apa di baliknya? Seyogyanya sebelum program ini dilanjutkan hendaknya ditemukan terlebihdahulu jawaban dari pertanyaan di atas. Penulis khawatir dengan pola penilaian portofolio akan menjadi penyakit polio yang secara pelan akan menggerogoti MPN yang tengah kita usung bersama.




[1] Permendiknas Nomor 19 tahun 2005 tentang SNP
[2] Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru
[3] UU RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
[4] Asiatin, Kaptun. Pengembangan Profesionalitas Guru dan tenaga Kependidikan. Makalah UNJ. 2005
[5] Kapsi Asiatun dan Kokoh Komariah. Sertifikasi untuk Pengembangan profesionalisme Guru dan tenaga Kependidikan. Makalah UNJ, 2005, Hal. 3
[6] UU RI Nomor 14 Tahun 2005 Psl. 11 Ayat 2 dan 3
[7] Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Akademik dan Kompetensi Guru
[8] Permendiknas RI Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan

Senin, 07 Februari 2011

Dilema UN 2011, Benarkah..? (Sebuah Renungan dan Obsesi)


Rasional
Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu bentuk asessement yang dilaksanakan pada akhir setiap satuan pendidikan. Walaupun UN ini merupakan kegiatan yang sudah berlangsung bertahun-tahun, namun sejak tahun 2004  hingga kini menuai kritikan tajam dari berbagai kalangan dan memunculkan kontroversi berkepanjangan yang dilansir oleh berbagai media masa. Kontroversi tersebut tampaknya masih meninggalkan sejumlah pertanyaan yang bukan hanya menarik untuk dikaji melainkan juga dapat menimbulkan pro–kontra berkelanjutan.
Goresan sederhana ini diilhami oleh berbagai pertanyaan psimistik dan reaksi masyarakat terhadap lahirnya Permendiknas Nomor: 45 & 46 Tahun 2010 tentang Kriteria Kelulusan dan Peraturan BNSP Nomor: 0148-0149/SK-POS/BNSP/I/2011 tentang Prosedur Operasi Standar (POS) Ujian Nasional (UN) SMP/Mts./SMA/MA/SMK tahun 2011. Ketika SMP Negeri 1 Bolo (Sekolah Standar Nasional) melaksanakan sosialisasi (2/2) kepada masyarakat, guru, dan calon peserta UN, berbagai pertanyaan, usul, dan saran yang muncul sebagai bentuk kekhawatiran mereka terhadap nasib siswa. Pertanyaan yang sama ternyata juga muncul dikalangan mahasiswa di  kampus tempat penulis mengajar. Dilema UN ini, ternyata juga menjadi headline di banyak situs internet. Pada intinya, pertanyaan-pertanyaan itu mengarah kepada adanya perubahan teknik yang akan dilakoni satuan pendidikan pada penyelenggaraan UN 2011 kelak, yang menurut pandangan mereka akan menjadi dilema nasional yang rentan memicu terganggunya perkembangan potensi siswa. Pertanyaan mereka cukup beralasan.
Telaah Kritis UN 2011
Hemat penulis, pada hakikatnya tidak ada perubahan mencolok dalam teknik pelaksanaan UN 2011 dengan sebelumnya, yang ada ialah penyempurnaan. Jika sesuatu diadakan penyempurnaan pasti muncul hal baru dengan konsep-konsep pembaruannya. Karena masyarakat kita ‘acapkali’ terkonstruk kuat pada kebiasaan lama, maka konsep yang baru dianggap ganjil dan tidak berterima pada nurani.  Secara filosofi, menelusuri hal baru itu lebih baik dan indah daripada jalan ditempat tanpa ada perubahan apa-apa. Kini, kita semua sedang membangun sebuah gunung, untuk mendapatkan bayangan gunung. Adalah sebuah keniscayaan meraih bayangan gunung, jika yang mampu kita bentuk hanya segelintir kerikil. Artinya, penyempurnaan ini merupakan bagian dari bentuk konsekuensi logis dari hasil survei, verifikasi, dan evaluasi penyelenggaraan UN selama ini, dan bukan kebijakan sewenang-wenangnya pemerintah. Seyogyanya, dari tahun ke tahun teknik penyelenggaraan UN memang harus disempurnakan. Tentu, didasarkan pada angka capaian UN sebelumnya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Berdasarkan pola pikir ini, maka amatlah pantas jika standar kelulusan pada UN 2011 dinaikkan hingga minimal 5,5. Kita harus sadar bahwa angka ini justru amat memalukan, karena jika direntang pada skala nilai masih amat jauh dari titik ideal, dan sangat rendah jika di bandingkan dengan negara tetangga yang sudah menetapkan angka minimal mendekati titik ideal. Coba kita cermati bahwa angka ini baru menginjak 0,5 dari titik tengah. Angka 5,5 yang ditetapkan inipun bukan sepenuhnya dari hasil UN tetapi hasil penggabungan antara NS dan nilai UN. Mungkin dengan cara ini obsesi kita untuk meraih bayangan gunung tercapai.
