Topik ini
terinspirasi ketika Mendiknas menetapkan UN sebagai salah satu upaya pemetaan
(kualitas) pendidikan nasional dan bukan sebagai penentu kelulusan. Ihwal UN sebelum
ini telah membuahkan polemik yang tidak jelas ujung-pangkalnya, dan telah
banyak menyita perhatian berbagai elemen sehingga menjadi bahan perdebatan
dalam berbagai media, termasuk disaluran televisi nasional. Sejak 2010 Penulis mencoba
mengeritik dengan berbagai argumen yang disertai data akademik dan filosofi,
baik melalui media masa, jejaring sosial, maupun secara langsung ke akun
Depdiknas saat itu, agar Ujian Nasional (UN) dikembalikan ke roh awalnya yakni
sebagai pemetaan pendidikan nasional. Ternyata, dipenghujung tahun pembelajaran
2015/2016 barulah separuh obsesi itu terkabulkan.
Dianutnya Ujian Nasional (UN) yang bukan
sebagai penentu kelulusan pun masih tidak dapat memotret kualitas pendidikan
nasional, karena diganjal oleh keterlibatan Nilai Rata-Rata Laporan Hasil
Belajar Siswa (NR-LHBS) pada semester tertentu dalam menghitung Nilai Akhir
(NA) UN. Dengan formula ini justru membuka peluang munculnya subjektifitas
dalam memberi nilai. Berdasarkan paradigma ini maka upaya pengembalian UN ke
roh awalnya belum terpenuhi.
UN sebagai penentu kelulusan telah menimbulkan
berbagai polemik pada tataran sekolah sudah berlangsung setengah dekade. Kini
guru mulai ‘separuh’ lega dengan pola baru yang dianut UN 2015. Hal ini terjadi
karena sebagian hak kemerdekaan guru telah digaet oleh pengambil kebijakan
ditingkat pusat. Betapa tidak, mereka yang mengajar, membimbing, dan mendidik,
tiba-tiba nasib anak-anak mereka di eksekusi oleh pihak lain. Padahal yang tahu
betul tentang siswa di Bima ialah guru di Bima, bukan orang Jakarta. Karena
sebagian hak mereka dipasung, maka muncul kekecewaan yang diwujudkannya dalam
berbagai bentuk, seperti malas bertugas, mengajar apa adanya, tidak kreatif,
tidak inovatif, dan administrasi pembelajaran pun sekedar formalitas. Ketika
waktu UN tiba, muncullah kerisauan yang tak terbendung. Kondisi ini diperparah
lagi oleh diterapkannya UU Sertifikasi Guru yang telah menimbulkan kecemburuan
sosial dan konflik interest antar
oknum guru di berbagai sekolah dan daerah.
Masih terngiang dalam ingatan kita, ketika pelaksanaan
EBTANAS pada kisaran tahun 1987. Semua telah terjadi secara murni dan konsekuen
yang dibuktikan dengan lahirnya lembaran “Daftar Hasil Evaluasi Belajar Tahap
Akhir Murni” yang kerap disebut NEM sebagai legalitas autentik yang tidak
diragukan reliabilitas dan validitasnya. Siswa serius belajar untuk mendulang
nilai setinggi-tingginya saat itu, gurupun serentak mengayomi siswanya untuk
dapat menjawab soal (bukan membantu menjawab soal) dengan berbagai kegiatan
akademik sehingga hasilnya benar-benar ‘murni’.
Tidak ada kerisauan yang berlebihan bagi
pelaku/pengelola sekolah saat itu. Sekolah yang mendapat rerata NEM dibawah
titik ideal akan mendapat stimulan sarana/prasarana dan peningkatan kompetensi
guru dalam meraih kesejajaran kualitas dengan sekolah lain. Semua itu telah
pupus dilanda paradigma kekinian yang kadang sulit diproteksi. Tidaklah perlu
gelengkan kepala untuk memikirkan berita kebocoran naskah soal dan sulap-menyulap
siswa dalam menjawab soal UN yang acapkali ditabirkan oleh berbagai media yang
terjadi di sebagian daerah di republik ini. Di sisi lain, dengan kepengawasan
yang super ketat, masih juga ada berita di TV, perihal siswa yang menyontek
saat ujian. Berdasarkan literatur yang penulis telaah, di sebagian wilayah
Negara Jepang, Cina, dan Australia sudah lama melaksanakan ujian tanpa pengawas
ruang, begitu kejujuran dan kualitas ujian dijunjung tinggi di sana. Jika
ternyata masih terjadi kebocoran soal, contek-menyontek di UN kita, telah
memberikan sinyalemen bahwa ada yang salah di pendidikan kita. Tetapi mencari
siapa yang salah tidak penting. Yang penting ialah apa yang salah dan kemudian
secara berkolaborasi kita urai pelan dengan menggunakan pola pikir ilmiah.
Jika ditilik secara etimologi, tampaknya hasil
UN saat ini tidak diharapkan untuk mendapatkan nilai murni, seperti yang lakoni
era ’87-an. Buktinya, hasil UN sekarang diwujudkan dalam bentuk Sertifikat
Hasil Ujian Nasional (SHUN) sebagai pengganti Surat Keterangan Hasil Ujian
Nasional (SKHUN) yang telah diberlakukan beberapa tahun terakhir. Kedua
penyingkatan inipun sama substansinya, karena kata ‘Sertifikat’ bermakna surat
keterangan. Tidak ada kata murni sebagai bentuk kemurnian pelaksanaan ujian. Ketidakmurnian
ini diprediksi karena masih melibatkan NR-LHBS dalam formula penentuan hasil UN
sehingga berpeluang untuk subjektivitas dalam nilai. Sehingga SKHUN tidak laik
sebagai syarat melanjutkan pendidikan yang setingkat lebih tinggi. Uji kelaikkan
ini dapat diruntut pada linearitas antara Nilai LHBS pada Form NS, Asli Nilai
LHBS, dan Nilai pada Buku Induk Siswa.
Tidak sedikit pembaca mengkritisi
tulisan penulis sejenis ini dengan kalimat bahwa penulis bermain teoretis.
Mereka (kritikus) tidak sadar bahwa orang bisa naik sepeda (praktik) karena
telah belajar naik sepeda (teori). Semua hanya akan menjadi sia-sia jika
tindakan tidak didasari teori walau konsep otodidak sekalipun. Memang banyak
yang aneh di bumi ini. Ketika muncul K-13 banyak oknum teriak “Bubarkan K-13”
seakan-akan K-13 itu teroris.
Berdasarkan pemikiran di depan maka solusi
yang ditawarkan sebagai bahan renungan semua komponen yang berkepentingan pada
pendidikan ialah kembalikan UN ke roh dan tujuan semula dengan tidak melibatkan
NR-LHBS dalam menetapkan NA-UN berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan tanggapan Anda di sini!