Minggu, 05 Juni 2011

Upaya Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia


A. Rasional
Sejak ditetapkan bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa persatuan pada tanggal 28 September 1928, BI terus mengalami perkembangan. Lebih lagi setelah pemerintah secara resmi mengangkatnya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, pemakaian BI menjadi lebih luas. Bahkan, hampir semua bidang kehidupan di negeri ini menggunakan BI sebagai bahasa pengantar perhubungan. Sebagai alat komunikasi dan interaksi, BI tidak mungkin menghindari kontak dengan bahasa-bahasa lain, termasuk dengan bahasa daerah (BD) –bahasa Bima, bahasa Sasak, bahasa Samawa, misalnya–. BD yang ada di negeri ini ribuan jumlahnya. Demikian pula masuknya bahasa asing (BA) sebagai konsekuensi perkembangan global, tidak mungkin dihindari. Justru BD dan BA tersebut dapat memperkaya BI terutama dari segi perbendaharaan kata (Badudu, 1979). Kendati BI diperkaya oleh bahasa lain, namun tidak sampai pada segi struktur bahasa. Karena itu, BI tetap dapat menunjukkan jati dirinya (Warsiman, 2007).
B. Kongres Bahasa Indonesia
Dalam upaya pembinaan dan pengembangan BI, sejak tahun 1938 hingga kini, setidaknya telah delapan kali kongres bahasa diselenggarakan. Kebijaksanaan pembakuan bahasa, pedoman peristilahan, pedoman penyerapan dan sebagainya, terus dilakukan agar BI mencapai kesempurnaan dan dapat menunjukkan jati dirinya.
1) Keputusan Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1938 di Solo
Hasil kongres BI-I tahun 1938 di Solo Jawa Tengah, memberikan penegasan tentang kedudukan BI serta pengembangan dan pembinaannya untuk semakin dimantapkan. Dalam amanat tersebut dijelaskan bahwa kedudukan BI diusulkan agar dijadikan sebagai bahasa resmi dan bahasa pengantar di dalam perwakilan dan perundangan. Untuk mewujudkan amanat kongres BI-I tersebut, pemerintah mengambil kebijaksanaan dengan menetapkan kedudukan BI sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Sebagai bahasa nasional, pada tanggal 18 Agustus 1945, dua hari setelah kemerdekaan, pemerintah menetapkan bahasa nasional Indonesia ialah BI. Demikian pula kedudukannya sebagai bahasa negara, pemerintah menetapkan kebijaksanaan mengangkat BI sebagai bahasa negara. Kebijaksanaan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada Bab XV, Pasal 36, yang selengkapnya berikut ini: ”Bahasa negara adalah bahasa Indonesia”. Landasan konstitusional ini memberikan kedudukan yang kuat bagi BI untuk digunakan dalam berbagai urusan kenegaraan dan dalam menjalankan tatapemerintahan.
Berdasarkan kedudukan itu, baik sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara, usaha pelestarian, pembinaan dan pengembangannya diwajibkan bagi setiap warga negara yang merasa dirinya sebagai warga BI. Himbauan tentang kewajiban itu telah ditetapkan oleh pemerintah, baik melalui ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) maupun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam ketetapan MPRS tahun 1966 misalnya, ditegaskan agar warga negara Indonesia terus meningkatkan penggunaan BI sebagai alat pemersatu yang ampuh. Di samping itu, dalam ketetapan MPR 1978 dan 1983, juga dirumuskan bahwa pembinaan dan pengembangan BI dilaksanakan dengan mewajibkan penggunaannya secara baik dan benar. Rumusan itu juga ditujukan terhadap penggunaan BI di dalam pendidikan dan pembelajaran agar perlu semakin ditingkatkan dan diperluas hingga mencakup semua lembaga pendidikan dan menjangkau masyarakat luas.
Sebagai tindak lanjut dari ketetapan MPR tersebut, dalam GBHN 1988 ditegaskan kembali bahwa usaha pembinaan dan pengembangan BI akan ditingkatkan melalui jalur pendidikan, baik formal maupun nonformal. Dengan penegasan itu, semua jenjang dan jalur pendidikan di Indonesia mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi wajib menggunakan BI sebagai bahasa pengantar.
Landasan konstitusional tersebut memberikan gambaran bahwa masalah BI ialah masalah bersama, sehingga upaya pembinaan dan pengembangannya pun menjadi tanggung jawab bersama sebagai bangsa Indonesia. Jadi, bukan hanya menjadi tanggung jawab para pakar dan para pembina BI. Tambahan lagi, dalam upaya pengembangan dan pembinaan bahasa, amanat kongres BI-I menegaskan perlunya penyempurnaan atau pembaruan ejaan BI. Hal yang amat penting dan menjadi perhatian dalam kongres BI-I tersebut ialah perlunya menyusun tatabahasa baku, pengembangan leksikon dan penertiban atau perbaikan bahasa surat kabar, karena implementasi dari kebijaksanaan tersebut akan diemban oleh surat kabar. Hal lain yang juga menjadi perhatian kongres ialah perlunya mendirikan Institut BI, atau Fakultas Sastra dan Filsafat. Lembaga semacam itu dianggap penting sebagai sarana pengembangan, penyebarluasan dan pembinaan BI.
2) Keputusan Kongres BI-II Tahun 1954 di Medan
Hasil kongres BI-II tahun 1954 di Medan yang menyangkut kedudukan bahasa memutuskan bahwa: (1) politik BI dalam hubungannya dengan BD dan BA supaya digariskan dengan jelas; (2) perlu dibangkitkan rasa cinta BI dan peningkatan harga diri dengan menggunakan BI; dan (3) perlu ditegaskan bahwa, BI memang berasal dari bahasa Melayu (BM) tetapi disesuaikan dengan pertumbuhannya.
Berkaitan dengan poin (1) yakni, hubungan antara BI dan BD dapat dijelaskan bahwa kedua bahasa itu memiliki sumbangsih yang amat penting terhadap perkembangan bahasa dan bangsa Indonesia. Sebagaimana dijelaskan dalam konstitusi kita bahwa ”bahasa-bahasa daerah yang ‘dipakai’ di wilayah negara Republik Indonesia perlu dipelihara dan di kembangkan”. BD ialah salah satu unsur budaya daerah, dan kebudayaan daerah merupakan unsur kebudayaan nasional yang tengah dibina dan kembangkan. Bahkan, keberadaan BD justru diperlukan untuk pembinaan BI sendiri. Hal ini dapat dilihat pada proses pembelajaran di jenjang pendidikan tingkat rendah di negara ini yang masih menggunakan bahasa ibu atau BD sebagai bahasa pengantar. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa semua anak negeri ini terlahir dengan menggunakan BD sebagai bahasa pertama.
BD memiliki fungsi (1) sebagai lambang kebanggan daerah; (2) lambang identitas daerah; dan (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat (Depdikbud, 1981). Selanjutnya, dalam hubungannya dengan fungsi BI, BD berfungsi sebagai: (1) pendukung bahasa nasional; (2) bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah-daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pembelajaran BI serta matapelajaran lain; dan (3) alat pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah (Depdikbud, 1981).
Demikian pula keberadaan BA di Indonesia. Fungsi BA secara umum harus didasarkan pada substansi tujuan pendidikan, yaitu mencetak manusia Pancasila yang trampil dalam pembangunan. Terkait dengan ini, BA hendaknya dikuasai sedemikian rupa sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk membantu mempercepat proses pembangunan negara dan bangsa.
Penggunaan BA hendaknya dapat membantu mewujudkan politik luar negeri yang bebas dan aktif termasuk mengadakan persahabatan dengan semua negara di dunia. Di samping dasar tujuan tersebut, kita tidak boleh melupakan faktor-faktor lain yang akan menentukan urutan BA yang harus diprioritaskan dan diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia. Faktor-foktor yang menentukan di dalam pemilihan BA antara lain ialah faktor politik, keagamaan, kebudayaan, dan ekonomi (Kartono, dalam Depdikbud 1981).
Di Indonesia BA yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan ialah bahasa Inggris. Bahasa Inggris sebagai BA pertama di Indonesia didasarkan atas posisinya sebagai bahasa internasional, bahasa ilmu pengetahuan, teknologi modern, perdagangan, politik dan sebagainya. Singkatnya, hampir semua bidang kehidupan, bahasa Inggris digunakan untuk sarana penyampaian. Dasar tersebut selaras dengan faktor penentuan dan pemilihan BA yang akan diprioritaskan.
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 096/1967 secara tegas telah menggariskan bahwa pengajaran BA tidak lain fungsinya ialah: sebagai alat untuk mempercepat proses pembangunan negara dan bangsa; membentuk persahabatan dengan bangsa-bangsa lain; dan menjalankan kebijaksanaan luar negeri (foreign policy) kita. Sedangkan tujuan nasional dalam pengembangan ketrampilan ber-BA (dalam hal ini, bahasa Inggris) sesuai dengan keputusan pemerintah dan sesuai dengan kegunaanya ialah agar kita memiliki kompetensi: (1) membaca secara efektif; (2) mengerti bahasa lisan; dan (3) berbicara (Depdikbud, 1981:139). Berdasarkan uraian tersebut, kekhawatiran terhadap terdesaknya kedudukan BI tidak perlu terjadi. Baik BD maupun BA posisinya akan tetap menjadi bahasa pendukung BI.
Selanjutnya, berkaitan dengan poin (2) tentang perlunya dibangkitkan rasa cinta BI dan peningkatan harga diri dengan menggunakan BI, tampaknya sejak kongres BI-II mengalami perkembangan yang menggembirakan. Kebijaksanaan menggunakan BI sebagai bahasa pengantar di semua jenjang pendidikan berpengaruh luas terhadap persepsi status sosial di tengah masyarakat. Bahkan, menggunakan BI dalam pergaulan sehari-hari dianggap sebagai kaum terpelajar atau kaum intelek.
Amanat kongres BI-II (poin [3]) ialah berkaitan dengan perlunya ditegaskan kembali bahwa BI ialah berasal dari bahasa Melayu tetapi disesuaikan dengan pertumbuhannya. Bakry (1981) menjelaskan bahwa BI yang diangkat sebagai bahasa nasional dan bahasa negara berasal dari bahasa Melayu Riau. Sungguhpun berasal dari bahasa Melayu Riau, tetapi dalam perkembangannya ia telah mengalami perubahan yang signifikan. Ciri sebagai BM Riau hampir sudah tidak terlihat lagi. Bahkan, BM sendiri pada saat ini sudah dianggap sebagai BA jika disandingkan dengan BI (Depdikbud, 1981).
3) Keputusan Kongres Bahasa Indonesia III tahun 1978 di Jakarta
Untuk mengukuhkan BI sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, serta untuk meningkatkan pengguna dan penggunaanya dalam wilayah negara Indonesia, kongres BI-III di Jakarta merekomendasikan agar kemahiran berbahasa Indonesia dijadikan sebagai persyaratan penerimaan pegawai negeri. Rekomendasi yang kedua, agar pemerintah menggariskan suatu kebijaksanaan di dalam kebudayaan. Rekomendasi tentang kemahiran ber-BI agar dijadikan sebagai persyaratan penerimaan pegawai negeri telah diimplementasikan oleh pemerintah. Bahkan, hingga dewasa ini pemerintah masih menjadikan uji tes kemahiran ber-BI tetap dipertahankan sekalipun pada kenyataannya materi tes BI (akhir-akhir ini) tidak menekankan pada kemahiran secara praktis, melainkan hanya bersifat teoretis.
