Minggu, 05 Juni 2011

Upaya Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia


A. Rasional
Sejak ditetapkan bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa persatuan pada tanggal 28 September 1928, BI terus mengalami perkembangan. Lebih lagi setelah pemerintah secara resmi mengangkatnya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, pemakaian BI menjadi lebih luas. Bahkan, hampir semua bidang kehidupan di negeri ini menggunakan BI sebagai bahasa pengantar perhubungan. Sebagai alat komunikasi dan interaksi, BI tidak mungkin menghindari kontak dengan bahasa-bahasa lain, termasuk dengan bahasa daerah (BD) –bahasa Bima, bahasa Sasak, bahasa Samawa, misalnya–. BD yang ada di negeri ini ribuan jumlahnya. Demikian pula masuknya bahasa asing (BA) sebagai konsekuensi perkembangan global, tidak mungkin dihindari. Justru BD dan BA tersebut dapat memperkaya BI terutama dari segi perbendaharaan kata (Badudu, 1979). Kendati BI diperkaya oleh bahasa lain, namun tidak sampai pada segi struktur bahasa. Karena itu, BI tetap dapat menunjukkan jati dirinya (Warsiman, 2007).
B. Kongres Bahasa Indonesia
Dalam upaya pembinaan dan pengembangan BI, sejak tahun 1938 hingga kini, setidaknya telah delapan kali kongres bahasa diselenggarakan. Kebijaksanaan pembakuan bahasa, pedoman peristilahan, pedoman penyerapan dan sebagainya, terus dilakukan agar BI mencapai kesempurnaan dan dapat menunjukkan jati dirinya.
1) Keputusan Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1938 di Solo
Hasil kongres BI-I tahun 1938 di Solo Jawa Tengah, memberikan penegasan tentang kedudukan BI serta pengembangan dan pembinaannya untuk semakin dimantapkan. Dalam amanat tersebut dijelaskan bahwa kedudukan BI diusulkan agar dijadikan sebagai bahasa resmi dan bahasa pengantar di dalam perwakilan dan perundangan. Untuk mewujudkan amanat kongres BI-I tersebut, pemerintah mengambil kebijaksanaan dengan menetapkan kedudukan BI sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Sebagai bahasa nasional, pada tanggal 18 Agustus 1945, dua hari setelah kemerdekaan, pemerintah menetapkan bahasa nasional Indonesia ialah BI. Demikian pula kedudukannya sebagai bahasa negara, pemerintah menetapkan kebijaksanaan mengangkat BI sebagai bahasa negara. Kebijaksanaan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada Bab XV, Pasal 36, yang selengkapnya berikut ini: ”Bahasa negara adalah bahasa Indonesia”. Landasan konstitusional ini memberikan kedudukan yang kuat bagi BI untuk digunakan dalam berbagai urusan kenegaraan dan dalam menjalankan tatapemerintahan.
Berdasarkan kedudukan itu, baik sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara, usaha pelestarian, pembinaan dan pengembangannya diwajibkan bagi setiap warga negara yang merasa dirinya sebagai warga BI. Himbauan tentang kewajiban itu telah ditetapkan oleh pemerintah, baik melalui ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) maupun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam ketetapan MPRS tahun 1966 misalnya, ditegaskan agar warga negara Indonesia terus meningkatkan penggunaan BI sebagai alat pemersatu yang ampuh. Di samping itu, dalam ketetapan MPR 1978 dan 1983, juga dirumuskan bahwa pembinaan dan pengembangan BI dilaksanakan dengan mewajibkan penggunaannya secara baik dan benar. Rumusan itu juga ditujukan terhadap penggunaan BI di dalam pendidikan dan pembelajaran agar perlu semakin ditingkatkan dan diperluas hingga mencakup semua lembaga pendidikan dan menjangkau masyarakat luas.
Sebagai tindak lanjut dari ketetapan MPR tersebut, dalam GBHN 1988 ditegaskan kembali bahwa usaha pembinaan dan pengembangan BI akan ditingkatkan melalui jalur pendidikan, baik formal maupun nonformal. Dengan penegasan itu, semua jenjang dan jalur pendidikan di Indonesia mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi wajib menggunakan BI sebagai bahasa pengantar.
Landasan konstitusional tersebut memberikan gambaran bahwa masalah BI ialah masalah bersama, sehingga upaya pembinaan dan pengembangannya pun menjadi tanggung jawab bersama sebagai bangsa Indonesia. Jadi, bukan hanya menjadi tanggung jawab para pakar dan para pembina BI. Tambahan lagi, dalam upaya pengembangan dan pembinaan bahasa, amanat kongres BI-I menegaskan perlunya penyempurnaan atau pembaruan ejaan BI. Hal yang amat penting dan menjadi perhatian dalam kongres BI-I tersebut ialah perlunya menyusun tatabahasa baku, pengembangan leksikon dan penertiban atau perbaikan bahasa surat kabar, karena implementasi dari kebijaksanaan tersebut akan diemban oleh surat kabar. Hal lain yang juga menjadi perhatian kongres ialah perlunya mendirikan Institut BI, atau Fakultas Sastra dan Filsafat. Lembaga semacam itu dianggap penting sebagai sarana pengembangan, penyebarluasan dan pembinaan BI.
