Minggu, 13 Desember 2015

KEMBALIKAN ROH UJIAN NASIONAL


Topik ini terinspirasi ketika Mendiknas menetapkan UN sebagai salah satu upaya pemetaan (kualitas) pendidikan nasional dan bukan sebagai penentu kelulusan. Ihwal UN sebelum ini telah membuahkan polemik yang tidak jelas ujung-pangkalnya, dan telah banyak menyita perhatian berbagai elemen sehingga menjadi bahan perdebatan dalam berbagai media, termasuk disaluran televisi nasional. Sejak 2010 Penulis mencoba mengeritik dengan berbagai argumen yang disertai data akademik dan filosofi, baik melalui media masa, jejaring sosial, maupun secara langsung ke akun Depdiknas saat itu, agar Ujian Nasional (UN) dikembalikan ke roh awalnya yakni sebagai pemetaan pendidikan nasional. Ternyata, dipenghujung tahun pembelajaran 2015/2016 barulah separuh obsesi itu terkabulkan.
Dianutnya Ujian Nasional (UN) yang bukan sebagai penentu kelulusan pun masih tidak dapat memotret kualitas pendidikan nasional, karena diganjal oleh keterlibatan Nilai Rata-Rata Laporan Hasil Belajar Siswa (NR-LHBS) pada semester tertentu dalam menghitung Nilai Akhir (NA) UN. Dengan formula ini justru membuka peluang munculnya subjektifitas dalam memberi nilai. Berdasarkan paradigma ini maka upaya pengembalian UN ke roh awalnya belum terpenuhi. 
UN sebagai penentu kelulusan telah menimbulkan berbagai polemik pada tataran sekolah sudah berlangsung setengah dekade. Kini guru mulai ‘separuh’ lega dengan pola baru yang dianut UN 2015. Hal ini terjadi karena sebagian hak kemerdekaan guru telah digaet oleh pengambil kebijakan ditingkat pusat. Betapa tidak, mereka yang mengajar, membimbing, dan mendidik, tiba-tiba nasib anak-anak mereka di eksekusi oleh pihak lain. Padahal yang tahu betul tentang siswa di Bima ialah guru di Bima, bukan orang Jakarta. Karena sebagian hak mereka dipasung, maka muncul kekecewaan yang diwujudkannya dalam berbagai bentuk, seperti malas bertugas, mengajar apa adanya, tidak kreatif, tidak inovatif, dan administrasi pembelajaran pun sekedar formalitas. Ketika waktu UN tiba, muncullah kerisauan yang tak terbendung. Kondisi ini diperparah lagi oleh diterapkannya UU Sertifikasi Guru yang telah menimbulkan kecemburuan sosial dan konflik interest antar oknum guru di berbagai sekolah dan daerah.
Masih terngiang dalam ingatan kita, ketika pelaksanaan EBTANAS pada kisaran tahun 1987. Semua telah terjadi secara murni dan konsekuen yang dibuktikan dengan lahirnya lembaran “Daftar Hasil Evaluasi Belajar Tahap Akhir Murni” yang kerap disebut NEM sebagai legalitas autentik yang tidak diragukan reliabilitas dan validitasnya. Siswa serius belajar untuk mendulang nilai setinggi-tingginya saat itu, gurupun serentak mengayomi siswanya untuk dapat menjawab soal (bukan membantu menjawab soal) dengan berbagai kegiatan akademik sehingga hasilnya benar-benar ‘murni’.
Tidak ada kerisauan yang berlebihan bagi pelaku/pengelola sekolah saat itu. Sekolah yang mendapat rerata NEM dibawah titik ideal akan mendapat stimulan sarana/prasarana dan peningkatan kompetensi guru dalam meraih kesejajaran kualitas dengan sekolah lain. Semua itu telah pupus dilanda paradigma kekinian yang kadang sulit diproteksi. Tidaklah perlu gelengkan kepala untuk memikirkan berita kebocoran naskah soal dan sulap-menyulap siswa dalam menjawab soal UN yang acapkali ditabirkan oleh berbagai media yang terjadi di sebagian daerah di republik ini. Di sisi lain, dengan kepengawasan yang super ketat, masih juga ada berita di TV, perihal siswa yang menyontek saat ujian. Berdasarkan literatur yang penulis telaah, di sebagian wilayah Negara Jepang, Cina, dan Australia sudah lama melaksanakan ujian tanpa pengawas ruang, begitu kejujuran dan kualitas ujian dijunjung tinggi di sana. Jika ternyata masih terjadi kebocoran soal, contek-menyontek di UN kita, telah memberikan sinyalemen bahwa ada yang salah di pendidikan kita. Tetapi mencari siapa yang salah tidak penting. Yang penting ialah apa yang salah dan kemudian secara berkolaborasi kita urai pelan dengan menggunakan pola pikir ilmiah.
Jika ditilik secara etimologi, tampaknya hasil UN saat ini tidak diharapkan untuk mendapatkan nilai murni, seperti yang lakoni era ’87-an. Buktinya, hasil UN sekarang diwujudkan dalam bentuk Sertifikat Hasil Ujian Nasional (SHUN) sebagai pengganti Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN) yang telah diberlakukan beberapa tahun terakhir. Kedua penyingkatan inipun sama substansinya, karena kata ‘Sertifikat’ bermakna surat keterangan. Tidak ada kata murni sebagai bentuk kemurnian pelaksanaan ujian. Ketidakmurnian ini diprediksi karena masih melibatkan NR-LHBS dalam formula penentuan hasil UN sehingga berpeluang untuk subjektivitas dalam nilai. Sehingga SKHUN tidak laik sebagai syarat melanjutkan pendidikan yang setingkat lebih tinggi. Uji kelaikkan ini dapat diruntut pada linearitas antara Nilai LHBS pada Form NS, Asli Nilai LHBS, dan Nilai pada Buku Induk Siswa.
            Tidak sedikit pembaca mengkritisi tulisan penulis sejenis ini dengan kalimat bahwa penulis bermain teoretis. Mereka (kritikus) tidak sadar bahwa orang bisa naik sepeda (praktik) karena telah belajar naik sepeda (teori). Semua hanya akan menjadi sia-sia jika tindakan tidak didasari teori walau konsep otodidak sekalipun. Memang banyak yang aneh di bumi ini. Ketika muncul K-13 banyak oknum teriak “Bubarkan K-13” seakan-akan K-13 itu teroris.
Berdasarkan pemikiran di depan maka solusi yang ditawarkan sebagai bahan renungan semua komponen yang berkepentingan pada pendidikan ialah kembalikan UN ke roh dan tujuan semula dengan tidak melibatkan NR-LHBS dalam menetapkan NA-UN berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan tanggapan Anda di sini!