Rasional
Hembusan angin reformasi yang bergulir kencang sejak reformasi tahun 1998 terus mengalir dan menyebabkan perubahan-perubahan di segala lini kehidupan bangsa Indonesia. Di antara perubahan-perubahan yang terjadi ialah perubahan konsep dari sistem pemerintahan sentralisasi menjadi sistem desentralisasi. Keinginan masyarakat terhadap sistem desentralisasi, dilandasi kenyataan bahwa keputusan pemerintah pusat acapkali tidak menyentuh kepentingan masyarakat yang berada di daerah. Selain itu, pemerintah daerah tidak ubahnya sebagai pesuruh pemerintah pusat. Hal ini harus segera dikebumikan.
Meskipun pada awalnya pemerintah pusat berdalih bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) di daerah ’belum’ siap melaksanakan pemerintahan dengan sistem desentralisasi, namun akhirnya terwujud pula dengan dilegitimasinya melalui UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menjelaskan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pusat ke daerah otonom dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kabupaten/Kota diberi kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Tatatanan pelaksanaan pemerintahan diubah. Dalam konsep otonomi daerah, semua unsur harus berperan aktif baik masyarakat maupun pemerintah daerah dalam ikhtiar menuju Indonesia yang makmur, berkeadilan, dan sejahtera.
Pembangunan nasional di bidang pendidikan merupakan usaha mencerdaskan bangsa dalam rangka meningkatkan kualitas manusia Indonesia dan mewujudkan manusia yang paripurna. Demikianlah rumusan tujuan pendidikan yang termaktub pada UU RI Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Namun, dalam beberapa tahun terakhir, fakta menunjukkan bahwa mutu pendidikan di Indonesia sungguh memprihatinkan. Anggaran pendidikannya hanya 20% dari APBN. Suatu angka yang sangat kecil dibandingkan dengan anggaran pendidikan di Malaysia, Singapore, Philipina, dan bahkan Vietnam yang relatif baru terlepas dari perang yang berkepanjangan dengan Amerika Serikat, yang rata-rata telah mencapai 30% dari APBN nya. Gaji guru-guru di Indonesia, bahkan terendah di Asia Pasifik, padahal guru merupakan ujung tombak pendidikan.
Sistem sentralisasi di bidang pendidikan dianggap salah satu ‘biang’ penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Betapa tidak, jalur birokrasi yang panjang dalam sistem sentralisasi, berakibat bahwa setiap keputusan oleh pemerintah pusat yang memerlukan waktu yang panjang, dan terkesan bertele-tele. Oleh karena itu, para pakar pendidikan berpendapat bahwa salah satu alternatif bentuk otonomi pendidikan adalah School Based Management atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Harapannya, keputusan tentang pendidikan yang tadinya dilakukan oleh pemerintah pusat, dapat dilakukan di sekolah masing-masing sebagai unit yang independen dan memiliki otonomi. Namun, istilah ‘independen’ bukan berarti bebas menentukan segala-galanya di bidang pendidikan tanpa memperhatikan kebijakan pendidikan di tingkat pusat.
Otonomi Pendidikan Era Otonomi Daerah
Merujuk UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 1 dijelaskan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan itu meliputi bidang penyelenggaraan pemerintahan, keuangan, serta perimbangan antara pemerintahan daerah dan pemerintahan pusat. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan NKRI.
Berawal dari otonomi daerah tersebut, maka lahirlah UU Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Kemudian masih disusul oleh lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah Daerah/Kota sebagai daerah otonom, dan juga kewenangan Provinsi. Setelah itu, untuk mendukung produk-produk hukum tersebut, masih diterbitkan Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri. Semuanya itu menjadi dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah.
Dengan adanya otonomi daerah bukan berarti pemerintah daerah boleh memungut dana dari masyarakat sebebasnya, tetapi yang harus dilakukan adalah mengefisienkan pemakaian penghasilan daerah yang ada. Selain itu, untuk meningkatkan penghasilan daerah, pemungutan pajak dan retribusi yang sudah berlaku perlu ditingkatkan terus dan diefektifkan pelaksanaannya.
Di bidang kepegawaian dan organisasi, pemerintah kabupaten/kota dapat melaksanakan sesuai kebutuhan daerah masing-masing. Bahkan dalam mengangkat dan memberhentikan pegawai. Pemerintah daerah/kota memiliki kewenangan penuh, termasuk pemberian dan kenaikan pangkat bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD). Dengan otonomi daerah, keputusan dibuat sedekat mungkin dengan masyarakat yang membutuhkan. Konsekuensinya kesejahteraan rakyat dapat meningkat karena pengelolaan dana disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Berdasarkan uraian tersebut, pada hakikatnya otonomi daerah adalah perubahan struktur pemerintahan dari sistem sentralisasi menuju sistem desentralisasi. Pemerintahan sistem desentralisasi ini akan lebih memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah dan masyarakat setempat untuk mengembangkan daerah dalam konteks kebinekaan dan NKRI.
Selanjutnya, otonomi pendidikan adalah kewenangan yang diberikan sepenuhnya untuk mengelola organisasi pendidikan. Otonomi pendidikan diperlukan, agar dunia pendidikan independen, dan ‘tidak banyak’ mendapatkan campur tangan dari pihak-pihak lain. Adapun alasan diperlukannya otonomi pendidikan adalah
1. Keputusan oleh Departemen Pendidikan Nasional yang berkedudukan di Jakarta ada kecenderungan lambat, dan birokratis. Sementara di sisi lain, pihak dunia pendidikan di daerah menuntut perlakuan yang cepat, adil, dan tidak birokratis.
2. Organisasi pendidikan yang independen di daerah menjadi relatif lebih kecil, di banding organisasi pendidikan nasional sebelumnya yang mengelola keputusan pendidikan. Naisbitt (dalam Bafadal, 1999) menyebutkan, bahwa organisasi yang baik sekarang dan di masa yang akan datang adalah organisasi yang kecil, sehat, lincah, dan dinamis. Bukan organisasi yang besar, lamban, dan tidak lincah.
3. Dunia pendidikan mampu memahami kebutuhan di daerahnya, khususnya tentang budaya, sosial, ekonomi, agama, ras, dan etnik. Oleh karena terdapat perbedaan di bidang itu, pendidikan daerah akan mampu menyelaraskan kiprahnya sesuai situasi dan kondisi daerah masing-masing.
4. Keputusan dari pusat (Jakarta) tidak lagi dipandang arif dan bijak, karena seringkali semua daerah diperlakukan sama (virus keseragaman). Keputusan seperti itu, seringkali akan merugikan daerah-daerah, khususnya daerah yang tertinggal pendidikannya.
5. Karena segala sesuatunya diatur oleh pusat, pendidikan belum tampil optimal sebagaimana yang diharapkan masyarakat Indonesia.
Meski demikian, dalam rangka otonomi pendidikan, pendidikan di daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Sebagaimana disebutkan dalam UU Sisdiknas bahwa pendidikan di daerah harus mengacu pada Sisdiknas dalam hal jalur, jenis, jenjang pendidikan, kurikulum nasional, maupun evaluasi belajar yang bersifat nasional. Bahkan pasal 31 UUD 1945 (hasil amandemen 2002, ayat 3) dijelaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan imtaq, serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, daerah harus memahami –meskipun ada otonomi pendidikan– tidak berarti boleh bebas mengelola pendidikan di daerah masing-masing.
Meskipun hasil otonomi pendidikan di Indonesia belum tampak jelas, karena baru memasuki babak awal, tidak mustahil kejadian-kejadian di negara lain yang telah menerapkan otonomi pendidikan terlebih dulu, juga akan menimpa Indonesia, jika penanganannya tidak serius dan budaya korupsi tidak diberantas.
Di era otonomi pendidikan, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dianggap sebagai suatu model yang paling ideal. Oleh karena itu, pemerintah mensosialisasikan terus model tersebut, meskipun namanya agak berbeda, yaitu MPMBS, singkatan dari Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Maksudnya, dalam melaksanakan MBS, penekanannya adalah peningkatan mutu pendidikan. Untuk kepentingan tersebut, pemerintah telah mengucurkan dana pada sekolah-sekolah yang dijadikan model dan uji coba.
Terkait dengan itu, Slamet dkk. (2001), mengutarakan bahwa terjadi perubahan pada manajemen pendidikan dari pola lama menuju pola baru, misalnya dalam pengambilan keputusan tadinya terpusat, kini menjadi demokratis partisipatif. Selain itu, bila tadinya peraturan terkesan berlebih-lebihan, kini diadakan pengaturan kembali yang lebih luwes. Bila tadinya menghindari risiko, kini risiko yang ada dikelola sehingga dapat dikendalikan.