2) Keputusan Kongres BI-II Tahun 1954 di Medan
Hasil kongres BI-II tahun 1954 di Medan yang menyangkut kedudukan bahasa memutuskan bahwa: (1) politik BI dalam hubungannya dengan BD dan BA supaya digariskan dengan jelas; (2) perlu dibangkitkan rasa cinta BI dan peningkatan harga diri dengan menggunakan BI; dan (3) perlu ditegaskan bahwa, BI memang berasal dari bahasa Melayu (BM) tetapi disesuaikan dengan pertumbuhannya.
Berkaitan dengan poin (1) yakni, hubungan antara BI dan BD dapat dijelaskan bahwa kedua bahasa itu memiliki sumbangsih yang amat penting terhadap perkembangan bahasa dan bangsa Indonesia. Sebagaimana dijelaskan dalam konstitusi kita bahwa ”bahasa-bahasa daerah yang ‘dipakai’ di wilayah negara Republik Indonesia perlu dipelihara dan di kembangkan”. BD ialah salah satu unsur budaya daerah, dan kebudayaan daerah merupakan unsur kebudayaan nasional yang tengah dibina dan kembangkan. Bahkan, keberadaan BD justru diperlukan untuk pembinaan BI sendiri. Hal ini dapat dilihat pada proses pembelajaran di jenjang pendidikan tingkat rendah di negara ini yang masih menggunakan bahasa ibu atau BD sebagai bahasa pengantar. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa semua anak negeri ini terlahir dengan menggunakan BD sebagai bahasa pertama.
BD memiliki fungsi (1) sebagai lambang kebanggan daerah; (2) lambang identitas daerah; dan (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat (Depdikbud, 1981). Selanjutnya, dalam hubungannya dengan fungsi BI, BD berfungsi sebagai: (1) pendukung bahasa nasional; (2) bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah-daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pembelajaran BI serta matapelajaran lain; dan (3) alat pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah (Depdikbud, 1981).
Demikian pula keberadaan BA di Indonesia. Fungsi BA secara umum harus didasarkan pada substansi tujuan pendidikan, yaitu mencetak manusia Pancasila yang trampil dalam pembangunan. Terkait dengan ini, BA hendaknya dikuasai sedemikian rupa sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk membantu mempercepat proses pembangunan negara dan bangsa.
Penggunaan BA hendaknya dapat membantu mewujudkan politik luar negeri yang bebas dan aktif termasuk mengadakan persahabatan dengan semua negara di dunia. Di samping dasar tujuan tersebut, kita tidak boleh melupakan faktor-faktor lain yang akan menentukan urutan BA yang harus diprioritaskan dan diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia. Faktor-foktor yang menentukan di dalam pemilihan BA antara lain ialah faktor politik, keagamaan, kebudayaan, dan ekonomi (Kartono, dalam Depdikbud 1981).
Di Indonesia BA yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan ialah bahasa Inggris. Bahasa Inggris sebagai BA pertama di Indonesia didasarkan atas posisinya sebagai bahasa internasional, bahasa ilmu pengetahuan, teknologi modern, perdagangan, politik dan sebagainya. Singkatnya, hampir semua bidang kehidupan, bahasa Inggris digunakan untuk sarana penyampaian. Dasar tersebut selaras dengan faktor penentuan dan pemilihan BA yang akan diprioritaskan.
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 096/1967 secara tegas telah menggariskan bahwa pengajaran BA tidak lain fungsinya ialah: sebagai alat untuk mempercepat proses pembangunan negara dan bangsa; membentuk persahabatan dengan bangsa-bangsa lain; dan menjalankan kebijaksanaan luar negeri (foreign policy) kita. Sedangkan tujuan nasional dalam pengembangan ketrampilan ber-BA (dalam hal ini, bahasa Inggris) sesuai dengan keputusan pemerintah dan sesuai dengan kegunaanya ialah agar kita memiliki kompetensi: (1) membaca secara efektif; (2) mengerti bahasa lisan; dan (3) berbicara (Depdikbud, 1981:139). Berdasarkan uraian tersebut, kekhawatiran terhadap terdesaknya kedudukan BI tidak perlu terjadi. Baik BD maupun BA posisinya akan tetap menjadi bahasa pendukung BI.
Selanjutnya, berkaitan dengan poin (2) tentang perlunya dibangkitkan rasa cinta BI dan peningkatan harga diri dengan menggunakan BI, tampaknya sejak kongres BI-II mengalami perkembangan yang menggembirakan. Kebijaksanaan menggunakan BI sebagai bahasa pengantar di semua jenjang pendidikan berpengaruh luas terhadap persepsi status sosial di tengah masyarakat. Bahkan, menggunakan BI dalam pergaulan sehari-hari dianggap sebagai kaum terpelajar atau kaum intelek.
Amanat kongres BI-II (poin [3]) ialah berkaitan dengan perlunya ditegaskan kembali bahwa BI ialah berasal dari bahasa Melayu tetapi disesuaikan dengan pertumbuhannya. Bakry (1981) menjelaskan bahwa BI yang diangkat sebagai bahasa nasional dan bahasa negara berasal dari bahasa Melayu Riau. Sungguhpun berasal dari bahasa Melayu Riau, tetapi dalam perkembangannya ia telah mengalami perubahan yang signifikan. Ciri sebagai BM Riau hampir sudah tidak terlihat lagi. Bahkan, BM sendiri pada saat ini sudah dianggap sebagai BA jika disandingkan dengan BI (Depdikbud, 1981).
3) Keputusan Kongres Bahasa Indonesia III tahun 1978 di Jakarta
Untuk mengukuhkan BI sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, serta untuk meningkatkan pengguna dan penggunaanya dalam wilayah negara Indonesia, kongres BI-III di Jakarta merekomendasikan agar kemahiran berbahasa Indonesia dijadikan sebagai persyaratan penerimaan pegawai negeri. Rekomendasi yang kedua, agar pemerintah menggariskan suatu kebijaksanaan di dalam kebudayaan. Rekomendasi tentang kemahiran ber-BI agar dijadikan sebagai persyaratan penerimaan pegawai negeri telah diimplementasikan oleh pemerintah. Bahkan, hingga dewasa ini pemerintah masih menjadikan uji tes kemahiran ber-BI tetap dipertahankan sekalipun pada kenyataannya materi tes BI (akhir-akhir ini) tidak menekankan pada kemahiran secara praktis, melainkan hanya bersifat teoretis.
Berkenaan dengan pengembangan, kongres BI-III menyerukan terhadap perlunya penyusunan pedoman lafal baru, kamus baku, tatabahasa baku, dan perlu pula ada usaha pemodernan BI. Sebagaimana yang dikatakan oleh Muliono (Depdikbud, 1981) bahwa kebakuan BI akan dapat mengemban empat fungsi, yaitu (1) fungsi pemersatu; (2) fungsi penanda kepribadian; (3) fungsi penambah wibawa; dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.
Fungsi sebagai pemersatu telah terbukti selama ini bahwa BI mampu mengikat kebinekaan rumpun dan bahasa yang ada dengan mengatasi batas-batas kedaerahan dan fungsi ini dapat ditingkatkan lagi dengan lebih mengintensifkan usaha berlakunya suatu bahasa baku yang adab dan yang menjadi salah satu ciri manusia Indonesia yang modern.
Fungsi sebagai penanda kepribadian yang dijalankan oleh bahasa baku dapat terlihat dalam pergaulan dengan bangsa lain jika orang Indonesia tetap menggunakan BI untuk membedakan dirinya dengan bangsa lain. Dengan ber-BI kita dapat menunjukkan identitas kita, dan jika fungsi ini dapat dipraktekkan secara luas, maka bahasa Indonesia dapat dianggap melaksanakan perannya sebagai bahasa nasional yang baku.
Fungsi ketiga BI sebagai penambah wibawa merupakan unsur yang menduduki tempat tertinggi pada skala tatanilai dalam masyarakat bahasa. Bahasa baku yang digunakan oleh kalangan masyarakat yang berpengaruh dapat menambah wibawa pada setiap orang yang menguasai bahasa itu dengan mahir. Selain itu, penggunaan bahasa baku yang dipautkan dengan hasil teknologi dan kebudayaan yang baru juga dapat menambah kewibawaan yang tinggi. Misalnya, nama-nama Inggris yang masih asing itu kita ganti dengan BI yang baku akan mengesankan (mengidentikkan) BI dengan masyarakat dan kehidupan yang modern. Berkaitan dengan pembinaan, kongres BI-III menggariskan perlunya dibentuk Dewan Nasional Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, perlu dilaksanakan penataran guru-guru bahasa, perlu pembinaan ketrampilan mengarang, dan perlu pembinaan BD.
Pemerintah telah berupaya mewujudkan hasil kongres tersebut dengan melakukan berbagai langkah kebijaksanaan pembinaan dan pengembangan bahasa. Upaya yang paling nyata adalah sosialisasi penggunanan BI di berbagai tempat dengan mengganti nama-nama asing ke dalam BI, serta mencarikan padanan kata BA dalam BI, dan sosialisasi tersebut terus dilakukan. Berkaitan dengan pembinaan guru-guru bahasa, pemerintah telah berupaya melakukan langkah kebijakan dengan memberikan bekal pemahaman yang cukup terhadap guru-guru BI melalui penataran-penataran kebahasaan. Upaya tersebut ditempuh karena pemerintah menganggap guru merupakan ujung tombak pembinaan bahasa melalui siswa secara langsung tentang kebahasaan.
Selain itu, pembinaan BD juga terus dilakukan oleh pemerintah. Hal itu sesuai dengan amanat UUD 1945 Bab XV pasal 36, bahwa bahasa-bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat perhubungan yang hidup dan dibina oleh masyarakat pemakainya dihargai dan dipelihara oleh negara karena bahasa-bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup (Halim, dalam Depdikbud, 1984).
4) Keputusan Kongres Bahasa Indonesia IV tahun 1983 di Jakarta
Kongres BI-IV tahun 1983 di Jakarta menetapkan beberapa hal penting. Keputusan penting tersebut ialah berupa simpulan dan usul tindak lanjut dalam hubungannya dengan masalah-masalah lingkup bidang: (1) bahasa, (2) pembelajaran bahasa; dan (3) pembinanan bahasa dalam kaitannya dengan kedudukan dan fungsi BI sebagai sarana pembangunan nasional.
a) Bidang Bahasa
Jika ditilik kembali sejak kelahiranya, BI telah mengalami perkembangan yang pesat. Penggunaan BI sebagai sarana komunikasi sosial, sebagai penyampai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sebagai sarana pranata pemerintahan telah mencapai kemajuan yang cukup mantap. Demikian pula banyaknya buku ilmu pengetahuan yang ditulis dalam BI atau diterjemahkan ke dalam BI menunjukkan bahwa BI dapat memerankan fungsinya dengan baik sebagai alat penyebar ilmu pengetahuan.
Dalam perannya yang strategis tersebut, perkembangan BI tidak mustahil akan bersentuhan dengan pengaruh masyarakat yang memahaminya, terutama nilai budaya maupun tingkahlaku sosialnya. Sentuhan yang terjadi di satu sisi dapat memperkaya linguistik BI yang merupakan milik kita bersama, di sisi lain dapat menimbulkan keanekaragaman. Tanpa pembinaan yang berhati-hati dan dilakukan dengan seksama, tidak mustahil ragam-ragam tersebut akan semakin menyimpang jauh dari poros inti bahasa kita (Syamsuddin 1985).
Hingga kini, penyimpangan ragam baku tersebut telah menjalar di tengah-tengah masyarakat kita. Hal ini dapat dilihat betapa banyaknya pemakaian BI yang tidak sesuai dengan kaedah bahasa yang baik dan benar (klik dan baca pada situs: mamandena.blogspot.com). Yang sangat memprihatinkan bukan hanya masyarakat awam yang mengalami penyimpangan tersebut, melainkan masyarakat yang dikategorikan terpelajar atau intelek juga telah melakukan penyimpangan. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan itu berkisar pada: (1) pemakaian kalimat, pemakaian tanda baca, pengelompokkan wacana yang tidak mengungkapkan jalan pikiran yang jernih, logis dan sistematis; (2) pemakaian istilah asing yang sebenarnya ada padanan kata dalam BI, atau yang memiliki ciri-ciri semantik sama dan telah umum dipakai; (3) pemakaian istilah teknis yang tidak seragam dalam pengetahuan; (4) pengucapan kata yang menyimpang dari kaedah yang dianggap baku; dan (5) pengejaan kata atau frase yang tidak taat asas.
Kebijaksanaan pemerintah yang memungkinkan untuk diambil sebagai jawaban dari permasalahan yang muncul tersebut ialah: (1) perlunya disusun tatabahasa baku BI sebagai tatabahasa acuan yang lengkap; (2) perlunya disusun kamus besar BI yang memuat tidak hanya bentuk-bentuk leksikon, tetapi juga lafal yang dianggap baku kategori sintaktik setiap kata, dan batasan serta contoh pemakaian yang lengkap; (3) perlunya peyusunan kamus BD yang merupakan sumber untuk memperkaya bahasa nasional; (4) perlunya digiatkan penulisan dan penerjemahan buku-buku yang bermanfaat bagi pelbagai bidang; (5) perlunya pusat bahasa mengkoordinasikan kerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintah yang lain yang berkecimpung dalam bidang ilmu pengetahuan untuk menyeragamkan istilah-istilah ilmu pengetahuan; (6) perlunya sikap berhati-hati dalam memilih unsur BA; (7) perlunya mahasiswa mendapat pelatihan ketrampilan menulis karya ilmiah BI yang benar; dan (8) perlunya ditetapkan pedoman transliterasi yang benar (Syamsuddin, 1985).
b) Bidang Pembelajaran Bahasa
Secara umum tujuan pembelajaran BI di lembaga pendidikan ialah untuk memantapkan kedudukan dan fungsi BI. Tujuan tersebut jika ditinjau dari sudut pemakai dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) tercapainya pemakaian BI baku yang cermat, tepat, dan efesien dalam berkomunikasi; (2) tercapainya pemilikan ketrampilan ber-BI baik dalam penggunaannya sebagai alat komunikasi maupun dalam ilmu pengetahuan yang sahih; (3) tercapainya sikap positif terhadap BI, yaitu sikap yang erat kaitannya dengan rasa tanggung jawab yang tampak dari perilaku sehari-hari (Syamsuddin, 1985).
Kaitan antara fungsi bahasa dengan pendidikan nasional setidaknya terurai dalam empat hal pokok. Keempat hal itu ialah: (1) sebagai matapelajaran pokok, artinya BI yang diajarkan hendaknya BI dengan ciri serta syarat ragam bahasa baku, baik lisan maupun tulis, dan sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang berfungsi sebagai bahasa modern; (2) sebagai bahasa pengantar di semua jenis dan jenjang lembaga pendidikan, artinya BI yang diajarkan hendaknya memiliki ciri dapat menjalankan tugas sebagai alat komunikasi; (3) sebagai bahasa penalaran; dan (4) sebagai bahasa pengungkap pengembangan diri dari hasil pendidikan. Sebagai bahasa penalaran dan pengungkap pengembangan diri hanya dapat diwujudkan jika bahasa Indonesia tersebut memiliki bentuk yang estetis (fleksibel), luwes sehingga dapat digunakan untuk mengekspresikan makna-makna baru, dan mempunyai ragam yang sesuai dengan jenjang lembaga pendidikan tersebut (Syamsuddin, 1985).
Pembelajaran BI yang mengarah pada model pembelajaran komunikatif masih belum secara intens dilakukan. Model pembelajaran yang dilakukan selama ini masih model terstruktur yang hanya membelajarkan bahasa dari segi teoretis (Maman, 2006). Kepraktisan bahasa sebagai komponen komunikasi belum begitu diperhatikan. Demikian pula pembelajaran sastra bahwa pembelajaran sastra selama ini hanya memberi beban kepada siswa. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayuti (1994) dan Maman (2006) bahwa pembelajaran bidang sastra sejak tahun 1950-an sampai dengan tahun-tahun terakhir ini masih saja mengarah kepada hal-hal yang bersifat hafalan sejarah. Bahkan, sejak tahun 1955 telah muncul beberapa kritik dari para sastrawan atas ketidakpuasanya terhadap hasil pembelajaran sastra terutama terkait dengan apresiasi sastra (Sayuti, 1994). Menurutnya pembelajaran sastra selama ini telah menyimpang dari amanat kurikulum.
Memang kenyataan yang terjadi selama ini pembelajaran sastra telah jauh membawa siswa kepada berbagai kegiatan yang menjenuhkan/membosankan siswa,  bahkan menimbulkan kebencian terhadap sastra. Dalam kegiatan tersebut siswa diarahkan untuk menghafal, mencatat, mencari dan sebagainya berbagai hal tentang sastra, dan kemampuan itu dijadikan sebagai dasar penetapan nilai oleh guru. Pembelajaran sastra benar-benar dirancang untuk mencapai tujuan kurikuler, dan siswa harus menanggung beban kewajiban sebagai kompensasi nilai untuk menentukan statusnya di dalam kelas (Sumarjo, 1995). Kegiatan seperti itu secara mental psikologis telah membebani siswa, baik siswa yang mampu, lebih-lebih yang tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut.
Selain itu, para guru masih banyak tampil sebagai tokoh pemberi beban, bukan sebagai tokoh pemberi teladan (Maman, 2010). Pola pembelajaran seperti itu tidak saja membosankan, tetapi juga dapat menciptakan pemahaman yang keliru terhadap substansi sastra yang sebenarnya. Siswa terpaku pada pemahaman bahwa membaca puisi misalnya, berarti membaca latar belakang kehidupan penyairnya, latar belakang zamannya dan bentuk-bentuk puisi yang ditulisnya.
Untuk mengembangkan tindakan yang mendasar dalam memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran, perlu tindak lanjut yang efesien dari pemerintah. Tindak lanjut yang memungkinkan diambil untuk memenuhi harapan tersebut ialah sebagai berikut: (1) mutu pembelajaran BI di semua jenis dan jenjang pendidikan perlu ditingkatkan. Hal ini dapat dimulai dengan meningkatkan kemampuan guru BI, pengembangan bahan pembelajaran yang sesuai dengan fungsi komunikatif dan integratif bahasa, dan kebudayaan serta penalaran, pemberian pengalaman belajar kepada siswa; (2) memantapkan kedudukan dan fungsi BI sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran dan pola kebijaksanaan nasional kebahasaan harus disusun. Hal ini dapat dilakukan dengan penentuan strategi pembelajaran, pengembangan tatabahasa anutan, penggunnaan tatabahasa yang baik dan benar, kemantapan kemampuan ber-BI sebagai persyaratan untuk berbagai macam kenaikan pangkat dan tingkat, pemanfaatan media massa sebagai model (modelling) penggunaan BI yang baik dan benar; (3) pembelajaran sastra perlu ditekankan pada aspek apresiasi (maman menyatakan...); (4) bahan pembelajaran BI perlu mencakup pelatihan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis serta perlu pula dikembangkan ketrampilan membaca (membaca cepat); (5) pembinaan dan pengembangan BI hendaknya memanfaatkan organisasi profesi dan lembaga kemasyarakatan; (6) pembinanan apresiasi sastra perlu dilaksanakan sedini mungkin; (7) perlu dikembangkan bahan pembelajaran BI yang dibutuhkan bagi bidang-bidang khusus, selain ditujukan kepada berbahasa secara umum di sekolah; (8) pendidikan dalam suasana kedwibahasaan yang strateginya bertujuan menjamin hak hidup bahasa dan kebudayaan daerah hendaknya mempunyai nilai positif; (9) kurikulum lembaga pendidikan tinggi hendaknya menambahkan beban MK BI; (10) hasil penelitian kebahasaan dan pembelajaran bahasa hendaknya disebarluaskan dan dimanfaatkan; dan (11) pelaksanaan wajib belajar perlu dimanfaatkan untuk mensukseskan pembinaan dan pengembangan BI (Syamsuddin, 1985).
c) Bidang Pembinaan Bahasa
BI memiliki peran yang amat penting terhadap pembangunan nasional. Semua kebijaksanaan pemerintah akan diteruskan ke masyarakat melalui sarana komunikasi BI. Namun, pada kenyataannya banyak masyarakat yang belum menggunakan BI dengan baik dan benar. Para pembina bahasa mensiyalemen bahwa banyak lembaga-lembaga, badan-badan, dan organisasi-organisasi masyarakat, juga pemerintah belum menggunakan BI dengan baik dan benar. Yang lebih memprihatinkan lagi, BI yang digunakan dalam ilmu hukum, ilmu administrasi dan lain-lain, banyak yang menyimpang dari kaidah-kaidah BI. Tidak kurang dari media massa yang merupakan salah satu sarana penting untuk pembinaan dan pengembangan BI, pada kenyataannya juga masih memiliki banyak kelemahan. Terkait dengan ini, pembinaan dan pengembangan BI masih perlu terus ditingkatkan.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk pembinaan dan pengembangan BI agar berjalan dengan efektif. Beberapa langkah tindak lanjut berikut ini perlu diambil untuk menjawab permasalahan tersebut seperti: (1) perlu usaha sungguh-sungguh penggunaan BI di segala bidang, terutama bidang hukum dan perundang-undangan; (2) semua aparatur pemerintah, terutama yang terlibat langsung dalam pelaksanaan, perencanaan, penyusunan, pengesahan, dan pelaksanaan hukum, harus memiliki kemampuan ber-BI yang memadai, sehingga produk hukum/undang-undang tidak taksa (ambigu); (3) semua petugas pemerintahan khususnya yang berhubungan langsung dengan masyarakat seperti lurah/kepala desa, guru, juru penerangan, penyiar TV/radio dan staf redaksi media cetak, harus memiliki kemampuan ber-BI yang memadai; (4) perlu diambil kebijaksanaan yang memungkinkan terciptanya iklim kebahasaan yang kondusif dengan menertibkan istilah-istilah asing yang tidak perlu untuk diganti dengan kata/istilah Indonesia; (5) pembekalan generasi muda untuk berdisiplin ber-BI; (6) perlu penugasan para ahli bahasa di berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta; (7) perlu pembinaan intensif pemahaman BI di daerah yang masih rendah kualitas penduduknya; (8) fungsi BI perlu dimantapkan, penggunaan istilah-istilah asing dihindari; (9) kampanye penggunanan BI yang baik dan benar perlu ditingkatkan; (10) perlu meningkatkan kemampuan guru dan dosen BI, selain meningkatkan mutu pembelajarannya; (11) buku-buku yang diterbitkan, baik yang asli maupun terjemahan, surat kabar, dan majalah yang diedarkan, hendaknya menggunakan BI yang baik dan benar; (12) perlu perencanaan yang matang dalam pembinaan BI di segala bidang; (13) pemanfaatan unsur-unsur BD dilakukan dengan cermat, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif; (14) hasil-hasil pembakuan BI perlu ditunjang dengan intruksi pelaksanaan pada setiap departemen, lembaga dan organisasi; (15) mengusulkan pusat bahasa kedudukanya menjadi lembaga nondepartemen supaya wibawa dan ruang geraknya lebih berdayaguna; (16) perlunya dimasukkan BI ke dalam konsep wawasan nusantara; (17) sensus penduduk dapat memperoleh data kebahasaan yang sahih dan lengkap; (18) setiap kongres bahasa hendaknya menugasi pusat bahasa untuk memonitor pelaksanaan keputusan kongres BI sebelumnya dan melaporkan hasilnya pada kongres BI berikutnya dan demikian seterusnya; dan (19) ketentuan mengenai lalulintas (sirkulasi) buku dan barang cetakan yang tertulis dalam BI, terutama di kawasan ASEAN perlu ditinjau kembali.
C. Kendala dalam Pembinaan dan Pengembangan BI
Kegiatan rutin kebahasaan telah banyak dilakukan termasuk diselenggarakannya kongres BI secara periodik. Demikian pula banyak upaya yang telah dilakukan oleh para pakar bahasa, serta tindakan nyata dengan menyerukan dan melakukan kegiatan pembinaan dan pengembangan BI secara intensif. Namun, upaya tersebut belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Bahkan, dewasa ini gejala merendahkan bahasa sendiri semakin menjadi-jadi, BI semakin terpuruk. Hal ini dapat dilihat di kalangan pemuda masa kini yang enggan menggunakan BI yang baik dan benar. Mereka lebih percaya diri atau lebih bermartabat jika menggunakan bahasa ”gaul” dalam pergaulan di tengah-tengah komunitasnya. Lebih terpuruk lagi menggunakan BI yang baik dan benar menurut anggapan mereka sudah dianggap ketinggalan zaman (Maman, 2010).
Ada beberapa hal yang membuat kedudukan BI dewasa ini mengalami penurunan wibawa. Penulis menggeneralisasikan, setidaknya ada tiga hal yang membuat BI terpuruk. Ketiga hal itu ialah: (1) tidak adanya keseriusan pemerintah; (2) tidak memadainya alokasi dana sosialisasi; dan (3) kesadaran masyarakat rendah.
1) Keseriusan Pemerintah Mengembangkan BI
Jika ditelaah mundur pada masa orde baru, ketika presiden Soeharto masih berkuasa, setiap pidato yang bersifat kenegaraan dan/atau antarnegara, lebih-lebih ketika menjamu tamu kenegaraan, presiden ‘hampir’ tidak pernah menggunakan bahasa Inggris, kendati bahasa Inggris menjadi bahasa wajib internasional. Hal tersebut diceritakan oleh Widodo (Bakry, 1981: 166) seorang penerjemah presiden. Bahkan, ia yakin kalau Presiden dapat berbahasa Inggris, tetapi beliau lebih memilih menggunakan BI. Demikian pula pada masa orde lama, saat Presiden Soekarno berkuasa, beliau tidak segan-segan dalam pidatonya menggunakan BI, kendati beliau menguasai beberapa bahasa asing lainya. Bahkan, beliau ialah seorang kepala negara pertama yang berani dan tanpa beban mengutip ayat-ayat Al-Quran dalam pidatonya di gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) New York.
Selanjutnya, menurut cerita Amran Halim (mantan kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa sekarang Pusat Bahasa), upaya untuk menjadikan BI sebagai bahasa pergaulan di Asia Tenggara pernah dimunculkan (Bakry, 1981:166). Yang mengherankan, usulan tersebut bukan datang dari bangsa Indonesia, melainkan dari negara Pilipina. Selain itu, kenyataan menunjukkan bahwa beberapa negara di dunia ini telah banyak yang mempelajari BI. Sebut saja misalnya, Amerika, Australia, Jerman Barat, Rusia, Korea Selatan, Jepang, Prancis, Inggris, Cina, Italia, dan Belanda (Bakry, 1981:166; dan Hardini, 2007:1-6). Bahkan, menurut Tri Indri Hardini, Amerika Serikat merupakan negara penutur bahasa Inggris pertama yang mengajarkan BI, sedangkan di Prancis pembelajaran BI dilakukan sejak tahun 1841 (waktu itu BI masih berupa BM), dan di Jepang sejak tahun 1908 masyarakatnya telah mempelajari BI (Hardini, 2007:1-5).
Kini, BI semakin tidak berdaya. Para pejabat di negeri ini lebih banyak beretorika dengan campur kode dalam berbahasa. Bahkan, alih kode dengan dalih menjaga wibawa. Mereka merasa status sosialnya akan menanjak jika menggunakan BA (Inggris) dalam setiap pembicaraannya. Lebih-lebih BA itu telah dianggap sebagai lambang keterpelajaran dan keintelektualan seseorang. Jika ini yang terjadi, kita akan kehilangan salah satu identitas bangsa yakni BI.
Upaya pemurnian BI juga sudah tidak terdengar lagi. Bulan bahasa yang diperingati setiap Oktober menjadi kegiatan seremonial belaka. Upaya lebih konkrit tidak lagi menjadi agenda pemerintah. Jika ini terus terjadi, tidak mustahil BI terancam musnah, dan bangsa Indonesia akan kehilangan identitas diri.
2) Alokasi Dana Pembinaan dan Pengembangan BI
    Penulis tertarik dengan cerita di jejaring sosial. Ceritanya begini:
terdapat seorang dosen Bahasa Prancis di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Beliau berkata bahwa, ketika orang-orang Prancis ditanya ”apakah saudara bisa berbahasa Inggris?”, ia menjawab dengan agak marah ”untuk apa saya belajar bahasa Inggris, biarlah orang-orang Inggris yang belajar bahasa Prancis”.
Sepenggal pernyataan itu tersirat rasa patriotis yang amat tinggi dari orang Prancis. Ia menunjukkan begitu besar cintanya terhadap tanah air, dan rasa bangga terhadap bahasanya sendiri. Sungguhpun penggalan pernyataan itu tidak seluruhnya menguntungkan, terutama dalam pergaulan global, tetapi setidaknya terlihat dalam jiwa orang Prancis tersebut rasa patriotis yang membara terhadap bahasa yang dimilikinya.
Lebih lanjut ceritanya terhadap upaya pemerintah Prancis untuk memurnikan bahasa nasionalnya. Semua buku ilmu pengetahuan dan teknologi, sebelum beredar luas di masyarakat, negara melakukan penerjemahan terlebih dahulu ke dalam bahasa Prancis. Demikian ketatnya sensor negara terhadap hal-hal yang berbau asing sebelum benar-benar dikonsumsi oleh masyarakatnya. Bandingkan dengan yang terjadi di Indonesia saat ini.
Upaya yang sama juga telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Namun, tidak banyak yang dapat diperbuat. Lagi-lagi kendala dana menjadi faktor utama terhadap program tersebut. Sejak tahun 1973 keinginan untuk melakukan upaya menerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan sudah didengungkan oleh Prof. Dr. Sutan Takdir Alisyahbana tetapi hasilnya, pada tahun anggaran 1979/1980 pemerintah hanya mampu mendanai penerjemahan 31 judul buku dengan biaya Rp 34.837.250 (Bakry, 1981:173), dan tahun-tahun berikutnya hanya mampu menerjemahkan rata-rata 20 judul buku. Memang diakui banyak kendala yang dihadapi dalam upaya penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan tersebut. Selain faktor biaya, juga karena faktor sulitnya menemukan buku-buku yang cocok, serta tenaga penerjemah yang tersedia. Dua alasan yang terakhir tampaknya sudah tidak berlaku lagi.
Hal utama yang menjadi harapan masyarakat Indonesia ialah alokasi dana pembinaan dan pengembangan BI yang perlu mendapatkan komitmen pemerintah. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian menggelobal ini tidak ada jalan lain kecuali mengikuti arus tersebut dengan tetap memegang teguh jiwa nasionalis, sehingga kita tetap dapat mengikuti perkembangan zaman tanpa harus mengorbankan nilai-nilai kebangsaan.
3) Kesadaran Masyarakat
Kendati usaha pembinaan dan pengembangan BI gencar dilakukan, tanpa kesadaran masyarakatnya hanya akan menjadi pekerjaan yang sia-sia belaka. Bahkan, akhir-akhir ini rasa nasionalis kita lambat laun hilang oleh nafsu egois yang tumbuh tanpa kontrol. Jiwa kesukuan lebih mendominasi daripada jiwa berbangsa. Hal ini dapat disaksikan dari berbagai pemberitaan di media massa. Misalnya, bentrokan antara suku Dayak (di sampit) dengan suku Madura, di Maluku antara etnis Kristen dengan Islam, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin disebut semuanya dalam tulisan ini.
Untuk merajut kembali benang-benang merah yang terkoyak tersebut, setiap jiwa perlu merenung, berpikir, dan berbuat untuk kesatuan dan persatuan negeri ini. Bukankah telah banyak jiwa yang dikorbankan untuk negeri ini. Kesadaran ber-BI yang baik dan benar akan menumbuhkan kembali jiwa persatuan. Karena salah satu fungsi BI ialah sebagai bahasa nasional dan sebagai alat integrasi bangsa.
D. Penutup
Upaya pemerintah untuk mewujudkan peran dan fungsi BI sebagai bahasa nasional dan bahasa negara terus dilakukan. Para pakar bahasa juga telah menunjukkan kepedulian yang luar biasa terhadap pembinaan dan pengembangan BI. Kegiatan secara periodik berupa kongres BI dilakukan untuk selalu mengevaluasi dan mendorong terciptanya pemurnian dan pelestarian BI secara konstan. Namun, upaya itu tidaklah cukup tanpa suatu komitmen kebijaksanaan yang berkesinambungan dari pemerintah untuk mendorong tercapainya perkembangan optimal dan efektif baik dari segi kualitas maupun kuantitas para pemakai BI.
Kebutuhan akan pembakuan pada semua level kebahasaan, kebutuhan akan pedoman-pedoman berbahasa, pedoman peristilahan, pedoman akan penyerapan unsur asing, penentuan ide-ide pengembangan dan pembinaan, penentuan bahasa nasional, bahasa persatuan, bahasa pengantar dan lain-lain, termasuk juga kebijaksanaan terhadap pembinaan dan pelestarian BD, perlu dibuatkan regulasi secara mantap agar pembinaan dan pengembangan BI tidak hanya berkutat pada sisi pemakai dan pemakaian, tetapi diharapkan dapat pula menunjukkan jati diri bangsa.
Ketetapan MPR maupun GBHN menegaskan bahwa usaha pelestarian, pembinaan dan pengembangan BI diwajibkan bagi setiap warga negara yang merasa dirinya sebagai bangsa Indonesia. Karena itu, untuk mempertahankan BI agar tetap menjadi bahasa kebanggaan, baik pemerintah, para pakar bahasa, dan semua masyarakat dituntut kepeduliannya untuk berbuat secara nyata.




RUJUKAN


Bakry, Oemar. 1981. Bunga Rampai Sumpah Pemuda Satu Bahasa Bahasa Indonesia. Jakarta: Mutiara.
Depdikbud. 1981. Politik Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdikbud. 1984. Politik Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Maman, 2006. Tugas-Tugas Pembelajaran dalam Buku Teks Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP di Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat. TESIS. Universitas Negeri Malang.
Maman, 2007. Penggunaan Bahasa yang Mubazir. Jurnal Kreatif Kampus STAI Muhammadiyah Bima
Hardini, Tri Indri. 2007. ”Pengajaran BIPA” (Makalah). Bandung: Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.
Sayuti, S.A. 1985. Puisi dan Pengajarannya. Semarang: IKIP Semarang Press
Sumarjo, J. 1995. Sastra dan Masa. Bandung: Penerbit ITB Bandung.
Syamsuddin. 1985. Sanggar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Warsiman. 2007. Kaidah Bahasa Indonesia yang Benar: untuk Penulisan Karya Ilmiah (Laporan-Skripsi-Tesis-Desertasi). Bandung: Dewa Ruchi.