Penyempurnaan lainnya ialah jumlah paket soal. Jika UN sebelumnya hanya menggunakan dua paket soal, pada UN 2011 akan menebarkan secara randomisasi lima paket soal dalam satu ruang ujian (pada 20 peserta). Hal ini –kurang-lebih– dimaksudkan untuk menjawab berbagai isu mengkambinghitamkan kebocoran soal, pemberian kunci jawaban, dan sebagainya yang kerap dilansir oleh berbagai kalangan pada proses UN sebelumnya. Jadi ruang gerak subjektifitas sekarang dipasung. Cara ini seharusnya kita dukung, jika mau maju. Ingat, hanya orang-orang yang berani berubahlah yang akan maju.
Penulis yakin bahwa tidak ada niat pemerintah pusat mempersulit, apalagi menghambat perkembangan potensi. Penentu kelulusan pun sekarang diberi kewenangan kepada masing-masing satuan pendidikan yakni berdasarkan NA. NA diperoleh dari NS dan Nilai Rerata Rapor (NRR) semester 1, 2, 3, 4, dan 5 bagi SMP/MTs. Sedangkan SMA/MA/SMK diambil dari NRR semester 3, 4, dan 5. Dalam penyempurnaan itu juga tidak ditemukan ketetapan angka deviasi antara NS dan Nilai Ujian Nasional (NUN). Ini memberikan indikasi bahwa UN kita masih dalam kategori longgar. Selain itu, ketiadaan ujian ulangan sudah tepat dalam upaya menghilangkan kebiasaan mengharap pada hal-hal-hal yang naif. Memang harus diakui, dengan peraturan yang diterapkan pada UN 2011 ini terdapat hal-hal yang tidak diakomodir secara akurasi oleh pengambil kebijakan, seperti antara lain (a) fungsi dan peran Manajemen Berbasis Sekolah (MBS); (b) perimbangan substansi soal pada domain kognisi, afeksi, dan psikomotorik; (c) pengaruh dan keterlibatan konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP); (d) dampak pemanfaatan pendekatan pembelajaran, seperti Contextual Teaching and Learning (CTL) terhadap kompetensi siswa; dan masih banyak lagi hal-hal kecil yang terlewatkan. Berikut ini diseskripsi berbagai dilema dan obsesi sebagai bahan renungan kita semua.
Antara Dilema dan Obsesi (Bahan Renungan)
            Pertama, kita mulai konsep MBS; Semula, gagasan lahirnya MBS dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat, karena sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya sehingga dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan sekolah. Oleh sebab itu, (dalam konteks Otonomi Daerah dan MBS) pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih tepat untuk memenuhi keinginan siswa masyarakat sekitar karena pihak sekolahlah yang paling mengetahui hal-hal yang terbaik bagi sekolah dan lingkungannya, atau dengan kata lain, yang tahu betul tentang seluk-beluk orang Bima ialah orang Bima, dan bukan orang Jakarta.
            Terkait dengan UN 2011, memang sekolah telah diberi kewenangan untuk menetapkan kelulusan, tetapi mengapa formula untuk memperoleh NA, besarnya porsentase keterlibatan NS lebih rendah (40%) daripada NUN (60%)? Mengapa pula porsentase NRR lebih rendah (40%) daripada Nilai Ujian Sekolah/NUS (60%) dalam perolehan NS? sementara NRR merupakan hasil authentic asessement dan US didominasi oleh uji domain kognisi.  Hal-hal semacam ini menggambarkan bahwa sekolah masih menjadi subordinasi-birokrasi dari pemerintah pusat. Mana kemerdekaan guru..?
Kedua, Perimbangan substansi soal pada domain kognisi, afeksi, dan psikomotorik; Secara teoretis, ranah kognitif merupakan keterampilan intelektual atau keterampilan mental dalam aktivitas berpikir. Keterampilan berpikir dikembangkan secara berjenjang mulai dari mengingat, menerapkan prosedur hingga mengembangkan keterampilan intelektual kritis. Sikap (afeksi) perkembangan dan hasilnya tercermin dalam kehidupan nyata sehari-hari siswa yang terintegrasi pada proses kegiatan. Peningkatannya dapat dilihat pada munculnya perubahan prilaku baru yang lebih baik. Pengembangan kesadaran, kesediaan mendengar, ketulusan mengungkapkan pikiran, bereaksi dalam bentuk respon, mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh, berusaha menghasilkan yang terbaik, memecahkan masalah bersama-sama merupakan sebagian dari prilaku yang diamati dalam peristiwa kehidupan siswa sehari-hari.
Keterampilan (psikomotorik) merupakan bentuk keterampilan  fisik termasuk terampil menghasilkan karya kreatif sebagai penerapan ilmu pengetahuan yang siswa kuasai. Keterampilan menggunakan komputer sehingga menghasilkan karya kreatif, sampai keterampilan menggunakan alat laboratorium dengan tepat untuk menghasilkan produk praktikum yang bermutu. Semua ini dikembangkan dalam bentuk target yang digariskan dalam visi-misi sekolah. Lalu sekarang muncul pertanyaan “mengapa Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan indikator soal yang tertera pada Permendiknas No.: 46/2010 sebagai acuan UN 2011 lebih tinggi domain kognisi daripada afeksi dan psikomotorik?” Ini juga akan menjadi dalih bahwa sepantasnya porsentase NS harus lebih tinggi dari UN karena kacamata yang mampu meneropong sikap dan keterampilan siswa dalam kesehariannya ialah guru-guru sekolah.
Ketiga, pengaruh dan keterlibatan konsep KTSP: Sejak diimplementasi MBS, sejak itu pula kewenangan mengembangkan kurikulum diberikan pada sekolah, termasuk di dalamnya penetapkan Kriteria Kemampuan Minimal (KKM). Ini sangat fatal, karena tidak semua sekolah menetapkan KKM yang sama, karena KKM berdasarkan daya dukung, kompleksitas, dan intake masing-masing sekolah. Tentu sekolah yang memiliki daya dukung rendah, kompleksitas rendah, dan intake rendah, akan memiliki KKM yang rendah pula.  Artinya pengambilan NRR sebagai bagian dari NS tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Sehingga pemerintah pusat hendaknya mempertimbangkan secara akuratif perbedaan itu. Dilema “siswa menjadi korban dan/atau siswa sebagai kelinci cobaan” akan benar-benar terjadi.
Keempat, dampak pemanfaatan pendekatan pembelajaran, seperti CTL terhadap kompetensi siswa. Secara sederhana bahwa pembelajaran CTL ialah pembelajaran berbasis konteks. Konsekuensinya ialah guru akan melaksanakan proses pembelajaran sesuai kondisi dan kenyataan keseharian siswa. Konsep dan contoh-contoh yang dijadikan model pun diambil dari bahan yang paling dekat dengan dunia nyata siswa. Pengalaman sejak UN 2004 menunjukan bahwa selalu saja muncul ilustrasi dan contoh-contoh soal tentang Super Market di Surabaya, gajah di Sumatra, dan ilustrasi pulau Dewata Bali, serta letusan gunung Galunggung di Jawa yang secara konseptual telah melebar keluar dari wilayah CTL. Lalu sekarang muncul pertanyaan “bagaimana dengan CTL yang digaungkan selama ini? Padahal di Bima juga memiliki gunung Sangiang dan Tambora yang pernah meletus seperti Galunggung.