Manajemen Berbasis Sekolah
Menurut Mulyasa (2004), MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat), dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.
Pada MBS itu, sekolah dituntut secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggunjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Adapun tujuan MBS adalah untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Pengelolaan sekolah dilakukan secara jujur, terbuka, demokratis, dan melibatkan semua unsur yang ada di sekolah. Berikut berbagai jawaban dari pertanyaan ”Mengapa MBS perlu?”
1) Mengalihkan keputusan dari pusat maupun dinas pendidikan propinsi, maupun dinas pendidikan kabupaten/kota ke sekolah sebagai unit yang independen (otonomi);
2) Sekolah dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya;
3) Sekolah menjadi milik masyarakat yang peduli terhadap keberadaannya, serta dana dan penggunaannya.
Dalam konsep MBS ini, pemerintah pusat, tidak diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah. Pemerintah pusat hanya diperbolehkan dan dipersilahkan untuk memberikan kebijakan-kebijakan dalam persoalan tersebut, khususnya dalam bidang mutu dan pemerataan. MBS yang ditawarkan, merupakan suatu bentuk operasional otonomi pendidikan, yang akan memberikan wawasan baru terhadap sistem yang sedang berjalan selama ini. Karena siswa biasanya datang dari berbagai latar belakang dan tingkat sosial yang berbeda. Salah satu perhatian sekolah harus ditujukan pada asas pemerataan, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik (Mulyasa, 2004) . Di sisi lain, sekolah juga harus meningkatkan efisiensi, partisipasi, mutu, serta harus bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah.
Pemberian otonomi pendidikan yang luas pada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat, serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah, agar dapat mengakomodasikan seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif, untuk mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah.
MBS merupakan suatu manajemen terapan yang berorientasi pada pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan pada unit sekolah dengan melibatkan peranserta masyarakat secara aktif dengan komponen penyelenggara pendidikan. Karena pelibatan masyarakat secara aktif dalam pengelolaan pendidikan, maka yang bertanggung jawab pada dunia pendidikan bukan saja penyelenggaranya, tetapi juga masyarakat, di samping pemerintah tentunya. Dengan pelibatan masyarakat secara aktif, diharapkan mutu pendidikan dapat ditingkatkan. Bentuk kepedulian tersebut bukan saja dalam hal penggalian dana dan penggunaannya bagi sekolah, tetapi juga tentang kurikulum, ketenagaan, maupun mutu pendidikan. oleh karena itu, peran masyarakat dalam pendidikan semakin nyata dan penting.
Malen, Ogawa, dan Krans (dalam Duhou, 2002) mengemukanan bahwa MBS merupakan suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada retribusi kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana penting, sehingga peningkatan dapat didorong dan ditopang. Pengambilan keputusan di sekolah bukannya dilakukan oleh kepala sekolah secara mandiri, tetapi dilakukan secara demokratis dengan melibatkan secara aktif unsur guru, UPTD, siswa, orangtua siswa, dan masyarakat yang diwakili dalam keanggotaan Komite Sekolah. Kewenangan yang diberikan kepada masing-masing sekolah, diharapkan akan mengantarkan setiap sekolah menjadi mandiri, mengarahkan pengembangan, dan menyesuaikan secepatnya terhadap lingkungan masyarakat, khususnya dalam hal perubahan yang terjadi.
Sekolah swasta, yang telah menerapkan konsep MBS sejak lama (tidak semua sekolah swasta) pada umumnya memiliki manajemen sekolah yang baik, dan akan mampu bertahan dalam persaingan pendidikan di daerah masing-masing. Karakteristik juga terlihat pada sekolah yang menerapkan MBS, yaitu senantiasa memiliki mutu yang relatif "baik."
Menurut Duhou (2002) dan Umaedi (1999), unsur-unsur yang termasuk didesentralisasikan dalam MBS adalah: (a) pengetahuan (kurikulum, tujuan, dan sasaran pendidikan) (b) teknologi (mengenai sarana/prasarana pembelajaran); (c) kekuasaan/power (kewenangan dalam pembuatan keputusan) ; (d) material (fasilitas, sekolah); (e) manusia (pengembangan profesionalis; (f) waktu (keputusan mengenai alokasi waktu; (g) keuangan (penggalian, pengelolaan, dan penggunaan uang). Dengan didesentralisasikannya butir-butir tersebut, maka sebagian besar kewenangan yang tadinya berada di pusat (Jakarta), kini beralih ke daerah otonom.
Menurut Samani (1999), Umaedi (1999) dan Duhou (2002) kelebihan MBS dapat dijelaskan berikut:
1) Kebijakan pendidikan dapat dirancang di sekolah, disesuaikan dengan kondisi serta kemampuan SDM yang ada. Dengan demikian, tujuan sekolah dapat dicapai secara efisien dan efektif;
2) Sekolah dapat secara bebas menggali dana masyarakat, serta melakukan kerja sama dengan pihak lain tanpa terikat peraturan yang ketat, yang pada masa sebelumnya merupakan kendala. Pihak luar lebih bersedia untuk menggalang kerja sama dengan sekolah, karena terbebas dari campur tangan pemerintah;
3) Sekolah dapat melakukan akuntabilitas secara mantap, yaitu berupa pertanggungjawaban pelaksanaan pendidikan terhadap para penyandang dana, khususnya pada masyarakat dan stake holder.
4) Sekolah dapat dikelola secara unik, sesuai dengan lingkungan sosial sekolah dan dapat tumbuh sesuai dengan keunikan daerah masing-masing.
5) Sekolah beserta lingkungannya dianggap sebagai suatu yang unit dalam hal perencanaan, pengambilan keputusan, dan manajemen yang mandiri, bukan sekedar pelaksana dari program standar yang dirancang dari atas.
6) Sekolah sebagai unit utama peningkatan mutu pendidikan, diperkirakan akan dapat memberikan kontribusi terhadap seluruh unsur pengelola pendidikan, yaitu kepala sekolah, guru, dan UPTD untuk bertindak lebih profesional.
7) Sekolah, sebagai institusi penyedia layanan jasa pendidikan tidak lagi dapat dipandang sebagai komponen tunggal yang terpisah dari harapan atau aspirasi masyarakat sebagai pelanggan jasa pendidikan.
8) Sekolah merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat, sehingga dalam pengelolaan sekolah, unsur masyarakat harus diikutsertakan secara aktif.
Berkenaan dengan kelebihan-kelebihan MBS, dapat diutarakan, bila TPK masih kurang memiliki kompetensi yang memadai, adalah kewajiban sekolah untuk meningkatkannya melalui pendidikan formal, penataran, pelatihan, lokakarya, studi banding, dan sebagainya. Karena lingkungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari organisasi sekolah, maka sudah selayaknyalah dalam merancang kegiatan sekolah juga mempertimbangkan kondisi lingkungannya. Sekolah merupakan institusi yang paling tahu dan memiliki data paling akurat tentang sekolah dan lingkungannya.
Dalam merancang kegiatan di sekolah, seyogyanya masyarakat, khususnya yang mewakili dalam Komite Sekolah, benar-benar dapat berperan aktif, sehingga perannya dapat menyumbang terhadap mutu pendidikan. Hubungan antara sekolah dan masyarakat dikelola secara baik, dan dapat saling memberikan manfaat. Tentang pelaksanaan MBS, Iswanto (1999) menambahkan, bahwa dalam pelaksanannya, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian, antara lain:
1) Sekolah harus mampu mengelola sumber daya secara transparan, demokratis, tanpa monopoli, dan bertanggung jawab terhadap masyarakat dan pemerintah;
2) Pemerintah berhak merumuskan kebijakan-kebijakan yang menjadi prioritas nasional, serta menetapkan pedoman umum tentang pelaksanaan MBS;
3) Dibentuk komite sekolah, yang terdiri atas orangtua dan masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam keputusan sekolah.
4) MBS menuntut perubahan tingkah laku kepala sekolah, guru, dan UPTD dalam pengoperasian sekolah. Mereka harus profesional.
5) Untuk mendapatkan SDM yang profesional diperlukan training, retraining, pusat pengembangan profesi, serta pemasyarakatan MBS.
Pendidikan merupakan jasa yang ditawarkan kepada masyarakat. Bila masyarakat menghendaki layanan pendidikan dengan mutu yang baik, maka masyarakat harus bersedia memberikan imbalan (dana) yang sesuai dengan layanan pendidikan. Guru dan UPTD sekolah adalah tenaga profesional, yaitu memiliki keahlian yang diperoleh dari pendidikan formal yang memerlukan waktu yang cukup panjang, dan senantiasa diperbarui melalui penataran, pelatihan, seminar, dan kegiatan ilmiah lainnya. Oleh karena itu, kepadanya patut diberikan imbal jasa yang pantas agar bisa hidup dengan layak di tengah-tengah masyarakat.