Berkenaan dengan pengembangan, kongres BI-III menyerukan terhadap perlunya penyusunan pedoman lafal baru, kamus baku, tatabahasa baku, dan perlu pula ada usaha pemodernan BI. Sebagaimana yang dikatakan oleh Muliono (Depdikbud, 1981) bahwa kebakuan BI akan dapat mengemban empat fungsi, yaitu (1) fungsi pemersatu; (2) fungsi penanda kepribadian; (3) fungsi penambah wibawa; dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.
Fungsi sebagai pemersatu telah terbukti selama ini bahwa BI mampu mengikat kebinekaan rumpun dan bahasa yang ada dengan mengatasi batas-batas kedaerahan dan fungsi ini dapat ditingkatkan lagi dengan lebih mengintensifkan usaha berlakunya suatu bahasa baku yang adab dan yang menjadi salah satu ciri manusia Indonesia yang modern.
Fungsi sebagai penanda kepribadian yang dijalankan oleh bahasa baku dapat terlihat dalam pergaulan dengan bangsa lain jika orang Indonesia tetap menggunakan BI untuk membedakan dirinya dengan bangsa lain. Dengan ber-BI kita dapat menunjukkan identitas kita, dan jika fungsi ini dapat dipraktekkan secara luas, maka bahasa Indonesia dapat dianggap melaksanakan perannya sebagai bahasa nasional yang baku.
Fungsi ketiga BI sebagai penambah wibawa merupakan unsur yang menduduki tempat tertinggi pada skala tatanilai dalam masyarakat bahasa. Bahasa baku yang digunakan oleh kalangan masyarakat yang berpengaruh dapat menambah wibawa pada setiap orang yang menguasai bahasa itu dengan mahir. Selain itu, penggunaan bahasa baku yang dipautkan dengan hasil teknologi dan kebudayaan yang baru juga dapat menambah kewibawaan yang tinggi. Misalnya, nama-nama Inggris yang masih asing itu kita ganti dengan BI yang baku akan mengesankan (mengidentikkan) BI dengan masyarakat dan kehidupan yang modern. Berkaitan dengan pembinaan, kongres BI-III menggariskan perlunya dibentuk Dewan Nasional Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, perlu dilaksanakan penataran guru-guru bahasa, perlu pembinaan ketrampilan mengarang, dan perlu pembinaan BD.
Pemerintah telah berupaya mewujudkan hasil kongres tersebut dengan melakukan berbagai langkah kebijaksanaan pembinaan dan pengembangan bahasa. Upaya yang paling nyata adalah sosialisasi penggunanan BI di berbagai tempat dengan mengganti nama-nama asing ke dalam BI, serta mencarikan padanan kata BA dalam BI, dan sosialisasi tersebut terus dilakukan. Berkaitan dengan pembinaan guru-guru bahasa, pemerintah telah berupaya melakukan langkah kebijakan dengan memberikan bekal pemahaman yang cukup terhadap guru-guru BI melalui penataran-penataran kebahasaan. Upaya tersebut ditempuh karena pemerintah menganggap guru merupakan ujung tombak pembinaan bahasa melalui siswa secara langsung tentang kebahasaan.
Selain itu, pembinaan BD juga terus dilakukan oleh pemerintah. Hal itu sesuai dengan amanat UUD 1945 Bab XV pasal 36, bahwa bahasa-bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat perhubungan yang hidup dan dibina oleh masyarakat pemakainya dihargai dan dipelihara oleh negara karena bahasa-bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup (Halim, dalam Depdikbud, 1984).
4) Keputusan Kongres Bahasa Indonesia IV tahun 1983 di Jakarta
Kongres BI-IV tahun 1983 di Jakarta menetapkan beberapa hal penting. Keputusan penting tersebut ialah berupa simpulan dan usul tindak lanjut dalam hubungannya dengan masalah-masalah lingkup bidang: (1) bahasa, (2) pembelajaran bahasa; dan (3) pembinanan bahasa dalam kaitannya dengan kedudukan dan fungsi BI sebagai sarana pembangunan nasional.
a) Bidang Bahasa
Jika ditilik kembali sejak kelahiranya, BI telah mengalami perkembangan yang pesat. Penggunaan BI sebagai sarana komunikasi sosial, sebagai penyampai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sebagai sarana pranata pemerintahan telah mencapai kemajuan yang cukup mantap. Demikian pula banyaknya buku ilmu pengetahuan yang ditulis dalam BI atau diterjemahkan ke dalam BI menunjukkan bahwa BI dapat memerankan fungsinya dengan baik sebagai alat penyebar ilmu pengetahuan.
Dalam perannya yang strategis tersebut, perkembangan BI tidak mustahil akan bersentuhan dengan pengaruh masyarakat yang memahaminya, terutama nilai budaya maupun tingkahlaku sosialnya. Sentuhan yang terjadi di satu sisi dapat memperkaya linguistik BI yang merupakan milik kita bersama, di sisi lain dapat menimbulkan keanekaragaman. Tanpa pembinaan yang berhati-hati dan dilakukan dengan seksama, tidak mustahil ragam-ragam tersebut akan semakin menyimpang jauh dari poros inti bahasa kita (Syamsuddin 1985).
Hingga kini, penyimpangan ragam baku tersebut telah menjalar di tengah-tengah masyarakat kita. Hal ini dapat dilihat betapa banyaknya pemakaian BI yang tidak sesuai dengan kaedah bahasa yang baik dan benar (klik dan baca pada situs: mamandena.blogspot.com). Yang sangat memprihatinkan bukan hanya masyarakat awam yang mengalami penyimpangan tersebut, melainkan masyarakat yang dikategorikan terpelajar atau intelek juga telah melakukan penyimpangan. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan itu berkisar pada: (1) pemakaian kalimat, pemakaian tanda baca, pengelompokkan wacana yang tidak mengungkapkan jalan pikiran yang jernih, logis dan sistematis; (2) pemakaian istilah asing yang sebenarnya ada padanan kata dalam BI, atau yang memiliki ciri-ciri semantik sama dan telah umum dipakai; (3) pemakaian istilah teknis yang tidak seragam dalam pengetahuan; (4) pengucapan kata yang menyimpang dari kaedah yang dianggap baku; dan (5) pengejaan kata atau frase yang tidak taat asas.
Kebijaksanaan pemerintah yang memungkinkan untuk diambil sebagai jawaban dari permasalahan yang muncul tersebut ialah: (1) perlunya disusun tatabahasa baku BI sebagai tatabahasa acuan yang lengkap; (2) perlunya disusun kamus besar BI yang memuat tidak hanya bentuk-bentuk leksikon, tetapi juga lafal yang dianggap baku kategori sintaktik setiap kata, dan batasan serta contoh pemakaian yang lengkap; (3) perlunya peyusunan kamus BD yang merupakan sumber untuk memperkaya bahasa nasional; (4) perlunya digiatkan penulisan dan penerjemahan buku-buku yang bermanfaat bagi pelbagai bidang; (5) perlunya pusat bahasa mengkoordinasikan kerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintah yang lain yang berkecimpung dalam bidang ilmu pengetahuan untuk menyeragamkan istilah-istilah ilmu pengetahuan; (6) perlunya sikap berhati-hati dalam memilih unsur BA; (7) perlunya mahasiswa mendapat pelatihan ketrampilan menulis karya ilmiah BI yang benar; dan (8) perlunya ditetapkan pedoman transliterasi yang benar (Syamsuddin, 1985).
b) Bidang Pembelajaran Bahasa
Secara umum tujuan pembelajaran BI di lembaga pendidikan ialah untuk memantapkan kedudukan dan fungsi BI. Tujuan tersebut jika ditinjau dari sudut pemakai dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) tercapainya pemakaian BI baku yang cermat, tepat, dan efesien dalam berkomunikasi; (2) tercapainya pemilikan ketrampilan ber-BI baik dalam penggunaannya sebagai alat komunikasi maupun dalam ilmu pengetahuan yang sahih; (3) tercapainya sikap positif terhadap BI, yaitu sikap yang erat kaitannya dengan rasa tanggung jawab yang tampak dari perilaku sehari-hari (Syamsuddin, 1985).
Kaitan antara fungsi bahasa dengan pendidikan nasional setidaknya terurai dalam empat hal pokok. Keempat hal itu ialah: (1) sebagai matapelajaran pokok, artinya BI yang diajarkan hendaknya BI dengan ciri serta syarat ragam bahasa baku, baik lisan maupun tulis, dan sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang berfungsi sebagai bahasa modern; (2) sebagai bahasa pengantar di semua jenis dan jenjang lembaga pendidikan, artinya BI yang diajarkan hendaknya memiliki ciri dapat menjalankan tugas sebagai alat komunikasi; (3) sebagai bahasa penalaran; dan (4) sebagai bahasa pengungkap pengembangan diri dari hasil pendidikan. Sebagai bahasa penalaran dan pengungkap pengembangan diri hanya dapat diwujudkan jika bahasa Indonesia tersebut memiliki bentuk yang estetis (fleksibel), luwes sehingga dapat digunakan untuk mengekspresikan makna-makna baru, dan mempunyai ragam yang sesuai dengan jenjang lembaga pendidikan tersebut (Syamsuddin, 1985).
Pembelajaran BI yang mengarah pada model pembelajaran komunikatif masih belum secara intens dilakukan. Model pembelajaran yang dilakukan selama ini masih model terstruktur yang hanya membelajarkan bahasa dari segi teoretis (Maman, 2006). Kepraktisan bahasa sebagai komponen komunikasi belum begitu diperhatikan. Demikian pula pembelajaran sastra bahwa pembelajaran sastra selama ini hanya memberi beban kepada siswa. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayuti (1994) dan Maman (2006) bahwa pembelajaran bidang sastra sejak tahun 1950-an sampai dengan tahun-tahun terakhir ini masih saja mengarah kepada hal-hal yang bersifat hafalan sejarah. Bahkan, sejak tahun 1955 telah muncul beberapa kritik dari para sastrawan atas ketidakpuasanya terhadap hasil pembelajaran sastra terutama terkait dengan apresiasi sastra (Sayuti, 1994). Menurutnya pembelajaran sastra selama ini telah menyimpang dari amanat kurikulum.
Memang kenyataan yang terjadi selama ini pembelajaran sastra telah jauh membawa siswa kepada berbagai kegiatan yang menjenuhkan/membosankan siswa,  bahkan menimbulkan kebencian terhadap sastra. Dalam kegiatan tersebut siswa diarahkan untuk menghafal, mencatat, mencari dan sebagainya berbagai hal tentang sastra, dan kemampuan itu dijadikan sebagai dasar penetapan nilai oleh guru. Pembelajaran sastra benar-benar dirancang untuk mencapai tujuan kurikuler, dan siswa harus menanggung beban kewajiban sebagai kompensasi nilai untuk menentukan statusnya di dalam kelas (Sumarjo, 1995). Kegiatan seperti itu secara mental psikologis telah membebani siswa, baik siswa yang mampu, lebih-lebih yang tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut.
