A. Rasional
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dimaksudkan untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan, serta efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global yang mencuat. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan nasional (MPN), pemerintah telah menetapkan delapan standar nasional pendidikan yang harus menjadi acuan, sekaligus kriteria dalam menetapkan keberhasilan penyelenggaran pendidikan nasional. Delapan standar nasional pendidikan yang dimaksud meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan[1].
Salah satu standar yang berkaitan langsung dengan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan ialah standar pendidik dan tenaga kependidikan, khususnya guru. Guru sebagai tenaga profesional bertugas mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, guru sebagai tenaga profesional wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi, serta sehat jasmani dan rohani.
Kualifikasi akademik untuk guru ialah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi dan dibuktikan dengan kepemilikan ijazah yang mencerminkan kemampuan akademik yang relevan dengan bidang tugasnya. Kompetensi guru adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan[2]. Ini menunjukkan bahwa standar kualifikasi akademik dan kompetensi (SKAK) guru telah ditetapkan, baik guru TK/RA, guru SD/MI, guru SMP/MTs, guru SMA/MA maupun guru SMK untuk kelompok mata pelajaran normatif dan adaptif.
Pencapaian SKAK guru dibuktikan melalui sertifikat profesi guru yang diperoleh melalui program sertifikasi. Dengan kata lain, sertifikasi adalah proses untuk mengukur dan menilai pencapaian SKAK minimal yang dicapai oleh seorang guru. Guru profesional yang memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi yang memenuhi standar akan mampu mewujudkan mutu pendidikan nasional (MPN). Oleh karena itu, program sertifikasi merupakan salah satu program utama untuk meningkatkan MPN.
B. Paradigma Profesi Guru
Ada banyak faktor yang berperan urgensif dalam mengusung MPN di republik ini. Salah satunya ialah tersedianya sosok guru yang
berkompeten yaitu memiliki empat kompetensi yang dipersyaratkan oleh UGD seperti kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Guru merupakan pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik[3]. Jika ke empat kompetensi ini telah disandang dan melekat kuat pada sosok guru, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama obsesi mutu pendidikan yang kerap digaungkan selama ini akan dapat dicapai. Artinya, dapat digeneralisasi ‘kasar’ bahwa salah satu faktor yang diduga sebagai biang rendahnya MPN diantaranya ialah guru, karena masih ada sebagian guru yang tidak kompeten. Lalu muncul pertanyaan retorik “mengapa guru tidak kompeten? Jawabannya amat bervariasi dan sangat tergantung pada ‘kaca mata’ yang Anda gunakan. Namun, jika dipandang pada perspektif yuridis karena masih ada (bahkan banyak) guru yang tidak memahami secara akurasi tugas yang diembannya sebagai profesi yang seharusnya profesional yakni untuk meningkatkan martabat (bukan untuk peningkatan kesejahteraan) dan perannya sebagai agen pembelajaran dalam meningkatkan MPN. Atau memang mereka pura-pura tidak memahami dengan berbagai dalih klasik yang menurut hemat penulis tidak berterima lagi pada era milenium ini.
berkompeten yaitu memiliki empat kompetensi yang dipersyaratkan oleh UGD seperti kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Guru merupakan pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik[3]. Jika ke empat kompetensi ini telah disandang dan melekat kuat pada sosok guru, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama obsesi mutu pendidikan yang kerap digaungkan selama ini akan dapat dicapai. Artinya, dapat digeneralisasi ‘kasar’ bahwa salah satu faktor yang diduga sebagai biang rendahnya MPN diantaranya ialah guru, karena masih ada sebagian guru yang tidak kompeten. Lalu muncul pertanyaan retorik “mengapa guru tidak kompeten? Jawabannya amat bervariasi dan sangat tergantung pada ‘kaca mata’ yang Anda gunakan. Namun, jika dipandang pada perspektif yuridis karena masih ada (bahkan banyak) guru yang tidak memahami secara akurasi tugas yang diembannya sebagai profesi yang seharusnya profesional yakni untuk meningkatkan martabat (bukan untuk peningkatan kesejahteraan) dan perannya sebagai agen pembelajaran dalam meningkatkan MPN. Atau memang mereka pura-pura tidak memahami dengan berbagai dalih klasik yang menurut hemat penulis tidak berterima lagi pada era milenium ini.