Evaluasi MBS
Pemerintah, telah mengujicobakan MBS pada beberapa sekolah untuk dijadikan sekolah percobaan. Program pemerintah tersebut dinamakan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Penelitian-penelitian tentang MBS telah dilakukan oleh beberapa peneliti, di antaranya dilakukan Nasip (2004) terhadap 3 SMPN Rintisan di Kabupaten Lombok Tengah, NTB. Temuan-temuan yang diperoleh dari penelitian tersebut antara lain:
1) Ada beberapa langkah yang dilakukan sekolah dalam menyusun program dan rencana anggaran yaitu: (a) menyusun visi, misi, dan tujuan sekolah; (b) mengidentifikasi tantangan nyata; c) menentukan sasaran; d) mengidentifikasi fungsi-fungsi; (e) melakukan analisis SWOT; (f) menentukan alternatif langkah pemecahan persoalan, dan RKAS. Pihak yang terlibat dalam penyusunan RKAS. adalah Kepala Sekolah, Wakasek/Urusan, wakil guru (guru senior), dari berbagai matapelajaran, dan wakil UPTD.
2) Ada empat upaya yang dilakukan sekolah berkaitan dengan pelaksanaan program kerja MPMBS yaitu: (a) memotivasi warga sekolah dengan cara memberikan insentif, menghargai hasil kerja, melibatkan pada berbagai kegiatan agar mereka terdorong untuk bekerja secara optimal; (b) menjalin hubungan kerja sama antarwarga sekolah dan masyarakat agar tercipta rasa saling pengertian dan tanggung jawab dalam meningkatkan mutu pendidikan; (c) kepala sekolah melakukan supervisi kepada para guru dan staf UPTD dengan cara observasi dan kunjungan kelas serta melalui rapat guru. Tujuannya adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja para guru dan staf UPTD, dan (d) pemantauan dan evaluasi baik secara langsung oleh Kepala Sekolah maupun oleh Wakil Kepala Sekolah agar program kerja dapat berjalan sesuai rencana.
3) Implementasi program MPMBS pada sekolah-sekolah yang diteliti mempunyai dampak positif pada: (a) pengelolaan pembelajaran yang lebih aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan; (b) adanya perencanaan yang partisipatif dan keberanian mengevaluasi diri; (c) adanya diversifikasi pengelolaan kurikulum; (d) adanya kemandirian dalam pengelolaan ketenagaan; (e) pengelolaan fasilitas yang lebih otonom; (f) pengelolaan keuangan menjadi lebih efektif dan transparan.
4) Implementasi program MPMBS pada sekolah-sekolah tersebut berpengaruh terhadap adanya peningkatan partisipasi orangtua dan masyarakat. Tumbuhnya partisipasi orangtua dan masyarakat sebagai buah dari keberanian sekolah-sekolah tersebut dalam membuka diri dan transparannya manajemen sekolah.
5) Sekolah-sekolah yang ber-MPMBS mendapat dukungan dari semua pihak terkait karena keputusan-keputusan sekolah rintisan diambilkan melalui proses yang bersifat partisipatif, artinya dalam membuat keputusan melibatkan pihak-pihak terkait.
6) Dalam implementasi program MPMBS pada sekolah-sekolah tersebut, terdapat faktor pendukung dan penghambat.
(1) Faktor pendukung: (a) jumlah guru sudah memadai; (b) motivasi yang tinggi dari guru, karyawan serta siswa untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah terlihat dari kedisiplinan mereka di dalam melaksanakan tugasnya; (c) Adanya dana CTL dari pemerintah; (d) adanya dukungan orangtua; (e) lokasi sekolah yang cukup strategis; (f) adanya jalinan komunikasi dan kerjasama semua komponen yang terlibat dalam pelaksanaan program kerja MPMBS khususnya koordinator program; (g) terbentuknya komite sekolah sebagai pengganti BP3 yang kepengurusan dan anggotanya lebih luas dan kualitas SDM-nya lebih baik (h) faktor kepemimpinan kepala sekolah yang baik serta tidak alergi dengan inovasi yang ada dalam perkembangan pendidikan.
(2) Faktor penghambat: (a) tingkat ekonomi sebagian siswa rendah; (b) kebiasaan siswa yang tidak tertib; (c) jarak rumah dengan sekolah sebagian siswa lumayan jauh; (d) sangat sulit untuk merubah pola pikir dari birokratik sentralistik menjadi otonomi dan partisipatif; (e) masih terjadinya perbedaan persepsi tentang konsep program MPMBS baik antara komponen yang ada di sekolah maupun antara sekolah dengan pemerintah dan masyarakat; (f) jumlah ruang kelas yang masih belum memadai sehingga proses pembelajaran masih double shift.
9) Berbagai upaya yang dilakukan sekolah dalam mengatasi berbagai hambatan lebih diarahkan pada pemberdayaan warga sekolah dan masyarakat setempat. Dengan cara mengoptimalkan pemanfaatan sumber insani dan material yang ada. Selain itu, upaya yang dilakukan tidak hanya menyelesaikan masalah yang bersifat sesaat (jangka pendek), tetapi juga bersifat mencegah agar masalah tersebut tidak muncul kembali di masa yang akan datang (jangka panjang).
Gejala Penyimpangan Pelaksanaan MBS
Pada awal pelaksanaan MBS, pemerintah mengujicobakan pada beberapa SMP, dengan mengucurkan dana untuk meningkatkan mutu pendidikan. Meskipun sebagian hasil ujicobanya bagus dan berhasil, namun Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan dampak negatif pada pelaksanaan MBS (JP, 21 Nop. 2003), antara lain adalah terjadinya otonomi korupsi di tingkat sekolah, pelakunya adalah kepala sekolah yang berkolusi dengan komite sekolah. Korupsi itu terjadi sebagai dampak dari besarnya hutang maupun hibah dari luar negeri. Sebagaimana diketahui, dunia pendidikan kita mendapatkan kucuran dana yang besar untuk melakukan reformasi di bidang pendidikan. Seharusnya, dana yang diterima diefektifkan pemakaiannya oleh sekolah.
Di sisi lain, ternyata guru dan masyarakat masih banyak yang belum tahu atau paham tentang MBS, padahal mereka adalah ujung tombak pendidikan. Menghadapi fakta ini, seyogyanya pemerintah, terutama pihak sekolah secepatnya turun tangan untuk mensosialisasikan MBS kepada masyarakat luas, khususnya kepada para guru sebagai pelaksana pendidikan yang berada di garis depan, yang berhadapan langsung dengan siswa.
Komite sekolah muncul bukan karena kebutuhan masyarakat, tetapi kewajiban yang ditekankan pemerintah pada sekolah. Bahkan jalan pintasnya, BP3 yang mewakili orangtua siswa, namanya langsung dirubah menjadi Komite Sekolah. Benar-benar langkah yang praktis dan ekonomis, tetapi tidak menggambarkan kreativitas yang mengarah pada perbaikan mutu pendidikan. Fenomena seperti itu tampaknya masih dapat disalahpersepsikan, sebagai salah satu bentuk campur tangan pemerintah terhadap manajemen sekolah.
Penelitian tentang MBS juga dilakukan di beberapa negara lain oleh Fiske, 1996 (dalam Supriyadi, 2003) , tetapi hasilnya juga tidak memuaskan. Misalnya saja yang ditemukan di Argentina, Colombia, Meksiko, dan Tansania, hasilnya benar-benar tidak menggembirakan. Temuan penelitiannya menunjukkan bahwa tidak terbukti adanya akumulasi meningkatnya sumber daya pendidikan, yang digali dari masyarakat dan pemerintah daerah. Hasil desentralisasi dan sentralisasi pendidikan tidak berbeda. Bahkan, di Chili, dampak desentralisasi pendidikan ini menunjukkan mutu pendidikan malah menurun 14% untuk bahasa Spanyol, dan 6% untuk Matematika. Kesenjangan mutu antar sekolah semakin melebar. Hal sejenis juga terjadi di Tansania, dan di sekolah-sekolah Amerika (Carnoy, 1993).
Karena pengelolaan MBS yang diduga menyimpang, di Pilipina misalnya, desentralisasi di bidang pendidikan diikuti dengan sangsi yang berat terhadap setiap pelanggaran dalam pengelolaan pendidikan, khususnya dalam penggunaan dana. Kini Indonesia tengah meniru langkah Philipina, dengan menghukum seberat-beratnya para pelaksana pendidikan, terutama Kepala Sekolah yang menyelewengkan dana dan tidak mempertanggungjawabkan secara layak.
Penutup
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan salah satu alternatif yang dianggap terbaik dalam rangka pelaksanaan otonomi pendidikan. Keputusan untuk sekolah dilakukan oleh sekolah dengan melibatkan semua pihak yang ada di sekolah serta mereka yang berkepentingan dengan sekolah, secara demokratis.
Otonomi daerah diharapkan dapat menghembuskan angin segar bagi terlaksananya otonomi pendidikan di sekolah. Selain itu, pemerintah kabupaten/kota diharapkan terus dan terus menyisihkan dan menambah APBD-nya dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Bagi para pelanggar aturan, baik dalam rangka otonomi daerah maupun otonomi pendidikan, harus dikenakan sanksi yang sesuai dengan pelanggarannya. Intinya, dalam era reformasi ini, unsur-unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dikikis habis, agar tidak merugikan rakyat banyak.
Otonomi pendidikan tidak selalu berdampak positif, karena itu semua komponen yang terlibat dalam kegiatan otonomi pendidikan harus bekerja keras dan serius, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Beberapa negara lain tidak berhasil dalam menyelenggarakan otonomi pendidikan, sehingga hasilnya tidak memuaskan. Indonesia harus berusaha agar kegagalan MBS di negara-negara lain tidak terulang di dunia pendidikan kita.
Dalam mensosialisasikan program MPMBS hendaknya menggunakan berbagai media seperti surat kabar, buletin sekolah, bahkan tidak menutup kemungkinan melalui media elektronik (televisi, radio, internet).
Dalam meningkatkan kualitas SDM, hendaknya tidak hanya ditujukan kepada guru, tetapi juga tenaga kependidikan. Upaya pengembangan tersebut tidak hanya mengandalkan melalui pendidikan formal dan penataran tetapi sekolah harus mampu membuat program kegiatan pengembangan yang dilaksanakan di sekolah, seperti mengadakan seminar, lokakarya, penelitian, peningkatan kegiatan MGMP, dan lain-lain.
Kepala Sekolah harus lebih memberi kepercayaan kepada bawahannya untuk melakukan perubahan- perubahan (pembaharuan yang inovatif) . Terkait dengan ini, guru harus berani melakukan terobosan-terobosan baru seperti menerapkan berbagai pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran terkini.
Untuk mencukupi kebutuhan dana, sekolah harus pandai menggali dana dari berbagai sumber yaitu dari pemerintah, orangtua siswa, maupun masyarakat. Upaya yang dilakukan tidak hanya mengandalkan dari pemberian bantuan, akan tetapi lebih dari itu, sekolah harus mampu berwirausaha seperti membuka koperasi sekolah, toko, wartel, menyewakan gedung dan halaman untuk kepentingan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Duhou, Ibtisan Abu. 2002. School Based Management. Logos. Jakarta.
Iswanto, Budi. 1999. Otonomi Daerah, implikasi Bagi Pengelolaan Pendidikan. Universitas Negeri Malang.
Depdiknas. 2003. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional & PP 61 tahun 1999. Citra Umbara. Bandung.
Bafadal, Ibrahim. 1999. Otonorni Daerah Di Bidang Pendidikan: Mereka Formula, Dampak, Masalah, dan Solusinya Menuju Penyelenggaraan Pendidikan yang Lebih Baik. Universitas Negeri Malang.
Samani, Muchlas. 1999. School Based Management: Strategi Pemberdayaan Sekolah Dalam Kerangka Desentralisasi Pendidikan Menuju Pendidikan yang Berkualitas. Universitas Negeri Malang.
Mulyasa, E. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Nasip. 2004. Implementasi Program Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) Pada SMPN Rintisan di Kabupaten Lombok Tengah. Tesis S-2 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana, UNESA.
Redaksi. 2003. Dampak Negatif Pelaksanaan MBS.11 Jawa Poss, 21 Nopember.
Hamijoyo, Santosa S. 1999. Pola 0tonomi Daerah yang efektif dan Efisien untuk
Diimplementasikan dalam Bidang Pendidikan.Universitas Negeri Malang.
Slamet, dkk. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 1: Konsep dan Pelaksanaan. Depdiknas, Ditjen Dikdasmen, Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Jakarta.
Umaedi. 1999. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Depdikbud. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan tanggapan Anda di sini!