Selain itu, para guru masih banyak tampil sebagai tokoh pemberi beban, bukan sebagai tokoh pemberi teladan (Maman, 2010). Pola pembelajaran seperti itu tidak saja membosankan, tetapi juga dapat menciptakan pemahaman yang keliru terhadap substansi sastra yang sebenarnya. Siswa terpaku pada pemahaman bahwa membaca puisi misalnya, berarti membaca latar belakang kehidupan penyairnya, latar belakang zamannya dan bentuk-bentuk puisi yang ditulisnya.
Untuk mengembangkan tindakan yang mendasar dalam memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran, perlu tindak lanjut yang efesien dari pemerintah. Tindak lanjut yang memungkinkan diambil untuk memenuhi harapan tersebut ialah sebagai berikut: (1) mutu pembelajaran BI di semua jenis dan jenjang pendidikan perlu ditingkatkan. Hal ini dapat dimulai dengan meningkatkan kemampuan guru BI, pengembangan bahan pembelajaran yang sesuai dengan fungsi komunikatif dan integratif bahasa, dan kebudayaan serta penalaran, pemberian pengalaman belajar kepada siswa; (2) memantapkan kedudukan dan fungsi BI sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran dan pola kebijaksanaan nasional kebahasaan harus disusun. Hal ini dapat dilakukan dengan penentuan strategi pembelajaran, pengembangan tatabahasa anutan, penggunnaan tatabahasa yang baik dan benar, kemantapan kemampuan ber-BI sebagai persyaratan untuk berbagai macam kenaikan pangkat dan tingkat, pemanfaatan media massa sebagai model (modelling) penggunaan BI yang baik dan benar; (3) pembelajaran sastra perlu ditekankan pada aspek apresiasi (maman menyatakan...); (4) bahan pembelajaran BI perlu mencakup pelatihan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis serta perlu pula dikembangkan ketrampilan membaca (membaca cepat); (5) pembinaan dan pengembangan BI hendaknya memanfaatkan organisasi profesi dan lembaga kemasyarakatan; (6) pembinanan apresiasi sastra perlu dilaksanakan sedini mungkin; (7) perlu dikembangkan bahan pembelajaran BI yang dibutuhkan bagi bidang-bidang khusus, selain ditujukan kepada berbahasa secara umum di sekolah; (8) pendidikan dalam suasana kedwibahasaan yang strateginya bertujuan menjamin hak hidup bahasa dan kebudayaan daerah hendaknya mempunyai nilai positif; (9) kurikulum lembaga pendidikan tinggi hendaknya menambahkan beban MK BI; (10) hasil penelitian kebahasaan dan pembelajaran bahasa hendaknya disebarluaskan dan dimanfaatkan; dan (11) pelaksanaan wajib belajar perlu dimanfaatkan untuk mensukseskan pembinaan dan pengembangan BI (Syamsuddin, 1985).
c) Bidang Pembinaan Bahasa
BI memiliki peran yang amat penting terhadap pembangunan nasional. Semua kebijaksanaan pemerintah akan diteruskan ke masyarakat melalui sarana komunikasi BI. Namun, pada kenyataannya banyak masyarakat yang belum menggunakan BI dengan baik dan benar. Para pembina bahasa mensiyalemen bahwa banyak lembaga-lembaga, badan-badan, dan organisasi-organisasi masyarakat, juga pemerintah belum menggunakan BI dengan baik dan benar. Yang lebih memprihatinkan lagi, BI yang digunakan dalam ilmu hukum, ilmu administrasi dan lain-lain, banyak yang menyimpang dari kaidah-kaidah BI. Tidak kurang dari media massa yang merupakan salah satu sarana penting untuk pembinaan dan pengembangan BI, pada kenyataannya juga masih memiliki banyak kelemahan. Terkait dengan ini, pembinaan dan pengembangan BI masih perlu terus ditingkatkan.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk pembinaan dan pengembangan BI agar berjalan dengan efektif. Beberapa langkah tindak lanjut berikut ini perlu diambil untuk menjawab permasalahan tersebut seperti: (1) perlu usaha sungguh-sungguh penggunaan BI di segala bidang, terutama bidang hukum dan perundang-undangan; (2) semua aparatur pemerintah, terutama yang terlibat langsung dalam pelaksanaan, perencanaan, penyusunan, pengesahan, dan pelaksanaan hukum, harus memiliki kemampuan ber-BI yang memadai, sehingga produk hukum/undang-undang tidak taksa (ambigu); (3) semua petugas pemerintahan khususnya yang berhubungan langsung dengan masyarakat seperti lurah/kepala desa, guru, juru penerangan, penyiar TV/radio dan staf redaksi media cetak, harus memiliki kemampuan ber-BI yang memadai; (4) perlu diambil kebijaksanaan yang memungkinkan terciptanya iklim kebahasaan yang kondusif dengan menertibkan istilah-istilah asing yang tidak perlu untuk diganti dengan kata/istilah Indonesia; (5) pembekalan generasi muda untuk berdisiplin ber-BI; (6) perlu penugasan para ahli bahasa di berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta; (7) perlu pembinaan intensif pemahaman BI di daerah yang masih rendah kualitas penduduknya; (8) fungsi BI perlu dimantapkan, penggunaan istilah-istilah asing dihindari; (9) kampanye penggunanan BI yang baik dan benar perlu ditingkatkan; (10) perlu meningkatkan kemampuan guru dan dosen BI, selain meningkatkan mutu pembelajarannya; (11) buku-buku yang diterbitkan, baik yang asli maupun terjemahan, surat kabar, dan majalah yang diedarkan, hendaknya menggunakan BI yang baik dan benar; (12) perlu perencanaan yang matang dalam pembinaan BI di segala bidang; (13) pemanfaatan unsur-unsur BD dilakukan dengan cermat, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif; (14) hasil-hasil pembakuan BI perlu ditunjang dengan intruksi pelaksanaan pada setiap departemen, lembaga dan organisasi; (15) mengusulkan pusat bahasa kedudukanya menjadi lembaga nondepartemen supaya wibawa dan ruang geraknya lebih berdayaguna; (16) perlunya dimasukkan BI ke dalam konsep wawasan nusantara; (17) sensus penduduk dapat memperoleh data kebahasaan yang sahih dan lengkap; (18) setiap kongres bahasa hendaknya menugasi pusat bahasa untuk memonitor pelaksanaan keputusan kongres BI sebelumnya dan melaporkan hasilnya pada kongres BI berikutnya dan demikian seterusnya; dan (19) ketentuan mengenai lalulintas (sirkulasi) buku dan barang cetakan yang tertulis dalam BI, terutama di kawasan ASEAN perlu ditinjau kembali.
C. Kendala dalam Pembinaan dan Pengembangan BI
Kegiatan rutin kebahasaan telah banyak dilakukan termasuk diselenggarakannya kongres BI secara periodik. Demikian pula banyak upaya yang telah dilakukan oleh para pakar bahasa, serta tindakan nyata dengan menyerukan dan melakukan kegiatan pembinaan dan pengembangan BI secara intensif. Namun, upaya tersebut belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Bahkan, dewasa ini gejala merendahkan bahasa sendiri semakin menjadi-jadi, BI semakin terpuruk. Hal ini dapat dilihat di kalangan pemuda masa kini yang enggan menggunakan BI yang baik dan benar. Mereka lebih percaya diri atau lebih bermartabat jika menggunakan bahasa ”gaul” dalam pergaulan di tengah-tengah komunitasnya. Lebih terpuruk lagi menggunakan BI yang baik dan benar menurut anggapan mereka sudah dianggap ketinggalan zaman (Maman, 2010).
Ada beberapa hal yang membuat kedudukan BI dewasa ini mengalami penurunan wibawa. Penulis menggeneralisasikan, setidaknya ada tiga hal yang membuat BI terpuruk. Ketiga hal itu ialah: (1) tidak adanya keseriusan pemerintah; (2) tidak memadainya alokasi dana sosialisasi; dan (3) kesadaran masyarakat rendah.
1) Keseriusan Pemerintah Mengembangkan BI
Jika ditelaah mundur pada masa orde baru, ketika presiden Soeharto masih berkuasa, setiap pidato yang bersifat kenegaraan dan/atau antarnegara, lebih-lebih ketika menjamu tamu kenegaraan, presiden ‘hampir’ tidak pernah menggunakan bahasa Inggris, kendati bahasa Inggris menjadi bahasa wajib internasional. Hal tersebut diceritakan oleh Widodo (Bakry, 1981: 166) seorang penerjemah presiden. Bahkan, ia yakin kalau Presiden dapat berbahasa Inggris, tetapi beliau lebih memilih menggunakan BI. Demikian pula pada masa orde lama, saat Presiden Soekarno berkuasa, beliau tidak segan-segan dalam pidatonya menggunakan BI, kendati beliau menguasai beberapa bahasa asing lainya. Bahkan, beliau ialah seorang kepala negara pertama yang berani dan tanpa beban mengutip ayat-ayat Al-Quran dalam pidatonya di gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) New York.
Selanjutnya, menurut cerita Amran Halim (mantan kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa sekarang Pusat Bahasa), upaya untuk menjadikan BI sebagai bahasa pergaulan di Asia Tenggara pernah dimunculkan (Bakry, 1981:166). Yang mengherankan, usulan tersebut bukan datang dari bangsa Indonesia, melainkan dari negara Pilipina. Selain itu, kenyataan menunjukkan bahwa beberapa negara di dunia ini telah banyak yang mempelajari BI. Sebut saja misalnya, Amerika, Australia, Jerman Barat, Rusia, Korea Selatan, Jepang, Prancis, Inggris, Cina, Italia, dan Belanda (Bakry, 1981:166; dan Hardini, 2007:1-6). Bahkan, menurut Tri Indri Hardini, Amerika Serikat merupakan negara penutur bahasa Inggris pertama yang mengajarkan BI, sedangkan di Prancis pembelajaran BI dilakukan sejak tahun 1841 (waktu itu BI masih berupa BM), dan di Jepang sejak tahun 1908 masyarakatnya telah mempelajari BI (Hardini, 2007:1-5).
Kini, BI semakin tidak berdaya. Para pejabat di negeri ini lebih banyak beretorika dengan campur kode dalam berbahasa. Bahkan, alih kode dengan dalih menjaga wibawa. Mereka merasa status sosialnya akan menanjak jika menggunakan BA (Inggris) dalam setiap pembicaraannya. Lebih-lebih BA itu telah dianggap sebagai lambang keterpelajaran dan keintelektualan seseorang. Jika ini yang terjadi, kita akan kehilangan salah satu identitas bangsa yakni BI.
Upaya pemurnian BI juga sudah tidak terdengar lagi. Bulan bahasa yang diperingati setiap Oktober menjadi kegiatan seremonial belaka. Upaya lebih konkrit tidak lagi menjadi agenda pemerintah. Jika ini terus terjadi, tidak mustahil BI terancam musnah, dan bangsa Indonesia akan kehilangan identitas diri.
2) Alokasi Dana Pembinaan dan Pengembangan BI
    Penulis tertarik dengan cerita di jejaring sosial. Ceritanya begini:
terdapat seorang dosen Bahasa Prancis di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Beliau berkata bahwa, ketika orang-orang Prancis ditanya ”apakah saudara bisa berbahasa Inggris?”, ia menjawab dengan agak marah ”untuk apa saya belajar bahasa Inggris, biarlah orang-orang Inggris yang belajar bahasa Prancis”.
Sepenggal pernyataan itu tersirat rasa patriotis yang amat tinggi dari orang Prancis. Ia menunjukkan begitu besar cintanya terhadap tanah air, dan rasa bangga terhadap bahasanya sendiri. Sungguhpun penggalan pernyataan itu tidak seluruhnya menguntungkan, terutama dalam pergaulan global, tetapi setidaknya terlihat dalam jiwa orang Prancis tersebut rasa patriotis yang membara terhadap bahasa yang dimilikinya.
Lebih lanjut ceritanya terhadap upaya pemerintah Prancis untuk memurnikan bahasa nasionalnya. Semua buku ilmu pengetahuan dan teknologi, sebelum beredar luas di masyarakat, negara melakukan penerjemahan terlebih dahulu ke dalam bahasa Prancis. Demikian ketatnya sensor negara terhadap hal-hal yang berbau asing sebelum benar-benar dikonsumsi oleh masyarakatnya. Bandingkan dengan yang terjadi di Indonesia saat ini.
Upaya yang sama juga telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Namun, tidak banyak yang dapat diperbuat. Lagi-lagi kendala dana menjadi faktor utama terhadap program tersebut. Sejak tahun 1973 keinginan untuk melakukan upaya menerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan sudah didengungkan oleh Prof. Dr. Sutan Takdir Alisyahbana tetapi hasilnya, pada tahun anggaran 1979/1980 pemerintah hanya mampu mendanai penerjemahan 31 judul buku dengan biaya Rp 34.837.250 (Bakry, 1981:173), dan tahun-tahun berikutnya hanya mampu menerjemahkan rata-rata 20 judul buku. Memang diakui banyak kendala yang dihadapi dalam upaya penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan tersebut. Selain faktor biaya, juga karena faktor sulitnya menemukan buku-buku yang cocok, serta tenaga penerjemah yang tersedia. Dua alasan yang terakhir tampaknya sudah tidak berlaku lagi.
Hal utama yang menjadi harapan masyarakat Indonesia ialah alokasi dana pembinaan dan pengembangan BI yang perlu mendapatkan komitmen pemerintah. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian menggelobal ini tidak ada jalan lain kecuali mengikuti arus tersebut dengan tetap memegang teguh jiwa nasionalis, sehingga kita tetap dapat mengikuti perkembangan zaman tanpa harus mengorbankan nilai-nilai kebangsaan.
3) Kesadaran Masyarakat
Kendati usaha pembinaan dan pengembangan BI gencar dilakukan, tanpa kesadaran masyarakatnya hanya akan menjadi pekerjaan yang sia-sia belaka. Bahkan, akhir-akhir ini rasa nasionalis kita lambat laun hilang oleh nafsu egois yang tumbuh tanpa kontrol. Jiwa kesukuan lebih mendominasi daripada jiwa berbangsa. Hal ini dapat disaksikan dari berbagai pemberitaan di media massa. Misalnya, bentrokan antara suku Dayak (di sampit) dengan suku Madura, di Maluku antara etnis Kristen dengan Islam, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin disebut semuanya dalam tulisan ini.
Untuk merajut kembali benang-benang merah yang terkoyak tersebut, setiap jiwa perlu merenung, berpikir, dan berbuat untuk kesatuan dan persatuan negeri ini. Bukankah telah banyak jiwa yang dikorbankan untuk negeri ini. Kesadaran ber-BI yang baik dan benar akan menumbuhkan kembali jiwa persatuan. Karena salah satu fungsi BI ialah sebagai bahasa nasional dan sebagai alat integrasi bangsa.
D. Penutup
Upaya pemerintah untuk mewujudkan peran dan fungsi BI sebagai bahasa nasional dan bahasa negara terus dilakukan. Para pakar bahasa juga telah menunjukkan kepedulian yang luar biasa terhadap pembinaan dan pengembangan BI. Kegiatan secara periodik berupa kongres BI dilakukan untuk selalu mengevaluasi dan mendorong terciptanya pemurnian dan pelestarian BI secara konstan. Namun, upaya itu tidaklah cukup tanpa suatu komitmen kebijaksanaan yang berkesinambungan dari pemerintah untuk mendorong tercapainya perkembangan optimal dan efektif baik dari segi kualitas maupun kuantitas para pemakai BI.
Kebutuhan akan pembakuan pada semua level kebahasaan, kebutuhan akan pedoman-pedoman berbahasa, pedoman peristilahan, pedoman akan penyerapan unsur asing, penentuan ide-ide pengembangan dan pembinaan, penentuan bahasa nasional, bahasa persatuan, bahasa pengantar dan lain-lain, termasuk juga kebijaksanaan terhadap pembinaan dan pelestarian BD, perlu dibuatkan regulasi secara mantap agar pembinaan dan pengembangan BI tidak hanya berkutat pada sisi pemakai dan pemakaian, tetapi diharapkan dapat pula menunjukkan jati diri bangsa.
Ketetapan MPR maupun GBHN menegaskan bahwa usaha pelestarian, pembinaan dan pengembangan BI diwajibkan bagi setiap warga negara yang merasa dirinya sebagai bangsa Indonesia. Karena itu, untuk mempertahankan BI agar tetap menjadi bahasa kebanggaan, baik pemerintah, para pakar bahasa, dan semua masyarakat dituntut kepeduliannya untuk berbuat secara nyata.




RUJUKAN


Bakry, Oemar. 1981. Bunga Rampai Sumpah Pemuda Satu Bahasa Bahasa Indonesia. Jakarta: Mutiara.
Depdikbud. 1981. Politik Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdikbud. 1984. Politik Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Maman, 2006. Tugas-Tugas Pembelajaran dalam Buku Teks Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP di Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat. TESIS. Universitas Negeri Malang.
Maman, 2007. Penggunaan Bahasa yang Mubazir. Jurnal Kreatif Kampus STAI Muhammadiyah Bima
Hardini, Tri Indri. 2007. ”Pengajaran BIPA” (Makalah). Bandung: Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.
Sayuti, S.A. 1985. Puisi dan Pengajarannya. Semarang: IKIP Semarang Press
Sumarjo, J. 1995. Sastra dan Masa. Bandung: Penerbit ITB Bandung.
Syamsuddin. 1985. Sanggar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Warsiman. 2007. Kaidah Bahasa Indonesia yang Benar: untuk Penulisan Karya Ilmiah (Laporan-Skripsi-Tesis-Desertasi). Bandung: Dewa Ruchi.

Senin, 30 Mei 2011

Telaah Buku Teks Bahasa Indonesia

 A.    Hakikat Buku Teks

Buku teks berasal dari istilah text book dalam bahasa Inggris yang oleh Encols dan Sadily (dalam Tarigan, 1990: 11) diterjemahkan sebagai buku pelajaran. Buku teks dalam hal ini mencakup semua jenis buku yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan proses pembelajaran. Keluasan konsep tersebut meliputi buku Tatabahasa Ilmiah, buku Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia, buku Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan lain sebagainya. Menurut Gopinathan (1997) buku teks adalah suatu organisasi isi yang dipilih, diatur, dan disederhanakan sehingga sesuai untuk dijadikan bahan pembelajaran.
Bacon (dalam Husen, 1996: 178) secara lebih jelas mengemukakan bahwa buku teks adalah buku yang dirancang untuk penggunaan di kelas, disusun dan disiapkan dengan cermat oleh para pakar atau para ahli dalam bidang itu, dan dilengkapi dengan sarana-sarana pembelajaran yang sesuai dan serasi. Senada dengan itu, Widhiyanto (1997: 100) mengemukakan bahwa buku teks adalah buku yang digunakan sebagai sumber dalam proses belajar (learning) dan pembelajaran (instruction) dalam konteks pendidikan. Lebih lanjut, Widhiyanto menyebutkan bahwa di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, buku teks dapat digolongkan ke dalam empat macam, yaitu buku teks utama, buku teks pelengkap, buku bacaan, dan buku sumber.
Berdasarkan uraian di atas, maka buku teks dapat didefinisikan secara lebih lengkap sebagai buku yang isinya berkaitan dengan mata pelajaran tertentu yang ditujukan bagi siswa pada jenjang pendidikan tertentu yang dirancang secara cermat oleh pakar buku teks untuk keperluan praktis dalam proses pembelajaran dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan.
B.     Komponen Buku Teks
Keberadaan beberapa komponen buku teks dimaksudkan untuk memberikan kemudahan belajar bagi siswa sehingga dapat meningkatkan perolehan hasil belajar siswa. Komponen buku teks yang dimaksud, seperti petunjuk, tujuan pembelajaran,  isi (materi) ajaran, latihan, dan rangkuman (Dick dan Carey, 1990; Suparman, 1991). Senada dengan itu, Suhardi (2005: 44) mengemukakan empat komponen utama buku teks yaitu tujuan, isi (materi), rangkuman, dan evaluasi.
Pencatuman komponen tujuan pembelajaran pada setiap buku teks dimaksudkan untuk menginformasikan apa yang harus dicapai oleh siswa setelah proses pembelajaran berlangsung. Chamisijatin (1996: 61) menegaskan bahwa pencantuman deskripsi kompetensi dan hasil belajar secara eksplisit dalam buku teks sangat penting karena akan memberikan petunjuk dalam memilih materi pembelajaran, penstrukturan belajar, dan menjadi referensi dalam mengembangkan instrumen evaluasi. Selain itu, dengan kehadiran deskripsi kompetensi dan hasil belajar secara eksplisit paling tidak akan menjawab pertanyaan "apa yang diharapkan kepada siswa setelah mempelajari buku teks ini?"
Deskripsi hasil belajar merupakan pernyataan mengenai hal-hal yang ingin dicapai setelah kegiatan pembelajaran berlangsung. Rumusan deskripsi dann hasil belajar tersebut merupakan dasar pemilihan isi (materi), penataan kegiatan pembelajaran, dan penyajian materi pembelajaran serta evaluasi. Sasaran akhirnya adalah tercapainya tujuan pembelajaran, yaitu siswa mampu menampilkan perilaku seperti diuraikan dalam deskripsi kompetensi dan hasil belajar yang akan dicapai (Degeng, 1988).
Isi (materi) merupakan kerangka atau urutan isi pembelajaran mulai dari bentuk yang paling sederhana sampai kepada bentuk yang kompleks sebagai suatu kegiatan atau aktivitas pembelajaran. Isi (materi) ditampilkan pada tingkat aplikasi, kongkrit, dan bermakna dengan menggunakan dialog, gambar atau bagan. Penataan urutan isi (materi) ajaran dalam buku teks akan memberikan pemahaman pada setiap peristiwa belajar (Tillena, 1983). Penataan urutan isi (materi) ajaran akan membantu mengembangkan kompetensi, hirarki belajar, dan alih belajar yang lebih baik sehingga akan memberikan kemudahan belajar bagi siswa (Kazlow, 1980). Sehubungan dengan itu, Kemp (1985: 58) mengemukakan bahwa proses dan hasil pembelajaran dapat meningkat jika isi (materi) ajaran diorganisasi menjadi urutan-urutan yang bermakna.
