Senin, 30 Mei 2011

Telaah Buku Teks Bahasa Indonesia

 A.    Hakikat Buku Teks

Buku teks berasal dari istilah text book dalam bahasa Inggris yang oleh Encols dan Sadily (dalam Tarigan, 1990: 11) diterjemahkan sebagai buku pelajaran. Buku teks dalam hal ini mencakup semua jenis buku yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan proses pembelajaran. Keluasan konsep tersebut meliputi buku Tatabahasa Ilmiah, buku Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia, buku Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan lain sebagainya. Menurut Gopinathan (1997) buku teks adalah suatu organisasi isi yang dipilih, diatur, dan disederhanakan sehingga sesuai untuk dijadikan bahan pembelajaran.
Bacon (dalam Husen, 1996: 178) secara lebih jelas mengemukakan bahwa buku teks adalah buku yang dirancang untuk penggunaan di kelas, disusun dan disiapkan dengan cermat oleh para pakar atau para ahli dalam bidang itu, dan dilengkapi dengan sarana-sarana pembelajaran yang sesuai dan serasi. Senada dengan itu, Widhiyanto (1997: 100) mengemukakan bahwa buku teks adalah buku yang digunakan sebagai sumber dalam proses belajar (learning) dan pembelajaran (instruction) dalam konteks pendidikan. Lebih lanjut, Widhiyanto menyebutkan bahwa di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, buku teks dapat digolongkan ke dalam empat macam, yaitu buku teks utama, buku teks pelengkap, buku bacaan, dan buku sumber.
Berdasarkan uraian di atas, maka buku teks dapat didefinisikan secara lebih lengkap sebagai buku yang isinya berkaitan dengan mata pelajaran tertentu yang ditujukan bagi siswa pada jenjang pendidikan tertentu yang dirancang secara cermat oleh pakar buku teks untuk keperluan praktis dalam proses pembelajaran dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan.
B.     Komponen Buku Teks
Keberadaan beberapa komponen buku teks dimaksudkan untuk memberikan kemudahan belajar bagi siswa sehingga dapat meningkatkan perolehan hasil belajar siswa. Komponen buku teks yang dimaksud, seperti petunjuk, tujuan pembelajaran,  isi (materi) ajaran, latihan, dan rangkuman (Dick dan Carey, 1990; Suparman, 1991). Senada dengan itu, Suhardi (2005: 44) mengemukakan empat komponen utama buku teks yaitu tujuan, isi (materi), rangkuman, dan evaluasi.
Pencatuman komponen tujuan pembelajaran pada setiap buku teks dimaksudkan untuk menginformasikan apa yang harus dicapai oleh siswa setelah proses pembelajaran berlangsung. Chamisijatin (1996: 61) menegaskan bahwa pencantuman deskripsi kompetensi dan hasil belajar secara eksplisit dalam buku teks sangat penting karena akan memberikan petunjuk dalam memilih materi pembelajaran, penstrukturan belajar, dan menjadi referensi dalam mengembangkan instrumen evaluasi. Selain itu, dengan kehadiran deskripsi kompetensi dan hasil belajar secara eksplisit paling tidak akan menjawab pertanyaan "apa yang diharapkan kepada siswa setelah mempelajari buku teks ini?"
Deskripsi hasil belajar merupakan pernyataan mengenai hal-hal yang ingin dicapai setelah kegiatan pembelajaran berlangsung. Rumusan deskripsi dann hasil belajar tersebut merupakan dasar pemilihan isi (materi), penataan kegiatan pembelajaran, dan penyajian materi pembelajaran serta evaluasi. Sasaran akhirnya adalah tercapainya tujuan pembelajaran, yaitu siswa mampu menampilkan perilaku seperti diuraikan dalam deskripsi kompetensi dan hasil belajar yang akan dicapai (Degeng, 1988).
Isi (materi) merupakan kerangka atau urutan isi pembelajaran mulai dari bentuk yang paling sederhana sampai kepada bentuk yang kompleks sebagai suatu kegiatan atau aktivitas pembelajaran. Isi (materi) ditampilkan pada tingkat aplikasi, kongkrit, dan bermakna dengan menggunakan dialog, gambar atau bagan. Penataan urutan isi (materi) ajaran dalam buku teks akan memberikan pemahaman pada setiap peristiwa belajar (Tillena, 1983). Penataan urutan isi (materi) ajaran akan membantu mengembangkan kompetensi, hirarki belajar, dan alih belajar yang lebih baik sehingga akan memberikan kemudahan belajar bagi siswa (Kazlow, 1980). Sehubungan dengan itu, Kemp (1985: 58) mengemukakan bahwa proses dan hasil pembelajaran dapat meningkat jika isi (materi) ajaran diorganisasi menjadi urutan-urutan yang bermakna.
Komponen rangkuman merupakan upaya yang ditempuh penulis buku teks untuk meninjau kembali terhadap apa yang telah dipelajari, sehingga siswa dapat mempertahankan retensi. Rangkuman memberikan pernyataan singkat mengenai isi (materi) yang telah dipelajari (Suhardjono, 1992). Dalam buku teks, rangkuman berisi ide-ide pokok yang merupakan tinjauan ulang terhadap uraian pembelajaran. Rangkuman tidak saja untuk memperkuat ingatan tetapi juga sebagai pendalaman bagi siswa terhadap apa yang telah dipelajari. Tampaknya, penyajian rangkuman dalam buku teks sangat diperlukan karena merupakan upaya memberikan pengekalan ingatan yang lebih baik bagi siswa. Oleh sebab itu, rangkuman dalam buku teks merupakan salah satu komponen yang dapat memberikan kemudahan belajar bagi siswa dan memudahkan siswa untuk mengingat kembali ide-ide pokok isi (materi) pembelajaran.
Komponen evaluasi (penajaman) dimaksudkan sebagai umpan balik bagi guru agar dapat memahami kelemahan dan kelebihan proses pembelajaran, sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam meningkatkan proses pembelajaran. Bentuk evaluasi dalam buku teks hendaknya disesuaikan dengan tingkat kesulitan deskripsi kompetensi dan hasil belajar. Pophan (1981: 86) mengemukakan bahwa jumlah butir pertanyaan sebagai evaluasi dalam buku teks hendaknya representatif dan memuat perilaku siswa pada ranah tertentu berdasarkan deskripsi kompetensi dan hasil belajar.
Komponen isi (materi) tersebut di atas, oleh Nunan (1993: 47) menyebutnya sebagai TTP yang terdiri atas lima subkomponen, yaitu (1) tujuan, (2) masukan bahasa, (3) kegiatan atau aktivitas, (4) peran guru dan siswa (role), dan (5) setting. Masing-masing komponen tersebut setidaknya menjawab pertanyaan berikut.
Komponen tujuan menjawab pertanyaan dasar: melalui buku teks harapan apa yang ingin dicapai oleh siswa? Misalnya penulis buku teks menjawab dengan pernyataan Saya ingin mengembangkan keterampilan berbicara siswa di depan umum; Saya ingin agar siswa dapat membuat surat pribadi dengan baik. Komponen masukan bahasa (input) merujuk pada pengertian data yang membentuk ‘titik berangkat’ sebuah buku teks. Pertanyaan yang mendasarinya adalah apakah masukan bahasanya? Apakah masukan bahasa itu autentik? Apakah cukup luas cakupan dan variasinya?.
Komponen kegiatan atau aktivitas berangkat dari pertanyaan: mana yang lebih utama, skill-getting ataukah skill-using? Kemana arahnya? Komponen role menjawab pertanyaan apakah yang diharapkan dari siswa dan guru untuk ikut ‘bermain’ dalam melaksanakan tugas/pelatihan? Peran apakah yang dipilih dan dimainkan sehingga seolah-olah interaksi sosial yang sebenarnya dapat berlangsung? Komponen setting  mengacu pada pertanyaan: dimanakah pelatihan dalam buku teks tersebut akan dilaksanakan? Ada dua pengertian setting yang di acu di sini, yaitu setting fisik seperti kelas, laboratorium, perjalanan ke toko buku, perpustakaan, atau ruang wawancara. Sedangkan setting sosial seperti pertemuan ramah-tamah, mewawancarai atau diwawancarai, transaksi jual-beli, atau meminta petunjuk.
Untuk mencapai hal-hal tersebut di atas, Maman, (2006: 33) mengemukakan bahwa dalam proses pembelajaran hendaknya terdapat pemodelan (modeling). Maksudnya, dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang dapat ditiru. Dalam buku teks, pemodelan dapat diwujudkan dalam bentuk contoh-contoh membuat kalimat yang benar, paragraf, membuat surat, membuat pengumuman, contoh dialog, contoh menggunakan bahasa yang baik dan benar, dan lain sebagainya.
Terkait dengan hal-hal tersebut, maka setiap buku teks hendaknya berbasis kompetensi. Artinya, isi buku teks dapat menunjang pencapaian kompetensi yang dipersyaratkan. Isi buku teks bukanlah sekedar sajian materi yang akan dibaca siswa, tetapi yang lebih utama adalah berisi skenario pembelajaran dalam bentuk pelatihan. Nurhadi (2005: 215) mengemukakan bahwa sebuah buku teks minimal berisi (1) kompetensi dasar yang akan dicapai dengan indikatornya, (2) pengantar tentang pentingnya menguasai kompetensi itu dalam konteks nyata, (3) materi pendukung pencapaian kompetensi, (4) kegiatan-kegiatan pembelajaran yang harus dilakukan oleh siswa berupa kegiatan bekerja kelompok untuk membuat sesuatu, kegiatan berlatih, kegiatan mengamati, kegiatan menampilkan, kegiatan mempraktikkan, dan lain sebagainya, (5) evaluasi kegiatan dan pencapaian kompetensi dasarnya, dan (6) tagihan atau produk yang dihasilkan seperti laporan, karya tulis, gambar, peta, bagan, uraian, dan benda-benda.
C.    Peran Buku Teks
Buku teks memegang peran penting bagi guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Bagi guru, buku teks merupakan sumber informasi yang dapat dijadikan pedoman mengajar. Bagi siswa, buku teks merupakan sumber belajar yang dapat meningkatkan kemampuan mereka sehingga tujuan yang dicita-citakan dapat tercapai. Ilmu pengetahuan dapat berkembang pesat jika ditopang oleh kehadiran buku teks. Begitu pentingnya buku teks, Hernowo (2005: 27) menyarankan agar buku teks dijadikan sebagai basis pembelajaran. Buku semacam itu merupakan sarana penting dan ampuh bagi penyediaan dan pemenuhan pengalaman tidak langsung dengan jumlah yang besar dan terorganisasi secara rapi. Memang, siswa dapat belajar dari pengalaman langsung, tetapi tidak akan dapat mencakup semuanya. Oleh karena itu, masih diperlukan juga pengalaman tidak langsung untuk melengkapi hal-hal yang tidak diperoleh dari pengalaman langsung (Tarigan, 1990).
Terkait dengan itu, Grene dan Petty (dalam Husen, 1998: 182) mengungkapkan beberapa peran kehadiran buku teks dalam proses pembelajaran yaitu: (1) mencerminkan suatu sudut pandang yang tangguh dan modern mengenai pembelajaran serta mendemonstrasikan aplikasinya dalam bahan pembelajaran yang disajikan, (2) menyajikan suatu sumber pokok masalah atau objek materi yang kaya, mudah dibaca dan bervariasi, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan para siswa sebagai dasar bagi program-program kegiatan yang disarankan tempat keterampilan-keterampilan ekspresional diperoleh di bawah kondisi yang menyerupai kehidupan yang sebenarnya, (3) menyediakan sumber yang tersusun rapi dan bertahap mengenai keterampilan-keterampilan ekspresional yang mengemban masalah pokok dalam komunikasi, (4) menyajikan bersama-sama dengan buku manual yang mendampingi metode dan sarana pembelajaran untuk memotivasi para siswa, (5) menyajikan fiksasi (perasaan yang mendalam) awal yang perlu dan juga sebagai penunjang bagi latihan-latihan dan tugas-tugas praktis, dan (6) menyajikan bahan atau sarana evaluasi dan remidial yang serasi dan tepat guna.
Sementara itu,  Ibrahim (1983) melihat peran buku teks dari tiga sudut, yaitu bagi siswa, bagi guru, dan bagi proses pembelajaran. Bagi siswa, buku teks itu berperan: (1) membantu belajar secara sistematis, mempertegas, dan mempermudah siswa untuk mengikuti pembelajaran berikutnya. Melalui buku teks, siswa dapat belajar sesuai dengan kecepatan masing-masing, mengulangi atau meninjau kembali serta memudahkan mereka dalam membuat catatan-catatan untuk pemakaian selanjutnya, (2) merangsang kreativitas. Buku teks memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyegarkan ingatan yang dapat merangsang tumbuhnya kreativitas dalam diri siswa, (3) mengembangkan sikap ilmiah, sosial, dan kemantapan emosi siswa. Melalui buku teks siswa dapat menyelesaikan tugas dan pelatihan yang diberikan. Tugas dan pelatihan ini pada gilirannya dapat memperdalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan siswa.
Bagi guru, buku teks berperan sebagai: (1) pengarah pelaksanaan pembelajaran. Melalui buku teks, guru dapat menentukan prinsip-prinsip pembelajaran yang digunakan, pendekatan yang dianut, metode yang digunakan, dan teknik yang dipakai, (2) sumber dan pengarah dalam menyediakan bahan pembelajaran. Melalui buku teks, guru lebih mudah memperoleh sumber-sumber pembelajaran, dan (3) sebagai landasan dalam menyelenggarakan evaluasi hasil belajar siswa.
Bagi proses pembelajaran, buku teks berperan: (1) memudahkan pemilihan dan penyampaian materi pembelajaran, (2) membantu kelancaran proses pembelajaran, (3) membantu kelancaran proses pengelolaan kelas, (4) memudahkan siswa untuk mengikuti uraian materi pembelajaran, dan (5) dapat digunakan untuk melatih belajar mandiri bagi siswa.
Selain yang dipaparkan di atas, buku teks memiliki keunggulan praktis, yaitu mampu mengatasi kendala keterbatasan ruang dan waktu bahkan budaya (Soepena, 1997:31) dalam menyampaikan suatu informasi. Sifat kepraktisan inilah yang menjadikan alasan, mengapa buku memiliki spektrum penggunaan yang lebih luas dalam masyarakat modern. Salah satu konteks penggunaan buku adalah konteks pendidikan yaitu penggunaan buku teks dalam proses pembelajaran.
Tidak dapat dipungkiri bahwa peran buku teks sebagai sumber belajar dalam proses pembelajaran sangat penting dan belum tergantikan oleh sumber belajar lainnya (Widhiyanto, 1997: 98). Setidaknya ada dua pihak yang berkepentingan terhadap buku teks, yaitu guru dan siswa. Orstein (1990: 333), menyatakan bahwa buku teks sebagai sumber belajar memiliki beberapa peran penting: (1) dapat digunakan oleh guru untuk merencanakan pembelajaran secara umum, penyajian yang unik, dan sebagai landasan kegiatan tatap muka di kelas, (2) memuat ringkasan informasi yang relatif tidak berubah yang dapat digunakan kapan saja saat diperlukan, (3) bersifat luwes sehingga siswa dapat mempelajarinya di rumah, (4) dapat digunakan sebagai sumber acuan bagi siswa lainnya, (5) membantu guru untuk menggali gagasan, tata cara, dan urutan penyajian materi pembelajaran, serta aktivitas-aktivitas pembelajaran di kelas, (6) memberikan kemudahan bagi siswa, terutama dalam memahami materi melalui ilustrasi, seperti gambar, grafik, peta, dan ilustrasi lainnya yang menunjang pembelajaran, dan (7) memberikan penguatan pembelajaran melalui pelatihan atau pertanyaan-pertanyaan penajaman.
Pada umumnya, buku teks digunakan sebagai sumber utama dalam proses pembelajaran. Oleh sebab itu, isi (materi) yang diajarkan dan metode yang digunakan guru dalam menyampaikan isi pembelajaran banyak dipengaruhi oleh buku teks (Calahan dan Clark, 1997: 391). Lebih lanjut dikemukakan bahwa buku teks memberikan kemudahan bagi guru dalam perencanaan pembelajaran karena alasan berikut: (1) buku teks menyajikan sasaran kompetensi yang jelas, (2) buku teks memuat isi (materi) pembelajaran terpilih yang dapat digunakan sebagai landasan untuk menentukan isi dan penekanan kompetensi pembelajaran, dan (3) buku teks memuat kegiatan pembelajaran bagi siswa dan memberikan arahan atau saran-saran bagi guru yang berkenaan dengan strategi mengajar. Selain itu, buku teks juga memuat informasi tentang sumber-sumber bacaan atau informasi lain, media pembelajaran, kompetensi dan alat pembelajaran lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa buku teks mampu berperan dalam memberikan landasan yang baik untuk membangun kegiatan pembelajaran tingkat tinggi (higher order of learning) yang menarik dan menuntut tata cara berpikir kritis serta kegiatan mental tingkat tinggi lainnya. Oleh karena itu, buku teks yang digunakan oleh siswa sebagai penunjang proses pembelajaran hendaknya buku teks yang berkualitas.
D.    Kualitas Buku Teks
Sedikitnya terdapat tiga syarat utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan pendidikan agar dapat berkontribusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia, yakni sarana gedung, buku teks yang berkualitas, serta  guru dan tenaga kependidikan yang profesional (Djoyonegoro dalam Mulyasa, 2005: 3). Hal tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan pembelajaran, juga tidak lepas dari buku teks yang digunakan sebab buku teks merupakan salah satu sumber penyiapan bahan dan sumber bahan evaluasi. Kehadiran buku teks merupakan penerjemah dan pengembang butir-butir pembelajaran yang ada dalam kurikulum (Tarigan, 1989: 66). Agar proses pembelajaran di kelas lebih aktif, siswa dan guru perlu memilih buku teks yang sesuai sehingga siswa mempunyai motivasi yang tinggi untuk belajar. Motivasi seperti ini akan tercipta jika buku teks menyajikan isi (materi) yang merupakan kegiatan nyata. Oleh sebab itu, buku teks yang digunakan dalam pembelajaran harus dapat menyajikan isi (materi) yang menarik dan tidak membosankan.
Untuk dapat memenuhi hal tersebut di atas, Ghofur (2006: 9) mengemukakan dua hal yang perlu dipertimbangkan dalam penulisan buku teks yang berkualitas.
Pertama, isi (materi) buku teks hendaknya mematuhi indikasi kurikulum, Dengan mengacu pada kurikulum, isi (materi) tersebut diarahkan untuk menggali potensi siswa dalam menganalisis kearifan lokal diri dan lingkungannya. Pola-pola penugasan hendaknya digeser dari sekedar pencapaian target mengetahui ke arah sejauh mana fungsi pengetahuan itu bagi dinamika kehidupan siswa. Isi (materi) penugasan tidak perlu berputar-putar pada penajaman teori tetapi lebih ditekankan pada aktualisasi dalam realitas nyata. Ini berarti materi pelatihan dan penugasan berupa diskusi kelompok menjadi prioritas. Variasi materi penugasan juga penting diperhatikan. Tugas yang selalu menjawab soal terkadang membosankan. Siswa membutuhkan pola penugasan alternatif seperti teka-teki silang, ular tangga, dan sebagainya yang dimodifikasi dari isi (materi) pembelajaran.
Kedua, terkait dengan penggunaan bahasa. Pemakaian bahasa dalam buku teks selama ini cenderung konvensional dan tidak komunikatif. Buku teks memvisualisasikan diri sebagai guru yang menggurui, “sok tahu” dan menjaga jarak dengan siswa. Bahasa buku yang santun berirama dialogis dapat meleburkan jarak siswa saat membaca sehingga buku teks secara tidak langsung dapat menjelma sebagai mitra belajar yang mengasyikkan.
Kehadiran buku teks erat kaitannya dengan kurikulum yang berlaku. Buku teks yang berkualitas seyogyanya relevan dan menunjang pelaksanaan kurikulum. Implementasi buku teks dalam proses pembelajaran selalu berkaitan dengan kemampuan guru dan minat belajar siswa. Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai, maka baik pemilihan isi (materi), pengorganisasian, maupun penyajian materi sebagai bahan ajar dalam buku teks hendaknya mempertimbangkan dengan cermat tujuan pembelajaran, prinsip pembelajaran, teori belajar, minat belajar siswa, dan lain sebagainya. Semakin baik kualitas buku teks, maka semakin sempurna proses pembelajaran yang ditunjangnya. Buku teks  bermutu tinggi akan meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran (Tarigan, 1989: 20). Oleh sebab itu, sudah saatnya kita mengadakan resolusi buku dengan cara mendesain isi buku teks yang lebih atractive secara visual dengan penataan yang dinamis, bahasa yang mudah, lugas, dan segar (Massigitp, 1999: 35).
Metode dan penyajian materi dalam buku teks hendaknya memenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya menarik, menantang, dan merangsang sehingga siswa benar-benar termotivasi untuk mempelajari isi buku teks tersebut. Isi (materi) yang disajikan dalam buku teks hendaknya mendalam dan berguna untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam kehidupan sehari-hari. Buku teks juga harus berperan sebagai alat evaluasi terhadap kemampuan yang dimiliki siswa. Artinya, di dalam buku teks hendaknya mencerminkan sarana penilaian sehingga siswa dapat mengukur dirinya.
Sehubungan dengan hal tersebut, Greene dan Petty (dalam Husen, 1998:187) telah menyusun sepuluh kriteria sebagai syarat buku teks yang berkualitas, yaitu (1) dapat menarik minat belajar siswa, (2) mampu memberi motivasi kepada para siswa yang menggunakannya, (3) memuat ilustrasi yang menarik hati para siswa yang memanfaatkannya, (4)  mempertimbangkan aspek linguistik yang sesuai dengan kemampuan siswa, (5) berhubungan erat dengan mata pelajaran lainnya, (6) dapat menstimulasi dan merangsang aktivitas pribadi para siswa yang menggunakannya, (7) terhindar dari konsep yang samar-samar dan tidak biasa, agar tidak membingungkan siswa, (8) mempunyai sudut pandang yang jelas, (9) mampu memberi pematapan penekanan pada nilai-nilai anak dan orang dewasa, dan (10) dapat menghargai perbedaan-perbedaan pribadi para siswa.
Alwasilah (2000: 135–136) mengemukakan secara garis besar kriteria profesional penilaian buku teks yang dapat dijadikan pedoman dalam menilai buku teks itu “baik/tidak baik” atau “cocok/tidak cocok.”. Kriteria tersebut masing-masing aspek yang dinilai menggunakan kalimat tanya berikut.
(1)   Aspek Isi
Pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut isi: (a) apakah materi disajikan secara utuh dan berkesinambungan? (b) apakah materi disajikan dengan mengikuti teori pembelajaran (bahasa) secara logis? (c) apakah materi disajikan secara logis dan jelas bagi siswa? (d) apakah penyajian materi sesuai dengan pendekatan yang diikuti? (e) apakah judul buku konsisten dengan daftar isi dan isi buku teks? (f) apakah buku teks mencantumkan daftar kata dan alat bantu yang dipakai? (g) apakah pelatihan yang disajikan cocok untuk siswa? (h) apakah materi bebas dari masalah SARA atau hal-hal tabu? dan (i) apakah penyajian materi dapat memotivasi siswa untuk belajar dan menyenangi buku tersebut?
(2)   Aspek Kualitas Teknis
Pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut kualitas teknis: (a) apakah ukuran buku dan tebalnya cocok untuk usia siswa? (b) apakah penjilidannya cukup kuat dan menarik? (c) apakah kertasnya berkualitas baik? (d) apakah tipografi dan tata letaknya baik, mudah dibaca, dan sesuai bagi usia siswa? (e) apakah gambar dan materi visual cukup banyak, menarik, dan membantu penyampaian materi?
(3)   Aspek Pendukung
      Pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut aspek pendukung: (a) apakah penerbit dan penulisnya memiliki reputasi baik di bidangnya? (b) apakah buku tersebut pernah diresensi di media masa? (c) apakah saran-saran bagi guru memiliki nilai praktis? (d) apakah pedoman yang diberikan bermanfaat bagi guru? (e) apakah daftar pustaka bermanfaat bagi guru dan siswa? dan (f) apakah buku teks tersebut dilengkapi dengan program evaluasi?
(4)   Aspek Alat Peraga
Pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut alat peraga: (a) apakah buku teks tersebut disertai alat peraga? (b) apakah alat peraga itu membantu penyampaian materi ajar? (c) apakah alat peraga itu cukup variatif, memadai, dan cocok untuk usia siswa? (c) apakah media ajar itu terbuat dari bahan yang berkualitas sehingga tahan lama? dan (d) apakah alat peraga itu mudah digunakan?
Untuk memenuhi kriteria buku teks yang berkualitas seperti yang dikemukakan di atas, maka setiap penulisan buku teks hendaknya mempertimbangkan beberapa aspek. Winataputra (1989) menyarankan tiga aspek untuk dipertimbangkan: (1) isi (materi) yang akan dikembangkan, (2) cara memilih dan mengorganisasikan kompetensi, dan (3) cara pembelajaran diorganisasikan. Sementara itu, Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional menggariskan beberapa rambu-rambu teknis yang harus dipenuhi oleh pengembang kompetensi agar kompetensi tersebut dapat ditata menjadi buku teks yang berkualitas. Rambu-rambu tersebut seperti yang dikutip Suyanto dkk. (2000: 9–10) berikut ini.
1.      Ketentuan Umum
    1. Naskah yang ditulis hendaknya mempunyai bagian-bagian yang lengkap, yaitu bagian awal, bagian isi, dan bagian akhir.
    2. Naskah yang ditulis harus asli dan belum pernah diterbitkan.
2.      Ketentuan Khusus
    1. Keamanan Nasional
Isi (materi), cara penyajian, bahasa, dan ilustrasi pada buku teks harus selaras atau tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan GBHN.
b.      Isi (materi) Buku Teks
(1)   Memuat sekurang-kurangnya kompetensi minimal yang harus dikuasai siswa pada tingkat dan jenis pendidikan tertentu sesuai kurikulum yang berlaku.
(2)   Relevan dengan tujuan pendidikan yang dicapai melalui proses pembelajaran, bahan kajian, dan pelajaran yang bersangkutan.
(3)   Menghormati kerukunan hidup umat beragama dan kehidupan antarumat beragama serta menghormati ajaran-ajaran agama yang dianut di Indonesia.
(4)   Tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang berlaku.
(5)   Benar, ditinjau dari segi ilmu pengetahuan yang bersangkutan.
(6)   Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(7)   Sesuai dengan jenjang pendidikan yang menjadi sasaran penulisan buku teks.
c.       Cara Penyajian
(1)   Urutan uraian yang teratur.
(2)   Tahapan dalam penyajian masalah dimulai dari yang sederhana ke yang lebih kompleks atau dari yang mudah ke yang sulit.
(3)   Saling memperkuat dengan bahan kajian yang terkait.
(4)   Menantang dan merangsang peserta didik untuk terus mempelajari bahan kajian dan pelajaran yang bersangkutan, dan
(5)   Pengorganisasian kompetensi dan sistematika penulisan mengacu kepada berbagai aspek kemampuan siswa.
d.      Bahasa
(1)   Menggunakan bahasa Indonesia yang benar dan baku.
(2)   Menggunakan kalimat yang sesuai dengan tingkat kematangan dan perkembangan siswa.
(3)   Menggunakan istilah, kosa kata, dan simbol-simbol yang mempermudah pemahaman dan dapat dimanfaatkan untuk mempelajari bahan kajian.
(4)   Menggunakan transliterasi yang telah dibakukan.
e.       Ilustrasi
(1)   Relevan dengan isi buku teks yang bersangkutan.
(2)   Tidak mengganggu kesinambungan antarkalimat dan antarparagraf dan bagian dari keseluruhan isi buku teks.
(3)   Merupakan bagian terpadu dari keseluruhan isi buku teks, dan
(4)   Jelas, baik, dan merupakan hal yang esensial untuk membantu peserta didik memahami konsep atau pengertian yang diuraikan dalam buku teks yang bersangkutan.

Setiap buku teks perlu memiliki landasan pengembangan yang jelas agar memiliki kualitas yang baik yang dapat dipertanggungjawabkan, yaitu selain memiliki kesahihan pewajahan, juga harus memiliki kesahihan isi (materi) sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Yang penting lagi, bahwa buku teks merupakan salah satu sumber belajar yang dapat berfungsi ‘membelajarkan’ siswa secara efektif dan efisien (Suyanto, 2000: 11).
Senada dengan yang dipaparkan di atas, McKean (1962: 155) mengemukakan bahwa buku teks yang berkualitas ialah buku teks yang memenuhi kriteria. Pertama, memuat deskripsi kompetensi dan hasil belajar yang digariskan dalam kurikulum yang akan dicapai melalui buku teks tersebut. Dengan ungkapan lain, apakah buku teks tersebut memberikan arahan yang jelas dalam pencapaian standar kompetensi? Kedua, memuat isi (materi) yang akurat, muktahir dan lengkap sebab konsepsi guru tentang isi (materi) akan menentukan buku teks yang akan dipakai dan bukan sebaliknya. Ketiga, mampu mencerminkan ‘metode pembelajaran’. Maksudnya fleksibel dan mampu mengadaptasikan berbagai metode mengajar? Keempat, sesuai dengan karakteristik siswa yang akan menggunakannya. Misalnya pilihan kata, penggunaan kalimat, ilustrasi, contoh-contoh, dan hal-hal lain yang cocok, serta berarti bagi siswa.
Beck dan Mckeown (dalam Purwanto, 1999: 12) mengemukakan sepuluh kriteria yang memadai untuk menelaah kevalidan buku teks, yaitu (1) materinya memberikan bekal agar siswa berdiskusi, (2) tidak terlalu banyak konsep, (3) pokok pikiran setiap wacana dijelaskan secara eksplisit, (4) hanya mengandung tujuan utama, (5) contoh yang disajikan betul-betul dapat menjelaskan konsep, (6) memudahkan siswa memahami hubungan sebab-akibat, (7) komponennya disusun secara logis, (8) memuat urutan kejadian sesuai dengan urutan waktu, (9) tidak menjelaskan banyak hal dalam unit yang sama, dan (10) setiap wacana mampu memberi penekanan terhadap ide yang penting.
Selanjutnya, Suyanto (2000: 13) mengemukakan bahwa buku teks yang berkualitas adalah buku teks yang memenuhi beberapa kriteria berikut. (a) kenampakannya yang meliputi ukuran, format, ilustrasi, penjilidan, dan daya tariknya, (b) gaya penyajian bahasanya menarik, menggugah pikiran, dan mampu merangsang siswa untuk ingin mengetahui lebih lanjut, (c) penulisnya memiliki kompetensi dan dikenal di bidangnya, serta (d) harga terjangkau.
Dari beberapa pandangan di atas dapat dijelaskan bahwa sebuah buku teks akan dipilih dan digunakan sebagai media pembelajaran jika dapat memenuhi kebutuhan pemakainya serta memenuhi kriteria yang dipersyaratkan. Tentu guru tidak diharapkan akan  ‘didikte’ atau ‘dikuasai’ oleh buku teks. Dengan buku teks, guru diharapkan dapat meningkatkan kinerja profesionalnya di kelas. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemakai buku teks hendaknya dapat memilih buku teks yang berkualitas. Untuk memilih buku teks yang berkualitas, hendaknya mengacu pada kriteria sebuah penyusunan buku teks. Artinya, pertimbangan pemilihannya diarahkan pada pemenuhan kriteria buku teks terhadap pemakaiannya di sekolah-sekolah.
Berikut ini beberapa tinjauan para ahli tentang prosedur analisis untuk menganalisis kualitas buku teks. Tucker (1978: 219) menyarankan dua prosedur, yaitu menjelaskan fakta isi buku dan menggambarkan perbandingan profil buku teks dan profil ideal. Kizilirmak (1991: 46) menyarankan tujuh langkah yang perlu ditempuh dalam menganalisis kualitas buku teks, yakni: (1) menentukan bahasa siswa, (2) menentukan tujuan khusus, (3) menetapkan dan menggambarkan profil, (4) menentukan skor mentah, skor rata-rata, dan menggambarkan profil, (5) membandingkan dengan profil ideal, (6) menentukan kecocokan: ya atau tidak, serta langkah (7) mengadaptasi, mengganti, dan menambahkan bagian-bagian yang dianggap kurang.
Lebih lanjut, Kizilirmak (1991:46) mengemukakan empat belas kriteria dalam mengevaluasi buku teks BSI, yaitu (1) keberterimaan dalam arus teori pembelajaran bahasa dan metodologi, (2) keaslian materi, (3) integrasinya terhadap keempat keterampilan berbahasa, (4) ketepatannya dalam menyiapkan siswa menghadapi situasi berbahasa nyata, (5) ketepatan antara materi dengan tujuan belajar bahasa, kekomunikatifannya, (7) cakupan terhadap bahan yang mendorong motivasi, (8) kesesuaian dengan kebutuhan siswa, (9) kecocokan dengan tingkat kemampuan siswa, (10) daya cakupannya terhadap variasi kemampuan siswa, (12) bahannya selalu baru, (13) isinya sejalan dengan judul dan tujuan buku teks, serta (14) cukup dalam dirinya.
Model evaluasi di atas tidak jauh berbeda dengan yang disarankan oleh Tucker, hanya kriterianya yang berbeda. Tucker dalam tulisannya mengemukakan empat kriteria utama untuk mengevaluasi buku teks, yaitu (1) kriteria lafal, (2) kriteria tata bahasa, (3) kriteria isi, dan (4) kriteria umum (Tucker, 1978:220–229). Sehubungan dengan aspek-aspek yang dievaluasi dalam buku teks, ada beberapa perbedaan di antara para ahli, meskipun dalam beberapa segi ada kesamaan pandangan. Perbedaan itu terutama terletak pada sudut tinjauan dan aspek yang menjadi penekanannya.
Mackey (1969:159–255) mengemukakan empat aspek penting dalam mengevaluasi buku teks, yaitu (1) seleksi, (2) gradasi, (3) presentasi, dan (4) repetisi. Seleksi atau pemilihan materi yang dimaksud adalah pemilihan materi buku teks dari sumber-sumber tata bahasa deskriptif.  Tahap seleksi ini dianggap penting dalam pengembangan materi buku teks BSI. Bahkan demikian pentingnya, mutu desain buku teks sangat ditentukan oleh kualitas kerja seleksi (Nurhadi, 1995: 402). Senada dengan itu, Mackey (1969: 165–201) mengajukan lima prinsip yang melandasi seleksi, yaitu: (1) tujuan, (2) tingkat kemampuan siswa, (3) lama waktu belajar, (4) pilihan tipe bahasa yang dipelajari, dan (5) faktor kemungkinan dipelajari.
Pentingnya seleksi ini didasarkan pada landasan berpikir sebagai berikut. (1) sumber-sumber tata bahasa deskriptif itu sangat beragam sifatnya, baik dari segi teori, peneliti, maupun kesederhanaanya, (2) materi tata bahasa deskriptif itu ada yang tidak relevan dengan kepentingan kependidikan, (3) tidak mungkin mengajarkan keseluruhan materi BSI kepada siswa, dan (5) pembelajaran bahasa selalu mempunyai tujuan yang khusus, yang tidak selalu menuntut siswa menguasai seluruh aspek bahasa.
Gradasi atau pengurutan adalah langkah pengurutan bahan atau materi yang telah diseleksi untuk diajarkan. Mackey (1969: 205–206) mengemukakan dua langkah pokok dalam gradasi, yaitu pengelompokkan dan pengurutan. Pengelompokkan harus berdasarkan pada prinsip keseragaman, kekontrasan, dan keparalelan. Sedangkan pengurutan harus didasarkan pada prinsip psikologi belajar, yaitu dari umum ke khusus, dari yang ringkas ke yang panjang, dari yang sederhana ke yang kompleks, dan dari yang paling berguna bagi siswa ke yang paling tidak berguna bagi siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Pakar (2005: 38) yang mengemukakan bahwa naskah yang disusun secara sistematis, berurut, dan teratur akan lebih meningkatkan pemahaman terhadap isi buku. Lebih lanjut, Pakar mengemukakan bahwa sistematika yang baik akan meningkatkan efektivitas penyampaian isi buku.
Kegiatan pengurutan materi tersebut didasarkan pada landasan berpikir bahwa: (1) siswa dalam belajar berbahasa itu melalui langkah setahap demi setahap, (2) penulis buku teks tidak dapat menyajikan materi dengan memilihnya secara acak, (3) materi hasil seleksi tentu tidak dapat diajarkan bersama-sama, tetapi salah satu mendahului yang lainnya, (4) suatu buku teks mungkin memiliki materi yang sama dari hasil seleksinya, tetapi urutan penyajiannya tidak selalu sama, (5) ada perbedaan mendasar antara cara mengurutkan materi unsur kebahasaan dengan kemampuan berbahasa dan bersastra, (6) suatu kaidah kebahasaan mungkin penguasaannya didasarkan atas penguasaan sebuah kaidah yang lain terlebih dahulu, (7) ada landasan teori yang digunakan sebagai dasar mengurutkan materi yang secara kependidikan (sesuai kebutuhan pembelajaran) dapat diterima, dan (8) kemajuan belajar berbahasa itu sifatnya setahap demi setahap, dan tidak meloncat-loncat.
Presentasi atau penyajian sebagai langkah ketiga dalam penyusunan buku teks adalah cara mengkomunikasikan materi kepada siswa. Apa yang tampak pada halaman-halaman buku teks, itulah presentasi. Presentasi materi ini tergantung pada tujuan belajar dan tingkat kemampuan siswa. Ada beberapa model presentasi. Mackey (1969: 239) mengemukakan empat macam, yaitu (1) prosedur diferensiasi, (2) prosedur ostensif, (3) prosedur piktorial dan (4) prosedur kontekstual. Prosedur diferensiasi adalah cara menjelaskan sebuah kaidah dengan menterjemahkan penjelasannya dalam bahasa pertama siswa. Prosedur ostensif menggunakan objek, tindakan, dan situasi untuk menjelaskan. Prosedur piktorial adalah penggunaan gambar-gambar, sedangkan prosedur kontekstual adalah penjelasan yang bersifat abstrak yang meliputi definisi, anumerasi, substitusi, metaphor, oposisi, dan multiple context.
Nurhadi (dalam Maman, 2006: 45) mengemukakan bahwa terdapat bermacam-macam cara atau teknik penyajian materi buku teks yang dianggap sesuai kebutuhan pembelajaran, yaitu (1) penggunan bahasa pertama, (2) menyajikan alat bantu visual, dan (3) penjelasan verbal atau definisi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa perlunya teknik penyajian yang benar didasarkan pada prinsip-prinsip belajar bahwa (1) daya guna sebuah buku teks sangat tergantung pada kemampuan penulisnya mengkomunikasikan isi (materi) kepada pemakainya, (2) setiap buku teks berbeda-beda cara penyajiannya, tergantung pada aspek yang menjadi penekanannya, (3) tujuan belajar bahasa yang berbeda menuntut cara presentasi yang berbeda pula, dan (4) ada perbedaan yang mendasar antara cara penyajian materi di antara buku teks  yang ada.
Repetisi dalam konteks ini diartikan sebagai penajaman atau pelatihan. Penajaman adalah langkah yang ditempuh oleh penulis buku teks agar materi yang disajikan itu dapat dicerna dan diinternalisasikan oleh siswa menjadi kompetensi berbahasa yang siap dipakai. Adanya bagian repetisi ini merupakan salah satu ciri yang membedakannya dengan buku penujang lainnya. Mackey (1969: 257) membagi materi repetisi ini ke dalam empat kelompok, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Prosedur penajaman ini perlu, karena didasarkan pada landasan berpikir bahwa (1) tujuan belajar berbahasa adalah agar siswa mampu berbahasa secara tepat, lancar dan mandiri. Oleh sebab itu, siswa perlu pelatihan menggunakan kaidah tersebut dalam konteks berbahasa yang sebenarnya, dan dalam situasi yang berbeda-beda, (2) terdapat banyak cara atau teknik penajaman agar sebuah kaidah berbahasa dapat diinternalisasikan yaitu dengan jalan mengulang-ulang menjadi bagian dari kompetensi komunikatif.
Berbeda dengan Mackey yang mensistematiskan model evaluasi pembelajaran dengan berdasarkan pada aspek seleksi, gradasi, presentasi, dan repetisi. Para ahli pembelajaran bahasa generasi selanjutnya justru lebih menyederhanakan aspek-aspek yang dievaluasi. Mereka umumnya hanya merinci sejumlah aspek yang seharusnya dipertimbangkan dan diteliti untuk memilih dan mendesain sebuah buku teks.
Hilferty (1978: 195–205) misalnya, menyarankan delapan aspek yang perlu dipertimbangkan dalam memilih dan melihat kualitas buku teks, yaitu (1) pemahaman penulis terhadap siswa (siapa, apa tujuan belajarnya, latar belakang bahasanya, harapannya, serta cita-citanya nanti, (2) pemahaman penulis terhadap tujuan umum pembelajaran bahasa, (3) pemahaman penulis terhadap tujuan khusus pembelajaran bahasa (tujuan yang bersifat keterampilan berbahasa), (4) pemahaman penulis terhadap kondisi dan  situasi belajar, yakni lama waktu belajar dan sarana yang tersedia, (5) pernyataan tentang prosedur belajar yang disepakati antara sekolah dan siswa, (6) kesesuaiannya dengan kalender pendidikan, (7) kesesuaiannya dengan anggaran yang mungkin tersedia di sekolah, serta (8) prosedur pemilihan dan penyesuaian bahan.
Senada dengan cara yang digunakan Hilferty di atas, Bruder (1978: 211) juga mengemukakan delapan kriteria untuk mengevaluasi buku teks, yaitu (1) level, (2) tujuan, (3) gaya bahasa, (4) latar belakang bahasa siswa, (5) umur, (6) lama waktu belajar dan alokasinya, (7) kekuatan dalam melandaskan diri pada teori linguistik dan teori belajar bahasa, serta (8) kompetensi. Demikian pula Parera (2000: 1) menyarankan empat kriteria, yaitu (1) pemahaman penulis tentang untuk siapa buku itu ditulis, (2) apa yang diharapkan setelah mereka menggunakan buku teks tersebut, (3) apa isi buku teks tersebut dan bagaimana kriterianya, serta (4) seberapa banyak isinya dan dipertimbangkan untuk siapa.
Dari beberapa pendapat di atas, tampaknya masing-masing diperuntukan bagi praktisi pengajaran bahasa, khususnya dalam pemilihan (evaluasi) buku teks yang akan digunakan. Masing-masing teknik penilaian tersebut cenderung disederhanakan, baik dalam jumlah aspek kriteria maupun sistem penilaiannya untuk kepentingan evaluasi yang lebih teliti dan mendalam.
Model-model tersebut dipandang kurang memadai. Untuk kepentingan analisis buku teks BSI, Nurhadi (1995: 409) mengajukan kriteria yang jauh lebih komperehensif, yaitu (1) dianalisis berdasarkan kriteria umum, yang meliputi landasan penyusunan buku teks, pertimbangan terhadap prinsip belajar bahasa, dan kriteria praktis, (2) dianalisis berdasarkan kriteria pemilihan, yang meliputi prosedur pemilihan materi dan ruang lingkup isi (materi), (3) dianalisis berdasarkan kriteria pengelompokan dan pengurutan, (4) dianalisis berdasarkan kriteria penyajian, dan (5) dianalisis berdasarkan penajaman.


DAFTAR RUJUKAN
Alwasilah, A. C. 2000. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Bruder, M. N. 1978. Evaluation of Foreign Language Textbooks: A Simplified Procedure. Termuat dalam Madsen dan Bowen (1978).
Chamisijatin, L. 1996. Penyusunan Buku pelajaran (Buku Teks). Alternatif: Jurnal Pemikiran Pendidikan, IV (8): 60–66.
Calahan, J. F. dan Clark, L. H. 1997. Teaching in The Middle and Secondary Schools: Planning for Competence. New York: McMilan Publishing Company Inc.
Degeng, I. N. S. 1988. Pengorganisasian Pengajaran Berdasarkan Teori Elaborasi dan Pengaruhnya terhadap Perolehan Belajar Verbal dan Konsep. Disertasi tidak Diterbitkan. Malang: PPS IKIP Malang.
Dick, W. and Carey, L. 1990. The Systematic Design of Instruction (Secong Edition). London: Scoot, Foresman and Company.
Ghofur, S.A. 19 Februari, 2006. Buku Pelajaran Bermutu. Jawa Pos, hlm. 9.
Gopinathan, S. 1997. Cross-Cultural Transfer of Print Media. Dalam R. Murray Thomas dan Victor Kobayanhi (Eds.). Educational Technology: Its Creation, Development and Cross-Cultural Transfer. Oxford: Pergamon Press.
Hernowo, 2005. Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Membuat Buku: Buku Pengayaan untuk Guru. Bandung: MLC.
Hilferty, A. 1978. Adapting Materials In Context. Termuat dalam Madsen dan Bowen. 1978. Adaptation in Language Teaching. Massachuset: Newburry House Publisher Inc.
Husen, A., dkk. 1998. Telaah Kurikulum dan Buku Teks. Jakrta: Depdikbud.
Ibrahim, 1983. Masalah Penyusunan Buku Teks. Warta Scientia, Desember, hal. 37.
Ibrahim, A. S. 1994. Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya: Usaha Nasional.
Kazlow, 1980. “Advance Organizer Research.” Evaluation in Education. Vol. 4 (1): hal. 47–48.
Maman, 2006. Tugas-Tugas Pembelajaran dalam Buku Teks Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP di Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat. TESIS. Universitas Negeri Malang.
Kizilirmak, S. 1991. An Integrated Approach to Textbook Evaluation. Majalah Forum. No. 1/XXIX.
Mackey, W. F. 1969. Language Teaching Analysis. London: Longmans, Green and Co. Ltd.
McKean, R. C. 1962. Principles and Methods in Secondary Education. Columbus Charles E. Merril Books.
Massigitp. 1999. Resolusi Buku. Buletin Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, No. 05, November, hal. 34–35.
Mulyasa E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: Rosdakarya.
Nunan, D. 1993. Designing Tasks for Communicative Calssroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Nunan, D. 1999. Second Language Teaching & Learning. New York: Newbury House.
Nurhadi. 2005. Kurikulum 2004: Pertanyaan & Jawaban. Jakarta: Grasindo.
Nurhadi. Yasin, B. dan Senduk, A. G. 2004. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang.
Nurhadi. 1999. Tata Bahasa Pedagogis Bahasa Indonesia dalam Pengajaran Bahasa Indonesia. Disertasi Tidak Diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.
Nurhadi, 1995. Tata Bahasa Pendidikan: Landasan Penyusunan Buku Pelajaran Bahasa. Semarang: IKIP Semarang Press.
Orstein, A. C. 1990. Strategies for Effective Teaching. New York: Harper Collins Publishers.
Pakar, D. 2005. Bagaimana dan Mengapa Penerbitan Buku: Pengantar Ihwal Penerbitan. Jakarta: IKAPI DKI Jakarta.
Parera, J. D. 2000. Keberbahasaan dan Kepenulisan Bahasa Indonesia untuk Penulis dan Penyunting Buku Pelajaran. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.
Pophan,, J. W. 1981. Modern Educational Measurement. New Jersey: Printice-Hall, Inc Englowood Cliffs.
Purwanto, E. 1999. Kajian Kurikulum dan Buku Teks. Malang: FPIPS IKIP Malang.
Soepena, Ps. 1997. Bagaimana Buku Mampu Bertahan sampai Abad Komputer? Buletin Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, No. 03 Juli, hal 31–33.
Suhardi, A. 2005. Pengembangan Perangkat Pembelajaran dengan Sistem Multimedia. Tesis Tidak Diterbitkan. Malang: PPS UM.
Suhardjono. 1989. Makalah Kongres II IPTPI dan Seminar Nasional Teknologi Pendidikan “Pengorganisasian Pengajaran Berdasarkan Teori Elaborasi”. Malang: IKIP.
Suparman, A. 1991. Desain Instruksional. Jakarta: Depdikbud Universitas Terbuka.
Suyanto, K. K. E. Sukarnyana, I. W. Susilo, G. H. dan Sungkowo, B. T. 2000. Keefektifan Penggunaan Buku Pelajaran SLTP. Laporan Penelitian. Tidak Diterbitkan. Malang: Pusat Penelitian Pendidikan Dasar dan Menengah Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang.
Tarigan, Henry Guntur, dan Djago Tarigan. 1989. Telaah Buku Teks Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Hendry Guntur. 1989. Kompetensi Kebahasaan. Jakarta: P2LPTK Depdikbud.
Tillena, H. 1983. Webteaching: “Sequencing of Subject Matter in Relation to Prior Knowledge of Pupil.” Instructional Science. Vol. 12, hal. 321–332.
Tucker, C. Allen. 1978. Evaluating Beginning Textbooks. Termuat dalam Madsen dan Bowen (1978).
Widhiyanto, G. 1997. Informasi Buku dan Perbukuan. Majalah Ilmiah Kampus Ungu, Maret, hal. 98–104.


Kalau Mau Maju, Ubah Paradigma Berpikir

Dari pengamatan penulis, terdapat kelemahan yang mendasar dalam sosio-kultural masyarakat kita saat ini, yaitu berhinggapnya Paradigma Berpikir Diagonalistik (PBD), dan Paradigma Berpikir Sebab (PBS). Dari telaah akuratif penulis, PBD dan PBS tampaknya dapat menghambat kemajuan. PBD akan menimbulkan otoritarian pemikiran yang menyebabkan seseorang cenderung  memaksakan pendapat dan tidak mau menerima pemikiran orang lain yang berbeda dengan pemikirannya. Paradigma berpikir seperti ini telah merambat hingga pada semua lini kehidupan yang ditunjukkannya melalui sikap yang cenderung tidak mau menerima kritik dan saran dari orang lain. Pada konteks pendidikan dan pembelajaran, misalnya jika siswa mengeritik dianggap angin lalu. Bahkan sikap kritikan lebih dianggap sebagai “musuh” yang harus dimusnahkan.
PBD harus segera konstruk ulang dan diganti dengan Paradigma Berpikir Alternatif (PBA) yang mengakui  dan menerima adanya perbedaan. Perbedaan pendapat tidak harus dipandang sebagai pertentangan antara benar dan salah, tetapi seyogyanya dilihat sebagai alternatif, antara benar-benar, salah-salah dan/atau benar dan salah yang tidak saling bertentangan. PBA inilah yang dalam nuansa Islam disebut rahmat. Dengan PBA, konflik sosial maupun politik yang acapkali muncul ditengah masyarakat kita saat ini dapat dihindari, dan paling tidak dapat dikurangi.
Selain PBD yang sering menjadi sumber masalah ialah  sikap berburuk sangka (negatif thinking) pada orang lain. Sikap berburuk sangka ini bukan sekedar menjadi benih konflik sosial dan politik, tetapi juga menyebabkan kita tidak bisa maju. Dengan negatif thinking, orang tidak mau belajar dari orang lain,  karena merasa dirinyalah yang paling benar, paling baik, dan paling tahu. Sikap seperti ini menyebabkan orang menjadi sombong dan congkak. Kesombongan dan kecongkakan akan dapat mengganggu hubungan sosial dan penghambat kemajauan bangsa. Kita sudah lupa dan bahkan pura-pura tidak tahu bahwa pelangi itu indah karena berwarna-warni ‘mejikuhibiniu
Negatif thinking harus diganti dengan sikap berbaik sangka (positif thinking). Dengan berpikir positif thinking jelas akan menghindari munculnya konflik sosial. Dengan sikap berbaik sangka ini juga akan tumbuh rasa kemanusiaan dan penghargaan terhadap perbedaan dan kepentingan orang lain.
.Budaya lain yang juga sering menjadi penghambat kemajuan bangsa ini ialah PBS. Paradigma berpikir ini menyebabkan kita sulit untuk maju dan tidak memiliki prestasi yang membanggakan. PBS ini berkaitan erat dengan sikap negative thingking yang melahirkan budaya “kambing hitam”. Paradigma berpikir sebab ini ditandai dengan tidak adanya perencanaan yang matang dan/atau tidak visi.
Paradigma ini harus dirubah ke Paradigma Berfikir Akibat (PBAk), artinya setiap perilaku dan tindakan dan/atau kebijakan harus dipikirkan terlebih dahulu akibat yang akan ditimbulkannya. Dengan PBAk, kita dibiasakan untuk berpikir ke depan (visioner), dengan membuat suatu perencanaan. Dalam PBAk, kita dibiasakan untuk membuat perencanaan dan berpikir sebelum melakukan sesuatu. Dengan PBAk, kita dibiasakan untuk menelaah secara akuratif berbagai tantangan yang akan dihadapi dan mempersiapkan diri untuk menghadapinya. PBAk inilah yang menyebabkan berbagai bangsa meraih kemajuan di berbagai bidang, karena mereka sudah mengantisipasi dan mempersiapkan diri terlebih dahulu dalam menghadapi tantangan masa depan. Pada konteks pendidikan dan pembelajaran misalnya, harus diarahkan untuk merubah paradigma berpikir dan mental para siswa. Pendidikan harus diarahkan untuk merubah paradigma berpikir siswa dari “sisi kiri” ke “sisi kanan” yaitu ke arah “PBA dan PBAk”. Melalui pendidikan PBA dan PBAk, artinya kita memulai menanamkan paradigma berpikir ini sejak dini. Bila paradigma berpikir dan mental masyarakat kita masih berada pada “sisi kiri” (PBD dan PBS) kiranya bangsa ini tersendat dan sulit bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam era global yang kian membara ini.

Jumat, 27 Mei 2011

Teknik Melempar Bola Kertas untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa terhadap Teks Bacaan

Tulisan ini merupakan abstraksi dari hasil Penelitian Tindakan Kelas (PTK) sebagai salah satu upaya yang dilakukan penulis dalam meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di jenjang SMP dan diikutsertakan dalam lomba inovatif guru di tingkat nasional. Berikut ikhtisarnya:
Membaca pemahaman dapat diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh seorang pembaca untuk memahami informasi dalam bacaan. Dalam konteks pembelajaran di kelas, membaca pemahaman merupakan kegiatan menuntun siswa untuk dapat memahami isi bacaan secara tepat. Untuk meningkatkan kemampuan pemahaman siswa diperlukan pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pemahaman, baik faktor yang berasal dalam siswa maupun faktor luar yang mendukung belajarnya. Pengetahuan tentang faktor-faktor itu merupakan salah satu alternatif dalam menjawab berbagai kesulitan yang dialami siswa dalam pembelajaran.
Kesulitan-kesulitan tersebut diduga sebagai akibat dari pelaksanaan pembelajaran yang masih mengacu pada paradigma lama yang konvensional. Siswa dianggap orang dewasa dalam bentuk kecil sehingga tugasnya di sekolah hanya mendengarkan yang disampaikan guru. Mereka dianggap tidak lebih dari botol kosong yang menunggu disisi apa saja oleh guru. Sedangkan guru aktif dengan gaya birokrat dan instruktifnya. Dampaknya, proses pembelajaran tidak menyenangkan dan hasilnya pun tidak optimal.
Agar pembelajaran berhasil optimal, guru hendaknya menciptakan kondisi ideal dengan penuh kasih sayang, kehangatan, dorongan, dukungan, dan menganggap siswa sebagai mitra serta dipandang sebagai subjek, bukan objek. Usia siswa SMP masih dalam kategori usia bermain. Oleh sebab itu, pembelajaran hendaknya dirancang agar mereka (seakan-akan) bermain, yaitu bermain dalam batas-batas pedagogik. Jika hal ini dapat diwujudkan, kesenangan dan kecepatan belajar dapat melekat kokoh pada siswa. Demikian pula halnya dengan pembelajaran membaca pemahaman, hendaknya dirancang secara menarik. Sumber bacaan pun harus mengacu pada bakat, minat, sesuai harapan mereka, serta isu yang tengah menguak hangat, sehingga pembelajaran menjadi interaksi yang bermakna. Kebermaknaan ini akan terkonstruk jika pembelajaran itu berkesan, dan berkesan jika melibatkan seluruh indera mereka.
Sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut, muncul ide “Teknik Melempar Bola Kertas untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa terhadap Teks Bacaan”. Teknik ini merupakan salah satu teknik inovatif yang dirancang dalam bentuk siswa saling lempar bola kertas yang berisi pertanyaan-pertanyaan bacaan dengan warna bola kertas yang berbeda-beda, sesuai dengan tingkat kesulitannya. Strategi ini, di samping menyenangkan juga bermanfaat dalam mengembangkan nalar dan daya kreatif. Keistimewaan teknik ini ialah mampu melibatkan seluruh siswa karena mereka akan bermain dalam kelompok-kelompok kecil. Fenomena ini berangkat dari asumsi dasar bahwa pada hakikatnya siswa usia SMP masih senang bermain, dan mereka pun dapat diajak untuk belajar sambil bermain. Selain itu, permainan ini mampu merangsang daya pikir siswa, inovatif, kreatif, dan kritis, sehingga mereka mampu memahami pesan yang terdapat dalam bacaan. Respon-respon positif yang timbul secara komunikatif, merupakan hasil dari permainan yang dirancang dan diatur secara menarik dan sistematis. Dengan permainan ini, pembelajaran menjadi menyenangkan. Hasilnya pun meningkat hingga mencapai 90,6% tuntas.

Kebijakan Otonomi Daerah (Implementasinya terhadap Pendidikan)

                                Rasional
Hembusan angin reformasi yang bergulir kencang sejak reformasi tahun 1998 terus mengalir dan menyebabkan perubahan-perubahan di segala lini kehidupan bangsa Indonesia. Di antara perubahan-perubahan yang terjadi ialah perubahan konsep dari sistem pemerintahan sentralisasi menjadi sistem desentralisasi. Keinginan masyarakat terhadap sistem desentralisasi, dilandasi kenyataan bahwa keputusan pemerintah pusat acapkali tidak menyentuh kepentingan masyarakat yang berada di daerah. Selain itu, pemerintah daerah tidak ubahnya sebagai pesuruh pemerintah pusat. Hal ini harus segera dikebumikan.
Meskipun pada awalnya pemerintah pusat berdalih bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) di daerah ’belum’ siap melaksanakan pemerintahan dengan sistem desentralisasi, namun akhirnya terwujud pula dengan dilegitimasinya melalui UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menjelaskan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pusat ke daerah otonom dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kabupaten/Kota diberi kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Tatatanan pelaksanaan pemerintahan diubah. Dalam konsep otonomi daerah, semua unsur harus berperan aktif baik masyarakat maupun pemerintah daerah dalam ikhtiar menuju Indonesia yang makmur, berkeadilan, dan sejahtera.
Pembangunan nasional di bidang pendidikan merupakan usaha mencerdaskan bangsa dalam rangka meningkatkan kualitas manusia Indonesia dan mewujudkan manusia yang paripurna. Demikianlah rumusan tujuan pendidikan yang termaktub pada UU RI Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Namun, dalam beberapa tahun terakhir, fakta menunjukkan bahwa mutu pendidikan di Indonesia sungguh memprihatinkan. Anggaran pendidikannya hanya 20% dari APBN. Suatu angka yang sangat kecil dibandingkan dengan anggaran pendidikan di Malaysia, Singapore, Philipina, dan bahkan Vietnam yang relatif baru terlepas dari perang yang berkepanjangan dengan Amerika Serikat, yang rata-rata telah mencapai 30% dari APBN nya. Gaji guru-guru di Indonesia, bahkan terendah di Asia Pasifik, padahal guru merupakan ujung tombak pendidikan.
Sistem sentralisasi di bidang pendidikan dianggap salah satu ‘biang’ penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Betapa tidak, jalur birokrasi yang panjang dalam sistem sentralisasi, berakibat bahwa setiap keputusan oleh pemerintah pusat yang memerlukan waktu yang panjang, dan terkesan bertele-tele. Oleh karena itu, para pakar pendidikan berpendapat bahwa salah satu alternatif bentuk otonomi pendidikan adalah School Based Management atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Harapannya, keputusan tentang pendidikan yang tadinya dilakukan oleh pemerintah pusat, dapat dilakukan di sekolah masing-masing sebagai unit yang independen dan memiliki otonomi. Namun, istilah ‘independen’ bukan berarti bebas menentukan segala-galanya di bidang pendidikan tanpa memperhatikan kebijakan pendidikan di tingkat pusat.

Otonomi Pendidikan Era Otonomi Daerah
Merujuk UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 1 dijelaskan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan itu meliputi bidang penyelenggaraan pemerintahan, keuangan, serta perimbangan antara pemerintahan daerah dan pemerintahan pusat. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan NKRI.
Berawal dari otonomi daerah tersebut, maka lahirlah UU Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Kemudian masih disusul oleh lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah Daerah/Kota sebagai daerah otonom, dan juga kewenangan Provinsi. Setelah itu, untuk mendukung produk-produk hukum tersebut, masih diterbitkan Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri. Semuanya itu menjadi dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah.
Dengan adanya otonomi daerah bukan berarti pemerintah daerah boleh memungut dana dari masyarakat sebebasnya, tetapi yang harus dilakukan adalah mengefisienkan pemakaian penghasilan daerah yang ada. Selain itu, untuk meningkatkan penghasilan daerah, pemungutan pajak dan retribusi yang sudah berlaku perlu ditingkatkan terus dan diefektifkan pelaksanaannya.
Di bidang kepegawaian dan organisasi, pemerintah kabupaten/kota dapat melaksanakan sesuai kebutuhan daerah masing-masing. Bahkan dalam mengangkat dan memberhentikan pegawai. Pemerintah daerah/kota memiliki kewenangan penuh, termasuk pemberian dan kenaikan pangkat bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD). Dengan otonomi daerah, keputusan dibuat sedekat mungkin dengan masyarakat yang membutuhkan. Konsekuensinya kesejahteraan rakyat dapat meningkat karena pengelolaan dana disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Berdasarkan uraian tersebut, pada hakikatnya otonomi daerah adalah perubahan struktur pemerintahan dari sistem sentralisasi menuju sistem desentralisasi. Pemerintahan sistem desentralisasi ini akan lebih memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah dan masyarakat setempat untuk mengembangkan daerah dalam konteks kebinekaan dan NKRI.
Selanjutnya, otonomi pendidikan adalah kewenangan yang diberikan sepenuhnya untuk mengelola organisasi pendidikan. Otonomi pendidikan diperlukan, agar dunia pendidikan independen, dan ‘tidak banyak’ mendapatkan campur tangan dari pihak-pihak lain. Adapun alasan diperlukannya otonomi pendidikan adalah
1.      Keputusan oleh Departemen Pendidikan Nasional yang berkedudukan di Jakarta ada kecenderungan lambat, dan birokratis. Sementara di sisi lain, pihak dunia pendidikan di daerah menuntut perlakuan yang cepat, adil, dan tidak birokratis.
2.      Organisasi pendidikan yang independen di daerah menjadi relatif lebih kecil, di banding organisasi pendidikan nasional sebelumnya yang mengelola keputusan pendidikan. Naisbitt (dalam Bafadal, 1999) menyebutkan, bahwa organisasi yang baik sekarang dan di masa yang akan datang adalah organisasi yang kecil, sehat, lincah, dan dinamis. Bukan organisasi yang besar, lamban, dan tidak lincah.
3.      Dunia pendidikan mampu memahami kebutuhan di daerahnya, khususnya tentang budaya, sosial, ekonomi, agama, ras, dan etnik. Oleh karena terdapat perbedaan di bidang itu, pendidikan daerah akan mampu menyelaraskan kiprahnya sesuai situasi dan kondisi daerah masing-masing.
4.      Keputusan dari pusat (Jakarta) tidak lagi dipandang arif dan bijak, karena seringkali semua daerah diperlakukan sama (virus keseragaman). Keputusan seperti itu, seringkali akan merugikan daerah-daerah, khususnya daerah yang tertinggal pendidikannya.
5.      Karena segala sesuatunya diatur oleh pusat, pendidikan belum tampil optimal sebagaimana yang diharapkan masyarakat Indonesia.
Meski demikian, dalam rangka otonomi pendidikan, pendidikan di daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Sebagaimana disebutkan dalam UU Sisdiknas bahwa pendidikan di daerah harus mengacu pada Sisdiknas dalam hal jalur, jenis, jenjang pendidikan, kurikulum nasional, maupun evaluasi belajar yang bersifat nasional. Bahkan pasal 31 UUD 1945 (hasil amandemen 2002, ayat 3) dijelaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan imtaq, serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, daerah harus memahami –meskipun ada otonomi pendidikan– tidak berarti boleh bebas mengelola pendidikan di daerah masing-masing.
Meskipun hasil otonomi pendidikan di Indonesia belum tampak jelas, karena baru memasuki babak awal, tidak mustahil kejadian-kejadian di negara lain yang telah menerapkan otonomi pendidikan terlebih dulu, juga akan menimpa Indonesia, jika penanganannya tidak serius dan budaya korupsi tidak diberantas.
Di era otonomi pendidikan, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dianggap sebagai suatu model yang paling ideal. Oleh karena itu, pemerintah mensosialisasikan terus model tersebut, meskipun namanya agak berbeda, yaitu MPMBS, singkatan dari Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Maksudnya, dalam melaksanakan MBS, penekanannya adalah peningkatan mutu pendidikan. Untuk kepentingan tersebut, pemerintah telah mengucurkan dana pada sekolah-sekolah yang dijadikan model dan uji coba.
Terkait dengan itu, Slamet dkk. (2001), mengutarakan bahwa terjadi perubahan pada manajemen pendidikan dari pola lama menuju pola baru, misalnya dalam pengambilan keputusan tadinya terpusat, kini menjadi demokratis partisipatif. Selain itu, bila tadinya peraturan terkesan berlebih-lebihan, kini diadakan pengaturan kembali yang lebih luwes. Bila tadinya menghindari risiko, kini risiko yang ada dikelola sehingga dapat dikendalikan.
Manajemen Berbasis Sekolah
Menurut Mulyasa (2004), MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat), dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.
Pada MBS itu, sekolah dituntut secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggunjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Adapun tujuan MBS adalah untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Pengelolaan sekolah dilakukan secara jujur, terbuka, demokratis, dan melibatkan semua unsur yang ada di sekolah. Berikut berbagai jawaban dari pertanyaan ”Mengapa MBS perlu?”
1)      Mengalihkan keputusan dari pusat maupun dinas pendidikan propinsi, maupun dinas pendidikan kabupaten/kota ke  sekolah sebagai unit yang independen (otonomi);
2)      Sekolah dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya;
3)      Sekolah menjadi milik masyarakat yang peduli terhadap keberadaannya, serta dana dan penggunaannya.
Dalam konsep MBS ini, pemerintah pusat, tidak diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah. Pemerintah pusat hanya diperbolehkan dan dipersilahkan untuk memberikan kebijakan-kebijakan dalam persoalan tersebut, khususnya dalam bidang mutu dan pemerataan. MBS yang ditawarkan, merupakan suatu bentuk operasional otonomi pendidikan, yang akan memberikan wawasan baru terhadap sistem yang sedang berjalan selama ini. Karena siswa biasanya datang dari berbagai latar belakang dan tingkat sosial yang berbeda. Salah satu perhatian sekolah harus ditujukan pada asas pemerataan, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik (Mulyasa, 2004) . Di sisi lain, sekolah juga harus meningkatkan efisiensi, partisipasi, mutu, serta harus bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah.
Pemberian otonomi pendidikan yang luas pada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat, serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah, agar dapat mengakomodasikan seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif, untuk mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah.
MBS merupakan suatu manajemen terapan yang berorientasi pada pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan pada unit sekolah dengan melibatkan peranserta masyarakat secara aktif dengan komponen penyelenggara pendidikan. Karena pelibatan masyarakat secara aktif dalam pengelolaan pendidikan, maka yang bertanggung jawab pada dunia pendidikan bukan saja penyelenggaranya, tetapi juga masyarakat, di samping pemerintah tentunya. Dengan pelibatan masyarakat secara aktif, diharapkan mutu pendidikan dapat ditingkatkan. Bentuk kepedulian tersebut bukan saja dalam hal penggalian dana dan penggunaannya bagi sekolah, tetapi juga tentang kurikulum, ketenagaan, maupun mutu pendidikan. oleh karena itu, peran masyarakat dalam pendidikan semakin nyata dan penting.
Malen, Ogawa, dan Krans (dalam Duhou, 2002) mengemukanan bahwa MBS merupakan suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada retribusi kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana penting, sehingga peningkatan dapat didorong dan ditopang. Pengambilan keputusan di sekolah bukannya dilakukan oleh kepala sekolah secara mandiri, tetapi dilakukan secara demokratis dengan melibatkan secara aktif unsur guru, UPTD, siswa, orangtua siswa, dan masyarakat yang diwakili dalam keanggotaan Komite Sekolah. Kewenangan yang diberikan kepada masing-masing sekolah, diharapkan akan mengantarkan setiap sekolah menjadi mandiri, mengarahkan pengembangan, dan menyesuaikan secepatnya terhadap lingkungan masyarakat, khususnya dalam hal perubahan yang terjadi.
Sekolah swasta, yang telah menerapkan konsep MBS sejak lama (tidak semua sekolah swasta) pada umumnya memiliki manajemen sekolah yang baik, dan akan mampu bertahan dalam persaingan pendidikan di daerah masing-masing. Karakteristik juga terlihat pada sekolah yang menerapkan MBS, yaitu senantiasa memiliki mutu yang relatif "baik."
Menurut Duhou (2002) dan Umaedi (1999), unsur-unsur yang termasuk didesentralisasikan dalam MBS adalah: (a) pengetahuan (kurikulum, tujuan, dan sasaran pendidikan) (b) teknologi (mengenai sarana/prasarana pembelajaran); (c) kekuasaan/power (kewenangan dalam pembuatan keputusan) ; (d) material (fasilitas, sekolah); (e) manusia (pengembangan profesionalis; (f) waktu (keputusan mengenai alokasi waktu; (g) keuangan (penggalian, pengelolaan, dan penggunaan uang). Dengan didesentralisasikannya butir-butir tersebut, maka sebagian besar kewenangan yang tadinya berada di pusat (Jakarta), kini beralih ke daerah otonom.
Menurut Samani (1999), Umaedi (1999) dan Duhou (2002) kelebihan MBS dapat dijelaskan berikut:
1)      Kebijakan pendidikan dapat dirancang di sekolah, disesuaikan dengan kondisi serta kemampuan SDM yang ada. Dengan demikian, tujuan sekolah dapat dicapai secara efisien dan efektif;
2)      Sekolah dapat secara bebas menggali dana masyarakat, serta melakukan kerja sama dengan pihak lain tanpa terikat peraturan yang ketat, yang pada masa sebelumnya merupakan kendala. Pihak luar lebih bersedia untuk menggalang kerja sama dengan sekolah, karena terbebas dari campur tangan pemerintah;
3)      Sekolah dapat melakukan akuntabilitas secara mantap, yaitu berupa pertanggungjawaban pelaksanaan pendidikan terhadap para penyandang dana, khususnya pada masyarakat dan stake holder.
4)      Sekolah dapat dikelola secara unik, sesuai dengan lingkungan sosial sekolah dan dapat tumbuh sesuai dengan keunikan daerah masing-masing.
5)      Sekolah beserta lingkungannya dianggap sebagai suatu yang unit dalam hal perencanaan, pengambilan keputusan, dan manajemen yang mandiri, bukan sekedar pelaksana dari program standar yang dirancang dari atas.
6)      Sekolah sebagai unit utama peningkatan mutu pendidikan, diperkirakan akan dapat memberikan kontribusi terhadap seluruh unsur pengelola pendidikan, yaitu kepala sekolah, guru, dan UPTD untuk bertindak lebih profesional.
7)      Sekolah, sebagai institusi penyedia layanan jasa pendidikan tidak lagi dapat dipandang sebagai komponen tunggal yang terpisah dari harapan atau aspirasi masyarakat sebagai pelanggan jasa pendidikan.
8)      Sekolah merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat, sehingga dalam pengelolaan sekolah, unsur masyarakat harus diikutsertakan secara aktif.
Berkenaan dengan kelebihan-kelebihan MBS, dapat diutarakan, bila TPK masih kurang memiliki kompetensi yang memadai, adalah kewajiban sekolah untuk meningkatkannya melalui pendidikan formal, penataran, pelatihan, lokakarya, studi banding, dan sebagainya. Karena lingkungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari organisasi sekolah, maka sudah selayaknyalah dalam merancang kegiatan sekolah juga mempertimbangkan kondisi lingkungannya. Sekolah merupakan institusi yang paling tahu dan memiliki data paling akurat tentang sekolah dan lingkungannya.
Dalam merancang kegiatan di sekolah, seyogyanya masyarakat, khususnya yang mewakili dalam Komite Sekolah, benar-benar dapat berperan aktif, sehingga perannya dapat menyumbang terhadap mutu pendidikan. Hubungan antara sekolah dan masyarakat dikelola secara baik, dan dapat saling memberikan manfaat. Tentang pelaksanaan MBS, Iswanto (1999) menambahkan, bahwa dalam pelaksanannya, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian, antara lain:
1)      Sekolah harus mampu mengelola sumber daya secara transparan, demokratis, tanpa monopoli, dan bertanggung jawab terhadap masyarakat dan pemerintah;
2)      Pemerintah berhak merumuskan kebijakan-kebijakan yang menjadi prioritas nasional, serta menetapkan pedoman umum tentang pelaksanaan MBS;
3)      Dibentuk komite sekolah, yang terdiri atas orangtua dan masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam keputusan sekolah.
4)      MBS menuntut perubahan tingkah laku kepala sekolah, guru, dan UPTD dalam pengoperasian sekolah. Mereka harus profesional.
5)      Untuk mendapatkan SDM yang profesional diperlukan training, retraining, pusat pengembangan profesi, serta pemasyarakatan MBS.
Pendidikan merupakan jasa yang ditawarkan kepada masyarakat. Bila masyarakat menghendaki layanan pendidikan dengan mutu yang baik, maka masyarakat harus bersedia memberikan imbalan (dana) yang sesuai dengan layanan pendidikan. Guru dan UPTD sekolah adalah tenaga profesional, yaitu memiliki keahlian yang diperoleh dari pendidikan formal yang memerlukan waktu yang cukup panjang, dan senantiasa diperbarui melalui penataran, pelatihan, seminar, dan kegiatan ilmiah lainnya. Oleh karena itu, kepadanya patut diberikan imbal jasa yang pantas agar bisa hidup dengan layak di tengah-tengah masyarakat.

Evaluasi MBS
Pemerintah, telah mengujicobakan MBS pada beberapa sekolah untuk dijadikan sekolah percobaan. Program pemerintah tersebut dinamakan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Penelitian-penelitian tentang MBS telah dilakukan oleh beberapa peneliti, di antaranya dilakukan Nasip (2004) terhadap 3 SMPN Rintisan di Kabupaten Lombok Tengah, NTB. Temuan-temuan yang diperoleh dari penelitian tersebut antara lain:
1)      Ada beberapa langkah yang dilakukan sekolah dalam menyusun program dan rencana anggaran yaitu: (a) menyusun visi, misi, dan tujuan sekolah; (b) mengidentifikasi tantangan nyata; c) menentukan sasaran; d) mengidentifikasi fungsi-fungsi; (e) melakukan analisis SWOT; (f) menentukan alternatif langkah pemecahan persoalan, dan RKAS. Pihak yang terlibat dalam penyusunan RKAS. adalah Kepala Sekolah, Wakasek/Urusan, wakil guru (guru senior), dari berbagai matapelajaran, dan wakil UPTD.
2)      Ada empat upaya yang dilakukan sekolah berkaitan dengan pelaksanaan program kerja MPMBS yaitu: (a) memotivasi warga sekolah dengan cara memberikan insentif, menghargai hasil kerja, melibatkan pada berbagai kegiatan agar mereka terdorong untuk bekerja secara optimal; (b) menjalin hubungan kerja sama antarwarga sekolah dan masyarakat agar tercipta rasa saling pengertian dan tanggung jawab dalam meningkatkan mutu pendidikan; (c) kepala sekolah melakukan supervisi kepada para guru dan staf UPTD dengan cara observasi dan kunjungan kelas serta melalui rapat guru. Tujuannya adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja para guru dan staf UPTD, dan (d) pemantauan dan evaluasi baik secara langsung oleh Kepala Sekolah maupun oleh Wakil Kepala Sekolah agar program kerja dapat berjalan sesuai rencana.
3)      Implementasi program MPMBS pada sekolah-sekolah yang diteliti mempunyai dampak positif pada: (a) pengelolaan pembelajaran yang lebih aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan; (b) adanya perencanaan yang partisipatif dan keberanian mengevaluasi diri; (c) adanya diversifikasi pengelolaan kurikulum; (d) adanya kemandirian dalam pengelolaan ketenagaan; (e) pengelolaan fasilitas yang lebih otonom; (f) pengelolaan keuangan menjadi lebih efektif dan transparan.
4)      Implementasi program MPMBS pada sekolah-sekolah tersebut berpengaruh terhadap adanya peningkatan partisipasi orangtua dan masyarakat. Tumbuhnya partisipasi orangtua dan masyarakat sebagai buah dari keberanian sekolah-sekolah tersebut dalam membuka diri dan transparannya manajemen sekolah.
5)      Sekolah-sekolah yang ber-MPMBS mendapat dukungan dari semua pihak terkait karena keputusan-keputusan sekolah rintisan diambilkan melalui proses yang bersifat partisipatif, artinya dalam membuat keputusan melibatkan pihak-pihak terkait.
6)      Dalam implementasi program MPMBS pada sekolah-sekolah tersebut, terdapat faktor pendukung dan penghambat.
(1) Faktor pendukung: (a) jumlah guru sudah memadai; (b) motivasi yang tinggi dari guru, karyawan serta siswa untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah  terlihat dari kedisiplinan mereka di dalam melaksanakan tugasnya; (c) Adanya dana CTL dari pemerintah; (d) adanya dukungan orangtua; (e) lokasi sekolah yang cukup strategis; (f) adanya jalinan komunikasi dan kerjasama semua komponen yang terlibat dalam pelaksanaan program kerja MPMBS khususnya koordinator program; (g) terbentuknya komite sekolah sebagai pengganti BP3 yang kepengurusan dan anggotanya lebih luas dan kualitas SDM-nya lebih baik (h) faktor kepemimpinan kepala sekolah yang baik serta tidak alergi dengan inovasi yang ada dalam perkembangan pendidikan.
(2) Faktor penghambat: (a) tingkat ekonomi sebagian siswa rendah; (b) kebiasaan siswa yang tidak tertib; (c) jarak rumah dengan sekolah sebagian siswa lumayan jauh; (d) sangat sulit untuk merubah pola pikir dari birokratik sentralistik menjadi otonomi dan partisipatif; (e) masih terjadinya perbedaan persepsi tentang konsep program MPMBS baik antara komponen yang ada di sekolah maupun antara sekolah dengan pemerintah dan masyarakat; (f) jumlah ruang kelas yang masih belum memadai sehingga proses pembelajaran masih double shift.
9)      Berbagai upaya yang dilakukan sekolah dalam mengatasi berbagai hambatan lebih diarahkan pada pemberdayaan warga sekolah dan masyarakat setempat. Dengan cara mengoptimalkan pemanfaatan sumber insani dan material yang ada. Selain itu, upaya yang dilakukan tidak hanya menyelesaikan masalah yang bersifat sesaat (jangka pendek), tetapi juga bersifat mencegah agar masalah tersebut tidak muncul kembali di masa yang akan datang (jangka panjang).
Gejala Penyimpangan Pelaksanaan MBS
Pada awal pelaksanaan MBS, pemerintah mengujicobakan pada beberapa SMP, dengan mengucurkan dana untuk meningkatkan mutu pendidikan. Meskipun sebagian hasil ujicobanya bagus dan berhasil, namun Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan dampak negatif pada pelaksanaan MBS (JP, 21 Nop. 2003), antara lain adalah terjadinya otonomi korupsi di tingkat sekolah, pelakunya adalah kepala sekolah yang berkolusi dengan komite sekolah. Korupsi itu terjadi sebagai dampak dari besarnya hutang maupun hibah dari luar negeri. Sebagaimana diketahui, dunia pendidikan kita mendapatkan kucuran dana yang besar untuk melakukan reformasi di bidang pendidikan. Seharusnya, dana yang diterima diefektifkan pemakaiannya oleh sekolah.
Di sisi lain, ternyata guru dan masyarakat masih banyak yang belum tahu atau paham tentang MBS, padahal mereka adalah ujung tombak pendidikan. Menghadapi fakta ini, seyogyanya pemerintah, terutama pihak sekolah secepatnya turun tangan untuk mensosialisasikan MBS kepada masyarakat luas, khususnya kepada para guru sebagai pelaksana pendidikan yang berada di garis depan, yang berhadapan langsung dengan siswa.
Komite sekolah muncul bukan karena kebutuhan masyarakat, tetapi kewajiban yang ditekankan pemerintah pada sekolah. Bahkan jalan pintasnya, BP3 yang mewakili orangtua siswa, namanya langsung dirubah menjadi Komite Sekolah. Benar-benar langkah yang praktis dan ekonomis, tetapi tidak menggambarkan kreativitas yang mengarah pada perbaikan mutu pendidikan. Fenomena seperti itu tampaknya masih dapat disalahpersepsikan, sebagai salah satu bentuk campur tangan pemerintah terhadap manajemen sekolah.
Penelitian tentang MBS juga dilakukan di beberapa negara lain oleh Fiske, 1996 (dalam Supriyadi, 2003) , tetapi hasilnya juga tidak memuaskan. Misalnya saja yang ditemukan di Argentina, Colombia, Meksiko, dan Tansania, hasilnya benar-benar tidak menggembirakan. Temuan penelitiannya menunjukkan bahwa tidak terbukti adanya akumulasi meningkatnya sumber daya pendidikan, yang digali dari masyarakat dan pemerintah daerah. Hasil desentralisasi dan sentralisasi pendidikan tidak berbeda. Bahkan, di Chili, dampak desentralisasi pendidikan ini menunjukkan mutu pendidikan malah menurun 14% untuk bahasa Spanyol, dan 6% untuk Matematika. Kesenjangan mutu antar sekolah semakin melebar. Hal sejenis juga terjadi di Tansania, dan di sekolah-sekolah Amerika (Carnoy, 1993).
Karena pengelolaan MBS yang diduga menyimpang, di Pilipina misalnya, desentralisasi di bidang pendidikan diikuti dengan sangsi yang berat terhadap setiap pelanggaran dalam pengelolaan pendidikan, khususnya dalam penggunaan dana. Kini Indonesia tengah meniru langkah Philipina, dengan menghukum seberat-beratnya para pelaksana pendidikan, terutama Kepala Sekolah yang menyelewengkan dana dan tidak mempertanggungjawabkan secara layak.
Penutup
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan salah satu alternatif yang dianggap terbaik dalam rangka pelaksanaan otonomi pendidikan. Keputusan untuk sekolah dilakukan oleh sekolah dengan melibatkan semua pihak yang ada di sekolah serta mereka yang berkepentingan dengan sekolah, secara demokratis.
Otonomi daerah diharapkan dapat menghembuskan angin segar bagi terlaksananya otonomi pendidikan di sekolah. Selain itu, pemerintah kabupaten/kota diharapkan terus dan terus menyisihkan dan menambah APBD-nya dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Bagi para pelanggar aturan, baik dalam rangka otonomi daerah maupun otonomi pendidikan, harus dikenakan sanksi yang sesuai dengan pelanggarannya. Intinya, dalam era reformasi ini, unsur-unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dikikis habis, agar tidak merugikan rakyat banyak.
Otonomi pendidikan tidak selalu berdampak positif, karena itu semua komponen yang terlibat dalam kegiatan otonomi pendidikan harus bekerja keras dan serius, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Beberapa negara lain tidak berhasil dalam menyelenggarakan otonomi pendidikan, sehingga hasilnya tidak memuaskan. Indonesia harus berusaha agar kegagalan MBS di negara-negara lain tidak terulang di dunia pendidikan kita.
Dalam mensosialisasikan program MPMBS hendaknya menggunakan berbagai media seperti surat kabar, buletin sekolah, bahkan tidak menutup kemungkinan melalui media elektronik (televisi, radio, internet).
Dalam meningkatkan kualitas SDM, hendaknya tidak hanya ditujukan kepada guru, tetapi juga tenaga kependidikan. Upaya pengembangan tersebut tidak hanya mengandalkan melalui pendidikan formal dan penataran tetapi sekolah harus mampu membuat program kegiatan pengembangan yang dilaksanakan di sekolah, seperti mengadakan seminar, lokakarya, penelitian, peningkatan kegiatan MGMP, dan lain-lain.
Kepala Sekolah harus lebih memberi kepercayaan kepada bawahannya untuk melakukan perubahan- perubahan (pembaharuan yang inovatif) . Terkait dengan ini, guru harus berani melakukan terobosan-terobosan baru seperti menerapkan berbagai pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran terkini.
Untuk mencukupi kebutuhan dana, sekolah harus pandai menggali dana dari berbagai sumber yaitu dari pemerintah, orangtua siswa, maupun masyarakat. Upaya yang dilakukan tidak hanya mengandalkan dari pemberian bantuan, akan tetapi lebih dari itu, sekolah harus mampu berwirausaha seperti membuka koperasi sekolah, toko, wartel, menyewakan gedung dan halaman untuk kepentingan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Duhou, Ibtisan Abu. 2002. School Based Management. Logos. Jakarta.
Iswanto, Budi. 1999. Otonomi Daerah, implikasi Bagi Pengelolaan Pendidikan. Universitas Negeri Malang.
Depdiknas. 2003. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional & PP 61 tahun 1999. Citra Umbara. Bandung.
Bafadal, Ibrahim. 1999. Otonorni Daerah Di Bidang Pendidikan: Mereka Formula, Dampak, Masalah, dan Solusinya Menuju Penyelenggaraan Pendidikan yang Lebih Baik. Universitas Negeri Malang.
Samani, Muchlas. 1999. School Based Management: Strategi Pemberdayaan Sekolah Dalam Kerangka Desentralisasi Pendidikan Menuju Pendidikan yang Berkualitas. Universitas Negeri Malang.
Mulyasa, E. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Nasip. 2004. Implementasi Program Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) Pada SMPN Rintisan di Kabupaten Lombok Tengah. Tesis S-2 Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana, UNESA.
Redaksi. 2003. Dampak Negatif Pelaksanaan MBS.11 Jawa Poss, 21 Nopember.
Hamijoyo, Santosa S. 1999. Pola 0tonomi Daerah yang efektif dan Efisien untuk
Diimplementasikan dalam Bidang Pendidikan.Universitas Negeri Malang.
Slamet, dkk. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 1: Konsep dan Pelaksanaan. Depdiknas, Ditjen Dikdasmen, Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Jakarta.
Umaedi. 1999. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Depdikbud. Jakarta.