Anda harus ingat dan merevitalisasi bahwa hakikat dari profesi ialah sebuah pernyataan dan pernyataan itu merupakan janji seseorang yang mengabdikan dirinya pada suatu jabatan atau layanan –yang menjadi sumber penghasilan kehidupan– karena ia merasa terpanggil menjabat pekerjaan itu. Profesionalitas (bukan profesionalisme) guru tentu telah dibangun dengan susah payah melalui kompetensi yang secara nyata diperlukan dalam menyelesaikan pekerjaan yang digelutinya. Jika ini tidak difahami secara utuh tentu obsesi awal pendidikan kita akan macet dan bahkan gagal memanusiakan manusia. Jika yang terjadi sebaliknya, maka akan lahir anak bangsa yang mumpuni, yang ahklakul qarimah sebagai profil pendidikan yang bermutu.
Pengembangan profesionalitas guru meliputi peningkatan kompetensi
kinerja (performance), kesejahteraan, dan moralitas. Saat ini, diharapkan guru yang mampu memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi serta
berubah peran menjadi fasilitator yang membelajarkan siswa sampai menemukan
sesuatu. Selain itu, guru hendaknya bersikap demokratis serta menjadi profesional
yang mandiri dan otonom. Bukan untuk mencari-cari kelemahan orang lain. Pengalaman penulis dalam memimpin sebuah SMP menunjukkan bahwa kerja guru 60% membangun negatif tinking dan hanya 40% untuk peningkatan mutu. Sehubungan dengan ini, guru harus siap diuji kompetensinya
secara berkala agar kinerjanya tetap memenuhi syarat profesional yang terus
berkembang. Untuk masa depan profil kelayakan guru akan ditekankan pada aspek kemampuan membelajarkan, yang dimulai dari menganalisis, merencanakan/merancang, mengembangkan, dan mengimplementasikan serta memenuhi pembelajaran yang berbasis pada penerapan teknologi pendidikan[4]. Profesionalisasi dalam bidang kependidikan mengandung arti peningkatan segala
daya dan usaha dalam rangka pencapaian secara optimal layanan yang diberikan
oleh masyarakat. Dengan demikian, guru harus mampu secara tepat
menggunakan pertimbangan profesional dalam bertindak dan menjawab segala
tantangan yang dihadapi.
kinerja (performance), kesejahteraan, dan moralitas. Saat ini, diharapkan guru yang mampu memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi serta
berubah peran menjadi fasilitator yang membelajarkan siswa sampai menemukan
sesuatu. Selain itu, guru hendaknya bersikap demokratis serta menjadi profesional
yang mandiri dan otonom. Bukan untuk mencari-cari kelemahan orang lain. Pengalaman penulis dalam memimpin sebuah SMP menunjukkan bahwa kerja guru 60% membangun negatif tinking dan hanya 40% untuk peningkatan mutu. Sehubungan dengan ini, guru harus siap diuji kompetensinya
secara berkala agar kinerjanya tetap memenuhi syarat profesional yang terus
berkembang. Untuk masa depan profil kelayakan guru akan ditekankan pada aspek kemampuan membelajarkan, yang dimulai dari menganalisis, merencanakan/merancang, mengembangkan, dan mengimplementasikan serta memenuhi pembelajaran yang berbasis pada penerapan teknologi pendidikan[4]. Profesionalisasi dalam bidang kependidikan mengandung arti peningkatan segala
daya dan usaha dalam rangka pencapaian secara optimal layanan yang diberikan
oleh masyarakat. Dengan demikian, guru harus mampu secara tepat
menggunakan pertimbangan profesional dalam bertindak dan menjawab segala
tantangan yang dihadapi.
C. SKAK, Mutu Pendidikan Nasional dan Kenyataan
MPN yang tercermin dalam kompetensi lulusan satuan pendidian dipengaruhi oleh berbagai komponen yang saling kait-mengkait, seperti proses, isi, guru, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Pencapaian kompetensi lulusan yang memenuhi standar hendaknya didukung oleh isi dan proses pendidikan yang juga memenuhi standar. Perwujudan proses pendidikan yang berkualitas dipengaruhi oleh kinerja guru, kualitas, dan kuantitas sarana dan prasarana, kualitas pengelolaan, ketersediaan dana, dan sistem penilaian yang valid, objektif dan tegas. Oleh karena itu perwujudan MPN hendaknya didukung oleh isi dan proses pendidikan yang memenuhi standar, guru yang memenuhi SKAK agar berkinerja optimal, serta sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan yang memenuhi standar.
Secara konseptual, kinerja guru selain ditentukan oleh SKAK juga ditentukan oleh kesejahteraan, karena kesejahteraan yang memadai akan memberi motivasi kepada mereka untuk melakukan tugas profesionalnya secara sungguh-sungguh. Kesungguhan seorang guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya akan sangat menentukan perwujudan pendidikan nasional yang bermutu, karena mereka merupakan agen pembelajaran yang akan menjadi modelling bagi siswanya, baik dalam lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Kenyataan menunjukkan bahwa masih ada guru yang memaknai keliru terhadap istilah ‘kesejahteraan’. