Selasa, 01 Maret 2011

STOP SANDAL, bagaimana jika saya bersepatu?

Ketika penulis memberi kuliah MK Bahasa Indonesia pada salah satu kampus swasta di NTB. Belum waktunya untuk bertanya, tiba-tiba seorang mahasiswa mengacungkan tangan dan bertanya “Apakah maksud larangan STOP SANDAL yang ditulis di masjid/mushallah? Tampaknya mahasiswa ini telah membandingkan antara materi kuliah Analisis Kesalahan Berbahasa yang dijelaskan pada pertemuan pekan sebelumnya dengan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagian orang menganggap pertanyaan ini lucu. Sebenarnya tidak, ini menunjukkan bahwa penanya termasuk orang yang kritis dan cermat dalam bersikap dan bertindak. Tampaknya dia tidak ingin bertindak gegabah. Tindakan seperti ini merupakan bentuk sikap positif seseorang terhadap bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa. Jika ditelaah dari segi semantik –pada konteks sintaksis– maka larangan (1) STOP SANDAL; (2) JANGAN MANCING DI SINI; (3) JANGAN JALAN DI SINI tentu tidak tepat karena kasus (1) dapat bermakna, yang bersepatu menjadi pengecualian; kasus (2) yang menggunakan peralatan lain seperti pukat dibolehkan; dan kasus (3) berlari, berguling disilakan.
Maksud ketiga contoh kasus di atas –kurang lebih– sebagai berikut: kasus (1) bagi yang mengenakan alas kaki (jenis dan bentuk apapun) tidak diperbolehkan masuk; kasus (2) dilarang menangkap tanpa ijin pemilik; dan kasus (3) dilarang lewat di situ. Oleh sebab itu, larangan-larangan tersebut dapat dibenarkan menjadi STOP ALAS KAKI; JANGAN MENANGKAP IKAN DI SINI; dan JANGAN LEWAT DI SINI.