Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu bentuk asessement yang dilaksanakan pada akhir setiap satuan pendidikan. Walaupun UN ini merupakan kegiatan yang sudah berlangsung bertahun-tahun, namun sejak tahun 2004 hingga kini menuai kritikan tajam dari berbagai kalangan dan memunculkan kontroversi berkepanjangan yang dilansir oleh berbagai media masa. Kontroversi tersebut tampaknya masih meninggalkan sejumlah pertanyaan yang bukan hanya menarik untuk dikaji melainkan juga dapat menimbulkan pro–kontra berkelanjutan.
Goresan sederhana ini diilhami oleh berbagai pertanyaan psimistik dan reaksi masyarakat terhadap lahirnya Permendiknas Nomor: 45 & 46 Tahun 2010 tentang Kriteria Kelulusan dan Peraturan BNSP Nomor: 0148-0149/SK-POS/BNSP/I/2011 tentang Prosedur Operasi Standar (POS) Ujian Nasional (UN) SMP/Mts./SMA/MA/SMK tahun 2011. Ketika SMP Negeri 1 Bolo (Sekolah Standar Nasional) melaksanakan sosialisasi (2/2) kepada masyarakat, guru, dan calon peserta UN, berbagai pertanyaan, usul, dan saran yang muncul sebagai bentuk kekhawatiran mereka terhadap nasib siswa. Pertanyaan yang sama ternyata juga muncul dikalangan mahasiswa di kampus tempat penulis mengajar. Dilema UN ini, ternyata juga menjadi headline di banyak situs internet. Pada intinya, pertanyaan-pertanyaan itu mengarah kepada adanya perubahan teknik yang akan dilakoni satuan pendidikan pada penyelenggaraan UN 2011 kelak, yang menurut pandangan mereka akan menjadi dilema nasional yang rentan memicu terganggunya perkembangan potensi siswa. Pertanyaan mereka cukup beralasan.
Telaah Kritis UN 2011
Hemat penulis, pada hakikatnya tidak ada perubahan mencolok dalam teknik pelaksanaan UN 2011 dengan sebelumnya, yang ada ialah penyempurnaan. Jika sesuatu diadakan penyempurnaan pasti muncul hal baru dengan konsep-konsep pembaruannya. Karena masyarakat kita ‘acapkali’ terkonstruk kuat pada kebiasaan lama, maka konsep yang baru dianggap ganjil dan tidak berterima pada nurani. Secara filosofi, menelusuri hal baru itu lebih baik dan indah daripada jalan ditempat tanpa ada perubahan apa-apa. Kini, kita semua sedang membangun sebuah gunung, untuk mendapatkan bayangan gunung. Adalah sebuah keniscayaan meraih bayangan gunung, jika yang mampu kita bentuk hanya segelintir kerikil. Artinya, penyempurnaan ini merupakan bagian dari bentuk konsekuensi logis dari hasil survei, verifikasi, dan evaluasi penyelenggaraan UN selama ini, dan bukan kebijakan sewenang-wenangnya pemerintah. Seyogyanya, dari tahun ke tahun teknik penyelenggaraan UN memang harus disempurnakan. Tentu, didasarkan pada angka capaian UN sebelumnya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Berdasarkan pola pikir ini, maka amatlah pantas jika standar kelulusan pada UN 2011 dinaikkan hingga minimal 5,5. Kita harus sadar bahwa angka ini justru amat memalukan, karena jika direntang pada skala nilai masih amat jauh dari titik ideal, dan sangat rendah jika di bandingkan dengan negara tetangga yang sudah menetapkan angka minimal mendekati titik ideal. Coba kita cermati bahwa angka ini baru menginjak 0,5 dari titik tengah. Angka 5,5 yang ditetapkan inipun bukan sepenuhnya dari hasil UN tetapi hasil penggabungan antara NS dan nilai UN. Mungkin dengan cara ini obsesi kita untuk meraih bayangan gunung tercapai.
Penyempurnaan lainnya ialah jumlah paket soal. Jika UN sebelumnya hanya menggunakan dua paket soal, pada UN 2011 akan menebarkan secara randomisasi lima paket soal dalam satu ruang ujian (pada 20 peserta). Hal ini –kurang-lebih– dimaksudkan untuk menjawab berbagai isu mengkambinghitamkan kebocoran soal, pemberian kunci jawaban, dan sebagainya yang kerap dilansir oleh berbagai kalangan pada proses UN sebelumnya. Jadi ruang gerak subjektifitas sekarang dipasung. Cara ini seharusnya kita dukung, jika mau maju. Ingat, hanya orang-orang yang berani berubahlah yang akan maju.
Penulis yakin bahwa tidak ada niat pemerintah pusat mempersulit, apalagi menghambat perkembangan potensi. Penentu kelulusan pun sekarang diberi kewenangan kepada masing-masing satuan pendidikan yakni berdasarkan NA. NA diperoleh dari NS dan Nilai Rerata Rapor (NRR) semester 1, 2, 3, 4, dan 5 bagi SMP/MTs. Sedangkan SMA/MA/SMK diambil dari NRR semester 3, 4, dan 5. Dalam penyempurnaan itu juga tidak ditemukan ketetapan angka deviasi antara NS dan Nilai Ujian Nasional (NUN). Ini memberikan indikasi bahwa UN kita masih dalam kategori longgar. Selain itu, ketiadaan ujian ulangan sudah tepat dalam upaya menghilangkan kebiasaan mengharap pada hal-hal-hal yang naif. Memang harus diakui, dengan peraturan yang diterapkan pada UN 2011 ini terdapat hal-hal yang tidak diakomodir secara akurasi oleh pengambil kebijakan, seperti antara lain (a) fungsi dan peran Manajemen Berbasis Sekolah (MBS); (b) perimbangan substansi soal pada domain kognisi, afeksi, dan psikomotorik; (c) pengaruh dan keterlibatan konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP); (d) dampak pemanfaatan pendekatan pembelajaran, seperti Contextual Teaching and Learning (CTL) terhadap kompetensi siswa; dan masih banyak lagi hal-hal kecil yang terlewatkan. Berikut ini diseskripsi berbagai dilema dan obsesi sebagai bahan renungan kita semua.
Antara Dilema dan Obsesi (Bahan Renungan)
Pertama, kita mulai konsep MBS; Semula, gagasan lahirnya MBS dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat, karena sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya sehingga dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan sekolah. Oleh sebab itu, (dalam konteks Otonomi Daerah dan MBS) pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih tepat untuk memenuhi keinginan siswa masyarakat sekitar karena pihak sekolahlah yang paling mengetahui hal-hal yang terbaik bagi sekolah dan lingkungannya, atau dengan kata lain, yang tahu betul tentang seluk-beluk orang Bima ialah orang Bima, dan bukan orang Jakarta.
Terkait dengan UN 2011, memang sekolah telah diberi kewenangan untuk menetapkan kelulusan, tetapi mengapa formula untuk memperoleh NA, besarnya porsentase keterlibatan NS lebih rendah (40%) daripada NUN (60%)? Mengapa pula porsentase NRR lebih rendah (40%) daripada Nilai Ujian Sekolah/NUS (60%) dalam perolehan NS? sementara NRR merupakan hasil authentic asessement dan US didominasi oleh uji domain kognisi. Hal-hal semacam ini menggambarkan bahwa sekolah masih menjadi subordinasi-birokrasi dari pemerintah pusat. Mana kemerdekaan guru..?
Kedua, Perimbangan substansi soal pada domain kognisi, afeksi, dan psikomotorik; Secara teoretis, ranah kognitif merupakan keterampilan intelektual atau keterampilan mental dalam aktivitas berpikir. Keterampilan berpikir dikembangkan secara berjenjang mulai dari mengingat, menerapkan prosedur hingga mengembangkan keterampilan intelektual kritis. Sikap (afeksi) perkembangan dan hasilnya tercermin dalam kehidupan nyata sehari-hari siswa yang terintegrasi pada proses kegiatan. Peningkatannya dapat dilihat pada munculnya perubahan prilaku baru yang lebih baik. Pengembangan kesadaran, kesediaan mendengar, ketulusan mengungkapkan pikiran, bereaksi dalam bentuk respon, mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh, berusaha menghasilkan yang terbaik, memecahkan masalah bersama-sama merupakan sebagian dari prilaku yang diamati dalam peristiwa kehidupan siswa sehari-hari.
Keterampilan (psikomotorik) merupakan bentuk keterampilan fisik termasuk terampil menghasilkan karya kreatif sebagai penerapan ilmu pengetahuan yang siswa kuasai. Keterampilan menggunakan komputer sehingga menghasilkan karya kreatif, sampai keterampilan menggunakan alat laboratorium dengan tepat untuk menghasilkan produk praktikum yang bermutu. Semua ini dikembangkan dalam bentuk target yang digariskan dalam visi-misi sekolah. Lalu sekarang muncul pertanyaan “mengapa Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan indikator soal yang tertera pada Permendiknas No.: 46/2010 sebagai acuan UN 2011 lebih tinggi domain kognisi daripada afeksi dan psikomotorik?” Ini juga akan menjadi dalih bahwa sepantasnya porsentase NS harus lebih tinggi dari UN karena kacamata yang mampu meneropong sikap dan keterampilan siswa dalam kesehariannya ialah guru-guru sekolah.
Ketiga, pengaruh dan keterlibatan konsep KTSP: Sejak diimplementasi MBS, sejak itu pula kewenangan mengembangkan kurikulum diberikan pada sekolah, termasuk di dalamnya penetapkan Kriteria Kemampuan Minimal (KKM). Ini sangat fatal, karena tidak semua sekolah menetapkan KKM yang sama, karena KKM berdasarkan daya dukung, kompleksitas, dan intake masing-masing sekolah. Tentu sekolah yang memiliki daya dukung rendah, kompleksitas rendah, dan intake rendah, akan memiliki KKM yang rendah pula. Artinya pengambilan NRR sebagai bagian dari NS tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Sehingga pemerintah pusat hendaknya mempertimbangkan secara akuratif perbedaan itu. Dilema “siswa menjadi korban dan/atau siswa sebagai kelinci cobaan” akan benar-benar terjadi.
Keempat, dampak pemanfaatan pendekatan pembelajaran, seperti CTL terhadap kompetensi siswa. Secara sederhana bahwa pembelajaran CTL ialah pembelajaran berbasis konteks. Konsekuensinya ialah guru akan melaksanakan proses pembelajaran sesuai kondisi dan kenyataan keseharian siswa. Konsep dan contoh-contoh yang dijadikan model pun diambil dari bahan yang paling dekat dengan dunia nyata siswa. Pengalaman sejak UN 2004 menunjukan bahwa selalu saja muncul ilustrasi dan contoh-contoh soal tentang Super Market di Surabaya, gajah di Sumatra, dan ilustrasi pulau Dewata Bali, serta letusan gunung Galunggung di Jawa yang secara konseptual telah melebar keluar dari wilayah CTL. Lalu sekarang muncul pertanyaan “bagaimana dengan CTL yang digaungkan selama ini? Padahal di Bima juga memiliki gunung Sangiang dan Tambora yang pernah meletus seperti Galunggung.
Berdasarkan pemikiran ini, maka penulisan naskah soal oleh pusat tidak sesuai dengan konsep CTL. Kita harus ingat bahwa Sapi yang dikenal oleh anak-anak di Bima berbeda dengan sapi [anoa] yang diketahui oleh anak-anak di Sulawesi. Menurut laporan http://id.shvoong.com yang di download pada 7/11/2011 serta referensi hasil penelitian lainnya bahwa CTL berpengaruh signifikan terhadap motivasi belajar siswa. Namun, kenyataan menunjukan bahwa dilembaran sejarah UN 2004 –yang sempat membuat kita terbesit–, terhadap kasus yang menimpa Arafah siswa SMA 1 Madapangga, peraih medali pada ivent olimpiade matematika yang nyata-nyata ditetapkan gagal dan dinyatakan tidak lulus UN lantaran NUN matematika yang tidak memenuhi standar minimal. Apakah anak bangsa harus ditetapkan gagal karena matematika, sementara NUN lainnya melambung? Masih banyak lagi kasus UN lainnya yang menarik untuk ditelaah. Sekarang kita tinggal menunggu, “Benarkah UN 2011 akan menjadi dilema nasional?” entah, semuanya tergantung pemaknaan kita. Yang jelas, hidup ini ialah keyakinan. Jika kita yakin bahwa UN 2011 akan menjadi dilema maka akan menjadi dilema benaran, dan jika kita yakin bahwa UN ini akan memicu laju mutu pendidikan, maka insya Allah mutu pendidikan kita akan benar-benar meningkat dan akan bermunculan anak-anak bangsa yang akhlakul qarimah. Kata dilema, kata gagal, kata setengah mati, dan apapun kata lain yang bernuansa psimistik, sebaiknya tidak perlu ada. Jika ada, apalagi kalau di ada-adakan maka akan menjadi racun pembunuh motivasi dan kreatifitas kita dalam memajukan pendidikan di daerah ini. Dalam setiap kesempatan, penulis selalu memotivasi siapapun dengan ungkapan “Kita diciptakan oleh Allah yang Maha Besar, maka besarkanlah hati dan cita-cita sebesar Allah yang menciptakanmu”. Sekarang yang pantas kita lakukan ialah terus bangun motivasi belajar pada anak-anak kita, perketat kegiatan mereka dan menghindari bermain/hura-hura yang tidak bermanfaat, ubah paradigma UN dulu menjadi paradigma UN kini, kontrol aktifitas mereka secara kontinu, penuhi kebutuhan belajarnya, dan bangun terus komunikasi yang efektif antara orangtua, masyarakat dan sekolah, serta berdo’a.