Berdasarkan pemikiran ini, maka penulisan naskah soal oleh pusat tidak sesuai dengan konsep CTL. Kita harus ingat bahwa Sapi yang dikenal oleh anak-anak di Bima berbeda dengan sapi [anoa] yang diketahui oleh anak-anak di Sulawesi. Menurut laporan http://id.shvoong.com yang di download pada 7/11/2011 serta referensi hasil penelitian lainnya bahwa CTL berpengaruh signifikan terhadap motivasi belajar siswa. Namun, kenyataan menunjukan bahwa dilembaran sejarah UN 2004 –yang sempat membuat kita terbesit–, terhadap kasus yang menimpa Arafah siswa SMA 1 Madapangga, peraih medali pada ivent olimpiade matematika yang nyata-nyata ditetapkan gagal dan dinyatakan tidak lulus UN lantaran NUN matematika yang tidak memenuhi standar minimal. Apakah anak bangsa harus ditetapkan gagal karena matematika, sementara NUN lainnya melambung? Masih banyak lagi kasus UN lainnya yang menarik untuk ditelaah. Sekarang kita tinggal menunggu, “Benarkah UN 2011 akan menjadi dilema nasional?” entah, semuanya tergantung pemaknaan kita. Yang jelas, hidup ini ialah keyakinan. Jika kita yakin bahwa UN 2011 akan menjadi dilema maka akan menjadi dilema benaran, dan jika kita yakin bahwa UN ini akan memicu laju mutu pendidikan, maka insya Allah mutu pendidikan kita akan benar-benar meningkat dan akan bermunculan anak-anak bangsa yang akhlakul qarimah. Kata dilema, kata gagal, kata setengah mati, dan apapun kata lain yang bernuansa psimistik, sebaiknya tidak perlu ada. Jika ada, apalagi kalau di ada-adakan maka akan menjadi racun pembunuh motivasi dan kreatifitas kita dalam memajukan pendidikan di daerah ini. Dalam setiap kesempatan, penulis selalu memotivasi siapapun dengan ungkapan “Kita diciptakan oleh Allah yang Maha Besar, maka besarkanlah hati dan cita-cita sebesar Allah yang menciptakanmu”. Sekarang yang pantas kita lakukan ialah terus bangun motivasi belajar pada anak-anak kita, perketat kegiatan mereka dan menghindari bermain/hura-hura yang tidak bermanfaat, ubah paradigma UN dulu menjadi paradigma UN kini, kontrol aktifitas mereka secara kontinu, penuhi kebutuhan belajarnya, dan bangun terus komunikasi yang efektif antara orangtua, masyarakat dan sekolah, serta berdo’a.
Kembali tentang UN, kendati masih banyak kelemahannya, ternyata kebanyakan responden di daerah dalam survai nasional berpendapat bahwa UN tetap diperlukan dalam era Otonomi Daerah (Mardapi, dkk., 2001: 12). Mereka melihat bahwa UN sangat diperlukan terutama untuk mendorong siswa, guru, dan kepala sekolah bekerja keras untuk peningkatan mutu pendidikan, kendati belum tercermin dalam capaian angka minimum. Namun kepala sekolah, guru, siswa, dan orangtua menyatakan bahwa UN telah mendorong mereka untuk berupaya agar terjadi kegiatan pembelajaran yang intensif dan efektif di sekolah (Kumaidi, dkk., 2004: 23). Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Mardapi, dkk., (2004: 48) tentang dampak UN yang telah mampu merubah paradigma pendidikan.
Sebagai penutup, UN perlu dan tetap dilaksanakan tetapi hasilnya dimanfaatkan untuk pemetaan program pendidikan, dan sebagai dasar pembinaan/pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam meningkatkan mutu proses dan hasil dan bukan dijadikan sebagai penentu kelulusan. Berikan kemerdekaan sepenuhnya kepada kami (guru), kami ialah tenaga profesional yang diberi imbalan yang pantas untuk itu. Kami yakin, kami bisa melakukannya.