Komponen rangkuman merupakan upaya yang ditempuh penulis buku teks untuk meninjau kembali terhadap apa yang telah dipelajari, sehingga siswa dapat mempertahankan retensi. Rangkuman memberikan pernyataan singkat mengenai isi (materi) yang telah dipelajari (Suhardjono, 1992). Dalam buku teks, rangkuman berisi ide-ide pokok yang merupakan tinjauan ulang terhadap uraian pembelajaran. Rangkuman tidak saja untuk memperkuat ingatan tetapi juga sebagai pendalaman bagi siswa terhadap apa yang telah dipelajari. Tampaknya, penyajian rangkuman dalam buku teks sangat diperlukan karena merupakan upaya memberikan pengekalan ingatan yang lebih baik bagi siswa. Oleh sebab itu, rangkuman dalam buku teks merupakan salah satu komponen yang dapat memberikan kemudahan belajar bagi siswa dan memudahkan siswa untuk mengingat kembali ide-ide pokok isi (materi) pembelajaran.
Komponen evaluasi (penajaman) dimaksudkan sebagai umpan balik bagi guru agar dapat memahami kelemahan dan kelebihan proses pembelajaran, sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam meningkatkan proses pembelajaran. Bentuk evaluasi dalam buku teks hendaknya disesuaikan dengan tingkat kesulitan deskripsi kompetensi dan hasil belajar. Pophan (1981: 86) mengemukakan bahwa jumlah butir pertanyaan sebagai evaluasi dalam buku teks hendaknya representatif dan memuat perilaku siswa pada ranah tertentu berdasarkan deskripsi kompetensi dan hasil belajar.
Komponen isi (materi) tersebut di atas, oleh Nunan (1993: 47) menyebutnya sebagai TTP yang terdiri atas lima subkomponen, yaitu (1) tujuan, (2) masukan bahasa, (3) kegiatan atau aktivitas, (4) peran guru dan siswa (role), dan (5) setting. Masing-masing komponen tersebut setidaknya menjawab pertanyaan berikut.
Komponen tujuan menjawab pertanyaan dasar: melalui buku teks harapan apa yang ingin dicapai oleh siswa? Misalnya penulis buku teks menjawab dengan pernyataan Saya ingin mengembangkan keterampilan berbicara siswa di depan umum; Saya ingin agar siswa dapat membuat surat pribadi dengan baik. Komponen masukan bahasa (input) merujuk pada pengertian data yang membentuk ‘titik berangkat’ sebuah buku teks. Pertanyaan yang mendasarinya adalah apakah masukan bahasanya? Apakah masukan bahasa itu autentik? Apakah cukup luas cakupan dan variasinya?.
Komponen kegiatan atau aktivitas berangkat dari pertanyaan: mana yang lebih utama, skill-getting ataukah skill-using? Kemana arahnya? Komponen role menjawab pertanyaan apakah yang diharapkan dari siswa dan guru untuk ikut ‘bermain’ dalam melaksanakan tugas/pelatihan? Peran apakah yang dipilih dan dimainkan sehingga seolah-olah interaksi sosial yang sebenarnya dapat berlangsung? Komponen setting  mengacu pada pertanyaan: dimanakah pelatihan dalam buku teks tersebut akan dilaksanakan? Ada dua pengertian setting yang di acu di sini, yaitu setting fisik seperti kelas, laboratorium, perjalanan ke toko buku, perpustakaan, atau ruang wawancara. Sedangkan setting sosial seperti pertemuan ramah-tamah, mewawancarai atau diwawancarai, transaksi jual-beli, atau meminta petunjuk.
Untuk mencapai hal-hal tersebut di atas, Maman, (2006: 33) mengemukakan bahwa dalam proses pembelajaran hendaknya terdapat pemodelan (modeling). Maksudnya, dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang dapat ditiru. Dalam buku teks, pemodelan dapat diwujudkan dalam bentuk contoh-contoh membuat kalimat yang benar, paragraf, membuat surat, membuat pengumuman, contoh dialog, contoh menggunakan bahasa yang baik dan benar, dan lain sebagainya.
Terkait dengan hal-hal tersebut, maka setiap buku teks hendaknya berbasis kompetensi. Artinya, isi buku teks dapat menunjang pencapaian kompetensi yang dipersyaratkan. Isi buku teks bukanlah sekedar sajian materi yang akan dibaca siswa, tetapi yang lebih utama adalah berisi skenario pembelajaran dalam bentuk pelatihan. Nurhadi (2005: 215) mengemukakan bahwa sebuah buku teks minimal berisi (1) kompetensi dasar yang akan dicapai dengan indikatornya, (2) pengantar tentang pentingnya menguasai kompetensi itu dalam konteks nyata, (3) materi pendukung pencapaian kompetensi, (4) kegiatan-kegiatan pembelajaran yang harus dilakukan oleh siswa berupa kegiatan bekerja kelompok untuk membuat sesuatu, kegiatan berlatih, kegiatan mengamati, kegiatan menampilkan, kegiatan mempraktikkan, dan lain sebagainya, (5) evaluasi kegiatan dan pencapaian kompetensi dasarnya, dan (6) tagihan atau produk yang dihasilkan seperti laporan, karya tulis, gambar, peta, bagan, uraian, dan benda-benda.
C.    Peran Buku Teks
Buku teks memegang peran penting bagi guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Bagi guru, buku teks merupakan sumber informasi yang dapat dijadikan pedoman mengajar. Bagi siswa, buku teks merupakan sumber belajar yang dapat meningkatkan kemampuan mereka sehingga tujuan yang dicita-citakan dapat tercapai. Ilmu pengetahuan dapat berkembang pesat jika ditopang oleh kehadiran buku teks. Begitu pentingnya buku teks, Hernowo (2005: 27) menyarankan agar buku teks dijadikan sebagai basis pembelajaran. Buku semacam itu merupakan sarana penting dan ampuh bagi penyediaan dan pemenuhan pengalaman tidak langsung dengan jumlah yang besar dan terorganisasi secara rapi. Memang, siswa dapat belajar dari pengalaman langsung, tetapi tidak akan dapat mencakup semuanya. Oleh karena itu, masih diperlukan juga pengalaman tidak langsung untuk melengkapi hal-hal yang tidak diperoleh dari pengalaman langsung (Tarigan, 1990).
Terkait dengan itu, Grene dan Petty (dalam Husen, 1998: 182) mengungkapkan beberapa peran kehadiran buku teks dalam proses pembelajaran yaitu: (1) mencerminkan suatu sudut pandang yang tangguh dan modern mengenai pembelajaran serta mendemonstrasikan aplikasinya dalam bahan pembelajaran yang disajikan, (2) menyajikan suatu sumber pokok masalah atau objek materi yang kaya, mudah dibaca dan bervariasi, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan para siswa sebagai dasar bagi program-program kegiatan yang disarankan tempat keterampilan-keterampilan ekspresional diperoleh di bawah kondisi yang menyerupai kehidupan yang sebenarnya, (3) menyediakan sumber yang tersusun rapi dan bertahap mengenai keterampilan-keterampilan ekspresional yang mengemban masalah pokok dalam komunikasi, (4) menyajikan bersama-sama dengan buku manual yang mendampingi metode dan sarana pembelajaran untuk memotivasi para siswa, (5) menyajikan fiksasi (perasaan yang mendalam) awal yang perlu dan juga sebagai penunjang bagi latihan-latihan dan tugas-tugas praktis, dan (6) menyajikan bahan atau sarana evaluasi dan remidial yang serasi dan tepat guna.
Sementara itu,  Ibrahim (1983) melihat peran buku teks dari tiga sudut, yaitu bagi siswa, bagi guru, dan bagi proses pembelajaran. Bagi siswa, buku teks itu berperan: (1) membantu belajar secara sistematis, mempertegas, dan mempermudah siswa untuk mengikuti pembelajaran berikutnya. Melalui buku teks, siswa dapat belajar sesuai dengan kecepatan masing-masing, mengulangi atau meninjau kembali serta memudahkan mereka dalam membuat catatan-catatan untuk pemakaian selanjutnya, (2) merangsang kreativitas. Buku teks memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyegarkan ingatan yang dapat merangsang tumbuhnya kreativitas dalam diri siswa, (3) mengembangkan sikap ilmiah, sosial, dan kemantapan emosi siswa. Melalui buku teks siswa dapat menyelesaikan tugas dan pelatihan yang diberikan. Tugas dan pelatihan ini pada gilirannya dapat memperdalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan siswa.
Bagi guru, buku teks berperan sebagai: (1) pengarah pelaksanaan pembelajaran. Melalui buku teks, guru dapat menentukan prinsip-prinsip pembelajaran yang digunakan, pendekatan yang dianut, metode yang digunakan, dan teknik yang dipakai, (2) sumber dan pengarah dalam menyediakan bahan pembelajaran. Melalui buku teks, guru lebih mudah memperoleh sumber-sumber pembelajaran, dan (3) sebagai landasan dalam menyelenggarakan evaluasi hasil belajar siswa.
Bagi proses pembelajaran, buku teks berperan: (1) memudahkan pemilihan dan penyampaian materi pembelajaran, (2) membantu kelancaran proses pembelajaran, (3) membantu kelancaran proses pengelolaan kelas, (4) memudahkan siswa untuk mengikuti uraian materi pembelajaran, dan (5) dapat digunakan untuk melatih belajar mandiri bagi siswa.
Selain yang dipaparkan di atas, buku teks memiliki keunggulan praktis, yaitu mampu mengatasi kendala keterbatasan ruang dan waktu bahkan budaya (Soepena, 1997:31) dalam menyampaikan suatu informasi. Sifat kepraktisan inilah yang menjadikan alasan, mengapa buku memiliki spektrum penggunaan yang lebih luas dalam masyarakat modern. Salah satu konteks penggunaan buku adalah konteks pendidikan yaitu penggunaan buku teks dalam proses pembelajaran.
Tidak dapat dipungkiri bahwa peran buku teks sebagai sumber belajar dalam proses pembelajaran sangat penting dan belum tergantikan oleh sumber belajar lainnya (Widhiyanto, 1997: 98). Setidaknya ada dua pihak yang berkepentingan terhadap buku teks, yaitu guru dan siswa. Orstein (1990: 333), menyatakan bahwa buku teks sebagai sumber belajar memiliki beberapa peran penting: (1) dapat digunakan oleh guru untuk merencanakan pembelajaran secara umum, penyajian yang unik, dan sebagai landasan kegiatan tatap muka di kelas, (2) memuat ringkasan informasi yang relatif tidak berubah yang dapat digunakan kapan saja saat diperlukan, (3) bersifat luwes sehingga siswa dapat mempelajarinya di rumah, (4) dapat digunakan sebagai sumber acuan bagi siswa lainnya, (5) membantu guru untuk menggali gagasan, tata cara, dan urutan penyajian materi pembelajaran, serta aktivitas-aktivitas pembelajaran di kelas, (6) memberikan kemudahan bagi siswa, terutama dalam memahami materi melalui ilustrasi, seperti gambar, grafik, peta, dan ilustrasi lainnya yang menunjang pembelajaran, dan (7) memberikan penguatan pembelajaran melalui pelatihan atau pertanyaan-pertanyaan penajaman.
Pada umumnya, buku teks digunakan sebagai sumber utama dalam proses pembelajaran. Oleh sebab itu, isi (materi) yang diajarkan dan metode yang digunakan guru dalam menyampaikan isi pembelajaran banyak dipengaruhi oleh buku teks (Calahan dan Clark, 1997: 391). Lebih lanjut dikemukakan bahwa buku teks memberikan kemudahan bagi guru dalam perencanaan pembelajaran karena alasan berikut: (1) buku teks menyajikan sasaran kompetensi yang jelas, (2) buku teks memuat isi (materi) pembelajaran terpilih yang dapat digunakan sebagai landasan untuk menentukan isi dan penekanan kompetensi pembelajaran, dan (3) buku teks memuat kegiatan pembelajaran bagi siswa dan memberikan arahan atau saran-saran bagi guru yang berkenaan dengan strategi mengajar. Selain itu, buku teks juga memuat informasi tentang sumber-sumber bacaan atau informasi lain, media pembelajaran, kompetensi dan alat pembelajaran lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa buku teks mampu berperan dalam memberikan landasan yang baik untuk membangun kegiatan pembelajaran tingkat tinggi (higher order of learning) yang menarik dan menuntut tata cara berpikir kritis serta kegiatan mental tingkat tinggi lainnya. Oleh karena itu, buku teks yang digunakan oleh siswa sebagai penunjang proses pembelajaran hendaknya buku teks yang berkualitas.
D.    Kualitas Buku Teks
Sedikitnya terdapat tiga syarat utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan pendidikan agar dapat berkontribusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia, yakni sarana gedung, buku teks yang berkualitas, serta  guru dan tenaga kependidikan yang profesional (Djoyonegoro dalam Mulyasa, 2005: 3). Hal tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan pembelajaran, juga tidak lepas dari buku teks yang digunakan sebab buku teks merupakan salah satu sumber penyiapan bahan dan sumber bahan evaluasi. Kehadiran buku teks merupakan penerjemah dan pengembang butir-butir pembelajaran yang ada dalam kurikulum (Tarigan, 1989: 66). Agar proses pembelajaran di kelas lebih aktif, siswa dan guru perlu memilih buku teks yang sesuai sehingga siswa mempunyai motivasi yang tinggi untuk belajar. Motivasi seperti ini akan tercipta jika buku teks menyajikan isi (materi) yang merupakan kegiatan nyata. Oleh sebab itu, buku teks yang digunakan dalam pembelajaran harus dapat menyajikan isi (materi) yang menarik dan tidak membosankan.
Untuk dapat memenuhi hal tersebut di atas, Ghofur (2006: 9) mengemukakan dua hal yang perlu dipertimbangkan dalam penulisan buku teks yang berkualitas.
Pertama, isi (materi) buku teks hendaknya mematuhi indikasi kurikulum, Dengan mengacu pada kurikulum, isi (materi) tersebut diarahkan untuk menggali potensi siswa dalam menganalisis kearifan lokal diri dan lingkungannya. Pola-pola penugasan hendaknya digeser dari sekedar pencapaian target mengetahui ke arah sejauh mana fungsi pengetahuan itu bagi dinamika kehidupan siswa. Isi (materi) penugasan tidak perlu berputar-putar pada penajaman teori tetapi lebih ditekankan pada aktualisasi dalam realitas nyata. Ini berarti materi pelatihan dan penugasan berupa diskusi kelompok menjadi prioritas. Variasi materi penugasan juga penting diperhatikan. Tugas yang selalu menjawab soal terkadang membosankan. Siswa membutuhkan pola penugasan alternatif seperti teka-teki silang, ular tangga, dan sebagainya yang dimodifikasi dari isi (materi) pembelajaran.
Kedua, terkait dengan penggunaan bahasa. Pemakaian bahasa dalam buku teks selama ini cenderung konvensional dan tidak komunikatif. Buku teks memvisualisasikan diri sebagai guru yang menggurui, “sok tahu” dan menjaga jarak dengan siswa. Bahasa buku yang santun berirama dialogis dapat meleburkan jarak siswa saat membaca sehingga buku teks secara tidak langsung dapat menjelma sebagai mitra belajar yang mengasyikkan.
Kehadiran buku teks erat kaitannya dengan kurikulum yang berlaku. Buku teks yang berkualitas seyogyanya relevan dan menunjang pelaksanaan kurikulum. Implementasi buku teks dalam proses pembelajaran selalu berkaitan dengan kemampuan guru dan minat belajar siswa. Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai, maka baik pemilihan isi (materi), pengorganisasian, maupun penyajian materi sebagai bahan ajar dalam buku teks hendaknya mempertimbangkan dengan cermat tujuan pembelajaran, prinsip pembelajaran, teori belajar, minat belajar siswa, dan lain sebagainya. Semakin baik kualitas buku teks, maka semakin sempurna proses pembelajaran yang ditunjangnya. Buku teks  bermutu tinggi akan meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran (Tarigan, 1989: 20). Oleh sebab itu, sudah saatnya kita mengadakan resolusi buku dengan cara mendesain isi buku teks yang lebih atractive secara visual dengan penataan yang dinamis, bahasa yang mudah, lugas, dan segar (Massigitp, 1999: 35).
Metode dan penyajian materi dalam buku teks hendaknya memenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya menarik, menantang, dan merangsang sehingga siswa benar-benar termotivasi untuk mempelajari isi buku teks tersebut. Isi (materi) yang disajikan dalam buku teks hendaknya mendalam dan berguna untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam kehidupan sehari-hari. Buku teks juga harus berperan sebagai alat evaluasi terhadap kemampuan yang dimiliki siswa. Artinya, di dalam buku teks hendaknya mencerminkan sarana penilaian sehingga siswa dapat mengukur dirinya.
Sehubungan dengan hal tersebut, Greene dan Petty (dalam Husen, 1998:187) telah menyusun sepuluh kriteria sebagai syarat buku teks yang berkualitas, yaitu (1) dapat menarik minat belajar siswa, (2) mampu memberi motivasi kepada para siswa yang menggunakannya, (3) memuat ilustrasi yang menarik hati para siswa yang memanfaatkannya, (4)  mempertimbangkan aspek linguistik yang sesuai dengan kemampuan siswa, (5) berhubungan erat dengan mata pelajaran lainnya, (6) dapat menstimulasi dan merangsang aktivitas pribadi para siswa yang menggunakannya, (7) terhindar dari konsep yang samar-samar dan tidak biasa, agar tidak membingungkan siswa, (8) mempunyai sudut pandang yang jelas, (9) mampu memberi pematapan penekanan pada nilai-nilai anak dan orang dewasa, dan (10) dapat menghargai perbedaan-perbedaan pribadi para siswa.
Alwasilah (2000: 135–136) mengemukakan secara garis besar kriteria profesional penilaian buku teks yang dapat dijadikan pedoman dalam menilai buku teks itu “baik/tidak baik” atau “cocok/tidak cocok.”. Kriteria tersebut masing-masing aspek yang dinilai menggunakan kalimat tanya berikut.
(1)   Aspek Isi
Pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut isi: (a) apakah materi disajikan secara utuh dan berkesinambungan? (b) apakah materi disajikan dengan mengikuti teori pembelajaran (bahasa) secara logis? (c) apakah materi disajikan secara logis dan jelas bagi siswa? (d) apakah penyajian materi sesuai dengan pendekatan yang diikuti? (e) apakah judul buku konsisten dengan daftar isi dan isi buku teks? (f) apakah buku teks mencantumkan daftar kata dan alat bantu yang dipakai? (g) apakah pelatihan yang disajikan cocok untuk siswa? (h) apakah materi bebas dari masalah SARA atau hal-hal tabu? dan (i) apakah penyajian materi dapat memotivasi siswa untuk belajar dan menyenangi buku tersebut?
(2)   Aspek Kualitas Teknis
Pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut kualitas teknis: (a) apakah ukuran buku dan tebalnya cocok untuk usia siswa? (b) apakah penjilidannya cukup kuat dan menarik? (c) apakah kertasnya berkualitas baik? (d) apakah tipografi dan tata letaknya baik, mudah dibaca, dan sesuai bagi usia siswa? (e) apakah gambar dan materi visual cukup banyak, menarik, dan membantu penyampaian materi?
(3)   Aspek Pendukung
      Pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut aspek pendukung: (a) apakah penerbit dan penulisnya memiliki reputasi baik di bidangnya? (b) apakah buku tersebut pernah diresensi di media masa? (c) apakah saran-saran bagi guru memiliki nilai praktis? (d) apakah pedoman yang diberikan bermanfaat bagi guru? (e) apakah daftar pustaka bermanfaat bagi guru dan siswa? dan (f) apakah buku teks tersebut dilengkapi dengan program evaluasi?
(4)   Aspek Alat Peraga
Pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut alat peraga: (a) apakah buku teks tersebut disertai alat peraga? (b) apakah alat peraga itu membantu penyampaian materi ajar? (c) apakah alat peraga itu cukup variatif, memadai, dan cocok untuk usia siswa? (c) apakah media ajar itu terbuat dari bahan yang berkualitas sehingga tahan lama? dan (d) apakah alat peraga itu mudah digunakan?
Untuk memenuhi kriteria buku teks yang berkualitas seperti yang dikemukakan di atas, maka setiap penulisan buku teks hendaknya mempertimbangkan beberapa aspek. Winataputra (1989) menyarankan tiga aspek untuk dipertimbangkan: (1) isi (materi) yang akan dikembangkan, (2) cara memilih dan mengorganisasikan kompetensi, dan (3) cara pembelajaran diorganisasikan. Sementara itu, Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional menggariskan beberapa rambu-rambu teknis yang harus dipenuhi oleh pengembang kompetensi agar kompetensi tersebut dapat ditata menjadi buku teks yang berkualitas. Rambu-rambu tersebut seperti yang dikutip Suyanto dkk. (2000: 9–10) berikut ini.
1.      Ketentuan Umum
    1. Naskah yang ditulis hendaknya mempunyai bagian-bagian yang lengkap, yaitu bagian awal, bagian isi, dan bagian akhir.
    2. Naskah yang ditulis harus asli dan belum pernah diterbitkan.
2.      Ketentuan Khusus
    1. Keamanan Nasional
Isi (materi), cara penyajian, bahasa, dan ilustrasi pada buku teks harus selaras atau tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan GBHN.
b.      Isi (materi) Buku Teks
(1)   Memuat sekurang-kurangnya kompetensi minimal yang harus dikuasai siswa pada tingkat dan jenis pendidikan tertentu sesuai kurikulum yang berlaku.
(2)   Relevan dengan tujuan pendidikan yang dicapai melalui proses pembelajaran, bahan kajian, dan pelajaran yang bersangkutan.
(3)   Menghormati kerukunan hidup umat beragama dan kehidupan antarumat beragama serta menghormati ajaran-ajaran agama yang dianut di Indonesia.
(4)   Tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang berlaku.
(5)   Benar, ditinjau dari segi ilmu pengetahuan yang bersangkutan.
(6)   Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(7)   Sesuai dengan jenjang pendidikan yang menjadi sasaran penulisan buku teks.
c.       Cara Penyajian
(1)   Urutan uraian yang teratur.
(2)   Tahapan dalam penyajian masalah dimulai dari yang sederhana ke yang lebih kompleks atau dari yang mudah ke yang sulit.
(3)   Saling memperkuat dengan bahan kajian yang terkait.
(4)   Menantang dan merangsang peserta didik untuk terus mempelajari bahan kajian dan pelajaran yang bersangkutan, dan
(5)   Pengorganisasian kompetensi dan sistematika penulisan mengacu kepada berbagai aspek kemampuan siswa.
d.      Bahasa
(1)   Menggunakan bahasa Indonesia yang benar dan baku.
(2)   Menggunakan kalimat yang sesuai dengan tingkat kematangan dan perkembangan siswa.
(3)   Menggunakan istilah, kosa kata, dan simbol-simbol yang mempermudah pemahaman dan dapat dimanfaatkan untuk mempelajari bahan kajian.
(4)   Menggunakan transliterasi yang telah dibakukan.
e.       Ilustrasi
(1)   Relevan dengan isi buku teks yang bersangkutan.
(2)   Tidak mengganggu kesinambungan antarkalimat dan antarparagraf dan bagian dari keseluruhan isi buku teks.
(3)   Merupakan bagian terpadu dari keseluruhan isi buku teks, dan
(4)   Jelas, baik, dan merupakan hal yang esensial untuk membantu peserta didik memahami konsep atau pengertian yang diuraikan dalam buku teks yang bersangkutan.

Setiap buku teks perlu memiliki landasan pengembangan yang jelas agar memiliki kualitas yang baik yang dapat dipertanggungjawabkan, yaitu selain memiliki kesahihan pewajahan, juga harus memiliki kesahihan isi (materi) sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Yang penting lagi, bahwa buku teks merupakan salah satu sumber belajar yang dapat berfungsi ‘membelajarkan’ siswa secara efektif dan efisien (Suyanto, 2000: 11).
Senada dengan yang dipaparkan di atas, McKean (1962: 155) mengemukakan bahwa buku teks yang berkualitas ialah buku teks yang memenuhi kriteria. Pertama, memuat deskripsi kompetensi dan hasil belajar yang digariskan dalam kurikulum yang akan dicapai melalui buku teks tersebut. Dengan ungkapan lain, apakah buku teks tersebut memberikan arahan yang jelas dalam pencapaian standar kompetensi? Kedua, memuat isi (materi) yang akurat, muktahir dan lengkap sebab konsepsi guru tentang isi (materi) akan menentukan buku teks yang akan dipakai dan bukan sebaliknya. Ketiga, mampu mencerminkan ‘metode pembelajaran’. Maksudnya fleksibel dan mampu mengadaptasikan berbagai metode mengajar? Keempat, sesuai dengan karakteristik siswa yang akan menggunakannya. Misalnya pilihan kata, penggunaan kalimat, ilustrasi, contoh-contoh, dan hal-hal lain yang cocok, serta berarti bagi siswa.
Beck dan Mckeown (dalam Purwanto, 1999: 12) mengemukakan sepuluh kriteria yang memadai untuk menelaah kevalidan buku teks, yaitu (1) materinya memberikan bekal agar siswa berdiskusi, (2) tidak terlalu banyak konsep, (3) pokok pikiran setiap wacana dijelaskan secara eksplisit, (4) hanya mengandung tujuan utama, (5) contoh yang disajikan betul-betul dapat menjelaskan konsep, (6) memudahkan siswa memahami hubungan sebab-akibat, (7) komponennya disusun secara logis, (8) memuat urutan kejadian sesuai dengan urutan waktu, (9) tidak menjelaskan banyak hal dalam unit yang sama, dan (10) setiap wacana mampu memberi penekanan terhadap ide yang penting.
Selanjutnya, Suyanto (2000: 13) mengemukakan bahwa buku teks yang berkualitas adalah buku teks yang memenuhi beberapa kriteria berikut. (a) kenampakannya yang meliputi ukuran, format, ilustrasi, penjilidan, dan daya tariknya, (b) gaya penyajian bahasanya menarik, menggugah pikiran, dan mampu merangsang siswa untuk ingin mengetahui lebih lanjut, (c) penulisnya memiliki kompetensi dan dikenal di bidangnya, serta (d) harga terjangkau.
Dari beberapa pandangan di atas dapat dijelaskan bahwa sebuah buku teks akan dipilih dan digunakan sebagai media pembelajaran jika dapat memenuhi kebutuhan pemakainya serta memenuhi kriteria yang dipersyaratkan. Tentu guru tidak diharapkan akan  ‘didikte’ atau ‘dikuasai’ oleh buku teks. Dengan buku teks, guru diharapkan dapat meningkatkan kinerja profesionalnya di kelas. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemakai buku teks hendaknya dapat memilih buku teks yang berkualitas. Untuk memilih buku teks yang berkualitas, hendaknya mengacu pada kriteria sebuah penyusunan buku teks. Artinya, pertimbangan pemilihannya diarahkan pada pemenuhan kriteria buku teks terhadap pemakaiannya di sekolah-sekolah.
Berikut ini beberapa tinjauan para ahli tentang prosedur analisis untuk menganalisis kualitas buku teks. Tucker (1978: 219) menyarankan dua prosedur, yaitu menjelaskan fakta isi buku dan menggambarkan perbandingan profil buku teks dan profil ideal. Kizilirmak (1991: 46) menyarankan tujuh langkah yang perlu ditempuh dalam menganalisis kualitas buku teks, yakni: (1) menentukan bahasa siswa, (2) menentukan tujuan khusus, (3) menetapkan dan menggambarkan profil, (4) menentukan skor mentah, skor rata-rata, dan menggambarkan profil, (5) membandingkan dengan profil ideal, (6) menentukan kecocokan: ya atau tidak, serta langkah (7) mengadaptasi, mengganti, dan menambahkan bagian-bagian yang dianggap kurang.
Lebih lanjut, Kizilirmak (1991:46) mengemukakan empat belas kriteria dalam mengevaluasi buku teks BSI, yaitu (1) keberterimaan dalam arus teori pembelajaran bahasa dan metodologi, (2) keaslian materi, (3) integrasinya terhadap keempat keterampilan berbahasa, (4) ketepatannya dalam menyiapkan siswa menghadapi situasi berbahasa nyata, (5) ketepatan antara materi dengan tujuan belajar bahasa, kekomunikatifannya, (7) cakupan terhadap bahan yang mendorong motivasi, (8) kesesuaian dengan kebutuhan siswa, (9) kecocokan dengan tingkat kemampuan siswa, (10) daya cakupannya terhadap variasi kemampuan siswa, (12) bahannya selalu baru, (13) isinya sejalan dengan judul dan tujuan buku teks, serta (14) cukup dalam dirinya.
Model evaluasi di atas tidak jauh berbeda dengan yang disarankan oleh Tucker, hanya kriterianya yang berbeda. Tucker dalam tulisannya mengemukakan empat kriteria utama untuk mengevaluasi buku teks, yaitu (1) kriteria lafal, (2) kriteria tata bahasa, (3) kriteria isi, dan (4) kriteria umum (Tucker, 1978:220–229). Sehubungan dengan aspek-aspek yang dievaluasi dalam buku teks, ada beberapa perbedaan di antara para ahli, meskipun dalam beberapa segi ada kesamaan pandangan. Perbedaan itu terutama terletak pada sudut tinjauan dan aspek yang menjadi penekanannya.
Mackey (1969:159–255) mengemukakan empat aspek penting dalam mengevaluasi buku teks, yaitu (1) seleksi, (2) gradasi, (3) presentasi, dan (4) repetisi. Seleksi atau pemilihan materi yang dimaksud adalah pemilihan materi buku teks dari sumber-sumber tata bahasa deskriptif.  Tahap seleksi ini dianggap penting dalam pengembangan materi buku teks BSI. Bahkan demikian pentingnya, mutu desain buku teks sangat ditentukan oleh kualitas kerja seleksi (Nurhadi, 1995: 402). Senada dengan itu, Mackey (1969: 165–201) mengajukan lima prinsip yang melandasi seleksi, yaitu: (1) tujuan, (2) tingkat kemampuan siswa, (3) lama waktu belajar, (4) pilihan tipe bahasa yang dipelajari, dan (5) faktor kemungkinan dipelajari.
Pentingnya seleksi ini didasarkan pada landasan berpikir sebagai berikut. (1) sumber-sumber tata bahasa deskriptif itu sangat beragam sifatnya, baik dari segi teori, peneliti, maupun kesederhanaanya, (2) materi tata bahasa deskriptif itu ada yang tidak relevan dengan kepentingan kependidikan, (3) tidak mungkin mengajarkan keseluruhan materi BSI kepada siswa, dan (5) pembelajaran bahasa selalu mempunyai tujuan yang khusus, yang tidak selalu menuntut siswa menguasai seluruh aspek bahasa.
Gradasi atau pengurutan adalah langkah pengurutan bahan atau materi yang telah diseleksi untuk diajarkan. Mackey (1969: 205–206) mengemukakan dua langkah pokok dalam gradasi, yaitu pengelompokkan dan pengurutan. Pengelompokkan harus berdasarkan pada prinsip keseragaman, kekontrasan, dan keparalelan. Sedangkan pengurutan harus didasarkan pada prinsip psikologi belajar, yaitu dari umum ke khusus, dari yang ringkas ke yang panjang, dari yang sederhana ke yang kompleks, dan dari yang paling berguna bagi siswa ke yang paling tidak berguna bagi siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Pakar (2005: 38) yang mengemukakan bahwa naskah yang disusun secara sistematis, berurut, dan teratur akan lebih meningkatkan pemahaman terhadap isi buku. Lebih lanjut, Pakar mengemukakan bahwa sistematika yang baik akan meningkatkan efektivitas penyampaian isi buku.
Kegiatan pengurutan materi tersebut didasarkan pada landasan berpikir bahwa: (1) siswa dalam belajar berbahasa itu melalui langkah setahap demi setahap, (2) penulis buku teks tidak dapat menyajikan materi dengan memilihnya secara acak, (3) materi hasil seleksi tentu tidak dapat diajarkan bersama-sama, tetapi salah satu mendahului yang lainnya, (4) suatu buku teks mungkin memiliki materi yang sama dari hasil seleksinya, tetapi urutan penyajiannya tidak selalu sama, (5) ada perbedaan mendasar antara cara mengurutkan materi unsur kebahasaan dengan kemampuan berbahasa dan bersastra, (6) suatu kaidah kebahasaan mungkin penguasaannya didasarkan atas penguasaan sebuah kaidah yang lain terlebih dahulu, (7) ada landasan teori yang digunakan sebagai dasar mengurutkan materi yang secara kependidikan (sesuai kebutuhan pembelajaran) dapat diterima, dan (8) kemajuan belajar berbahasa itu sifatnya setahap demi setahap, dan tidak meloncat-loncat.
Presentasi atau penyajian sebagai langkah ketiga dalam penyusunan buku teks adalah cara mengkomunikasikan materi kepada siswa. Apa yang tampak pada halaman-halaman buku teks, itulah presentasi. Presentasi materi ini tergantung pada tujuan belajar dan tingkat kemampuan siswa. Ada beberapa model presentasi. Mackey (1969: 239) mengemukakan empat macam, yaitu (1) prosedur diferensiasi, (2) prosedur ostensif, (3) prosedur piktorial dan (4) prosedur kontekstual. Prosedur diferensiasi adalah cara menjelaskan sebuah kaidah dengan menterjemahkan penjelasannya dalam bahasa pertama siswa. Prosedur ostensif menggunakan objek, tindakan, dan situasi untuk menjelaskan. Prosedur piktorial adalah penggunaan gambar-gambar, sedangkan prosedur kontekstual adalah penjelasan yang bersifat abstrak yang meliputi definisi, anumerasi, substitusi, metaphor, oposisi, dan multiple context.
Nurhadi (dalam Maman, 2006: 45) mengemukakan bahwa terdapat bermacam-macam cara atau teknik penyajian materi buku teks yang dianggap sesuai kebutuhan pembelajaran, yaitu (1) penggunan bahasa pertama, (2) menyajikan alat bantu visual, dan (3) penjelasan verbal atau definisi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa perlunya teknik penyajian yang benar didasarkan pada prinsip-prinsip belajar bahwa (1) daya guna sebuah buku teks sangat tergantung pada kemampuan penulisnya mengkomunikasikan isi (materi) kepada pemakainya, (2) setiap buku teks berbeda-beda cara penyajiannya, tergantung pada aspek yang menjadi penekanannya, (3) tujuan belajar bahasa yang berbeda menuntut cara presentasi yang berbeda pula, dan (4) ada perbedaan yang mendasar antara cara penyajian materi di antara buku teks  yang ada.
Repetisi dalam konteks ini diartikan sebagai penajaman atau pelatihan. Penajaman adalah langkah yang ditempuh oleh penulis buku teks agar materi yang disajikan itu dapat dicerna dan diinternalisasikan oleh siswa menjadi kompetensi berbahasa yang siap dipakai. Adanya bagian repetisi ini merupakan salah satu ciri yang membedakannya dengan buku penujang lainnya. Mackey (1969: 257) membagi materi repetisi ini ke dalam empat kelompok, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Prosedur penajaman ini perlu, karena didasarkan pada landasan berpikir bahwa (1) tujuan belajar berbahasa adalah agar siswa mampu berbahasa secara tepat, lancar dan mandiri. Oleh sebab itu, siswa perlu pelatihan menggunakan kaidah tersebut dalam konteks berbahasa yang sebenarnya, dan dalam situasi yang berbeda-beda, (2) terdapat banyak cara atau teknik penajaman agar sebuah kaidah berbahasa dapat diinternalisasikan yaitu dengan jalan mengulang-ulang menjadi bagian dari kompetensi komunikatif.
Berbeda dengan Mackey yang mensistematiskan model evaluasi pembelajaran dengan berdasarkan pada aspek seleksi, gradasi, presentasi, dan repetisi. Para ahli pembelajaran bahasa generasi selanjutnya justru lebih menyederhanakan aspek-aspek yang dievaluasi. Mereka umumnya hanya merinci sejumlah aspek yang seharusnya dipertimbangkan dan diteliti untuk memilih dan mendesain sebuah buku teks.
Hilferty (1978: 195–205) misalnya, menyarankan delapan aspek yang perlu dipertimbangkan dalam memilih dan melihat kualitas buku teks, yaitu (1) pemahaman penulis terhadap siswa (siapa, apa tujuan belajarnya, latar belakang bahasanya, harapannya, serta cita-citanya nanti, (2) pemahaman penulis terhadap tujuan umum pembelajaran bahasa, (3) pemahaman penulis terhadap tujuan khusus pembelajaran bahasa (tujuan yang bersifat keterampilan berbahasa), (4) pemahaman penulis terhadap kondisi dan  situasi belajar, yakni lama waktu belajar dan sarana yang tersedia, (5) pernyataan tentang prosedur belajar yang disepakati antara sekolah dan siswa, (6) kesesuaiannya dengan kalender pendidikan, (7) kesesuaiannya dengan anggaran yang mungkin tersedia di sekolah, serta (8) prosedur pemilihan dan penyesuaian bahan.
Senada dengan cara yang digunakan Hilferty di atas, Bruder (1978: 211) juga mengemukakan delapan kriteria untuk mengevaluasi buku teks, yaitu (1) level, (2) tujuan, (3) gaya bahasa, (4) latar belakang bahasa siswa, (5) umur, (6) lama waktu belajar dan alokasinya, (7) kekuatan dalam melandaskan diri pada teori linguistik dan teori belajar bahasa, serta (8) kompetensi. Demikian pula Parera (2000: 1) menyarankan empat kriteria, yaitu (1) pemahaman penulis tentang untuk siapa buku itu ditulis, (2) apa yang diharapkan setelah mereka menggunakan buku teks tersebut, (3) apa isi buku teks tersebut dan bagaimana kriterianya, serta (4) seberapa banyak isinya dan dipertimbangkan untuk siapa.
Dari beberapa pendapat di atas, tampaknya masing-masing diperuntukan bagi praktisi pengajaran bahasa, khususnya dalam pemilihan (evaluasi) buku teks yang akan digunakan. Masing-masing teknik penilaian tersebut cenderung disederhanakan, baik dalam jumlah aspek kriteria maupun sistem penilaiannya untuk kepentingan evaluasi yang lebih teliti dan mendalam.
Model-model tersebut dipandang kurang memadai. Untuk kepentingan analisis buku teks BSI, Nurhadi (1995: 409) mengajukan kriteria yang jauh lebih komperehensif, yaitu (1) dianalisis berdasarkan kriteria umum, yang meliputi landasan penyusunan buku teks, pertimbangan terhadap prinsip belajar bahasa, dan kriteria praktis, (2) dianalisis berdasarkan kriteria pemilihan, yang meliputi prosedur pemilihan materi dan ruang lingkup isi (materi), (3) dianalisis berdasarkan kriteria pengelompokan dan pengurutan, (4) dianalisis berdasarkan kriteria penyajian, dan (5) dianalisis berdasarkan penajaman.


DAFTAR RUJUKAN
Alwasilah, A. C. 2000. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Bruder, M. N. 1978. Evaluation of Foreign Language Textbooks: A Simplified Procedure. Termuat dalam Madsen dan Bowen (1978).
Chamisijatin, L. 1996. Penyusunan Buku pelajaran (Buku Teks). Alternatif: Jurnal Pemikiran Pendidikan, IV (8): 60–66.
Calahan, J. F. dan Clark, L. H. 1997. Teaching in The Middle and Secondary Schools: Planning for Competence. New York: McMilan Publishing Company Inc.
Degeng, I. N. S. 1988. Pengorganisasian Pengajaran Berdasarkan Teori Elaborasi dan Pengaruhnya terhadap Perolehan Belajar Verbal dan Konsep. Disertasi tidak Diterbitkan. Malang: PPS IKIP Malang.
Dick, W. and Carey, L. 1990. The Systematic Design of Instruction (Secong Edition). London: Scoot, Foresman and Company.
Ghofur, S.A. 19 Februari, 2006. Buku Pelajaran Bermutu. Jawa Pos, hlm. 9.
Gopinathan, S. 1997. Cross-Cultural Transfer of Print Media. Dalam R. Murray Thomas dan Victor Kobayanhi (Eds.). Educational Technology: Its Creation, Development and Cross-Cultural Transfer. Oxford: Pergamon Press.
Hernowo, 2005. Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Membuat Buku: Buku Pengayaan untuk Guru. Bandung: MLC.
Hilferty, A. 1978. Adapting Materials In Context. Termuat dalam Madsen dan Bowen. 1978. Adaptation in Language Teaching. Massachuset: Newburry House Publisher Inc.
Husen, A., dkk. 1998. Telaah Kurikulum dan Buku Teks. Jakrta: Depdikbud.
Ibrahim, 1983. Masalah Penyusunan Buku Teks. Warta Scientia, Desember, hal. 37.
Ibrahim, A. S. 1994. Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya: Usaha Nasional.
Kazlow, 1980. “Advance Organizer Research.” Evaluation in Education. Vol. 4 (1): hal. 47–48.
Maman, 2006. Tugas-Tugas Pembelajaran dalam Buku Teks Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP di Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat. TESIS. Universitas Negeri Malang.
Kizilirmak, S. 1991. An Integrated Approach to Textbook Evaluation. Majalah Forum. No. 1/XXIX.
Mackey, W. F. 1969. Language Teaching Analysis. London: Longmans, Green and Co. Ltd.
McKean, R. C. 1962. Principles and Methods in Secondary Education. Columbus Charles E. Merril Books.
Massigitp. 1999. Resolusi Buku. Buletin Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, No. 05, November, hal. 34–35.
Mulyasa E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: Rosdakarya.
Nunan, D. 1993. Designing Tasks for Communicative Calssroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Nunan, D. 1999. Second Language Teaching & Learning. New York: Newbury House.
Nurhadi. 2005. Kurikulum 2004: Pertanyaan & Jawaban. Jakarta: Grasindo.
Nurhadi. Yasin, B. dan Senduk, A. G. 2004. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang.
Nurhadi. 1999. Tata Bahasa Pedagogis Bahasa Indonesia dalam Pengajaran Bahasa Indonesia. Disertasi Tidak Diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.
Nurhadi, 1995. Tata Bahasa Pendidikan: Landasan Penyusunan Buku Pelajaran Bahasa. Semarang: IKIP Semarang Press.
Orstein, A. C. 1990. Strategies for Effective Teaching. New York: Harper Collins Publishers.
Pakar, D. 2005. Bagaimana dan Mengapa Penerbitan Buku: Pengantar Ihwal Penerbitan. Jakarta: IKAPI DKI Jakarta.
Parera, J. D. 2000. Keberbahasaan dan Kepenulisan Bahasa Indonesia untuk Penulis dan Penyunting Buku Pelajaran. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.
Pophan,, J. W. 1981. Modern Educational Measurement. New Jersey: Printice-Hall, Inc Englowood Cliffs.
Purwanto, E. 1999. Kajian Kurikulum dan Buku Teks. Malang: FPIPS IKIP Malang.
Soepena, Ps. 1997. Bagaimana Buku Mampu Bertahan sampai Abad Komputer? Buletin Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, No. 03 Juli, hal 31–33.
Suhardi, A. 2005. Pengembangan Perangkat Pembelajaran dengan Sistem Multimedia. Tesis Tidak Diterbitkan. Malang: PPS UM.
Suhardjono. 1989. Makalah Kongres II IPTPI dan Seminar Nasional Teknologi Pendidikan “Pengorganisasian Pengajaran Berdasarkan Teori Elaborasi”. Malang: IKIP.
Suparman, A. 1991. Desain Instruksional. Jakarta: Depdikbud Universitas Terbuka.
Suyanto, K. K. E. Sukarnyana, I. W. Susilo, G. H. dan Sungkowo, B. T. 2000. Keefektifan Penggunaan Buku Pelajaran SLTP. Laporan Penelitian. Tidak Diterbitkan. Malang: Pusat Penelitian Pendidikan Dasar dan Menengah Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang.
Tarigan, Henry Guntur, dan Djago Tarigan. 1989. Telaah Buku Teks Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Hendry Guntur. 1989. Kompetensi Kebahasaan. Jakarta: P2LPTK Depdikbud.
Tillena, H. 1983. Webteaching: “Sequencing of Subject Matter in Relation to Prior Knowledge of Pupil.” Instructional Science. Vol. 12, hal. 321–332.
Tucker, C. Allen. 1978. Evaluating Beginning Textbooks. Termuat dalam Madsen dan Bowen (1978).
Widhiyanto, G. 1997. Informasi Buku dan Perbukuan. Majalah Ilmiah Kampus Ungu, Maret, hal. 98–104.