Kembali tentang UN, kendati masih banyak kelemahannya, ternyata kebanyakan responden di daerah dalam survai nasional berpendapat bahwa UN tetap diperlukan dalam era Otonomi Daerah (Mardapi, dkk., 2001: 12). Mereka melihat bahwa UN sangat diperlukan terutama untuk mendorong siswa, guru, dan kepala sekolah bekerja keras untuk peningkatan mutu pendidikan, kendati belum tercermin dalam capaian angka minimum. Namun kepala sekolah, guru, siswa, dan orangtua menyatakan bahwa UN telah mendorong mereka untuk berupaya agar terjadi kegiatan pembelajaran yang intensif dan efektif di sekolah (Kumaidi, dkk., 2004: 23). Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Mardapi, dkk., (2004: 48) tentang dampak UN yang telah mampu merubah paradigma pendidikan.
Sebagai penutup, UN perlu dan tetap dilaksanakan tetapi hasilnya dimanfaatkan untuk pemetaan program pendidikan, dan sebagai dasar pembinaan/pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam meningkatkan mutu proses dan hasil dan bukan dijadikan sebagai penentu kelulusan. Berikan kemerdekaan sepenuhnya kepada kami (guru), kami ialah tenaga profesional yang diberi imbalan yang pantas untuk itu. Kami yakin, kami bisa melakukannya.
Kalau boleh meminjam kata-kata Upin-Ipin, maka saya hanya akan mengatakan betul...betul,,,betulll,Sy setuju dg kesimpulan artikel tsb.Sejalan dg BSNP meskipun MA telah melarang UN
BalasHapuskata pertama yg akan saya sampaikan adalah,SALUT!!!kepada Bapak yg banyak meluangkan waktu utk menulis.krn sangat langkah seorang pendidik melakukan hal seperti ini.harapan saya adalah,teruslah berkarya secara OBJECTIVE tanpa harus takut kepada siapapun!selamat bekerja Pa Guru,saya secara pribadi bangga punya Kaka seperti Bapak.semoga tulisan Bapak dalam blog Bapak selalu membawa perubahan dalam dunia pendidikan di tanah air tercinta ini.Amin.....selamat berjuang "PAHLAWAN TANPA TANDA JASA".
BalasHapusby,
fendy mIdoEn
Pak Dosen,mohon tulisan nya agak umum sedikit.memang saya tahu bhw Bapak adalah seorang Pendidik namun apa salah nya bila Bapak dapat menulis keadaan sosial lain masyarakat bima.terutama masalah "penyakit sosial"masyarakat bima umumnya sekarang ini.
BalasHapussalam,
fendi midoen
Terima kasih atas dukungannya! Untuk masalah penyakit sosial sedang dalam proses telaah dan observasi serius, karena setiap tulisan, pandangan, ulasan ilmiah, mengkritisi sesuatu, atau apapun namanya harus memenuhi syarat keilmuan dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Oleh sebab itu butuh waktu dan kehati-hatian (bukan takut). Yakinlah dalam beberapa hari akan terpampang disini harapan Dinda! Selamat Berjuang untuk Bangsa
BalasHapussekedar saran :coba di angkat masalah sosial dengan merebaknya togel re pak,, lgi hangat2nya di masyarakat togel re pak,, !
BalasHapusmulai dari masyarakat biasa smpai org2 penting d pemerintahan jga ikut2tan main togel,,!!!
mungkin dengan tulisan bapak bsa jadi bahan renungan teman2 pemain togel..!!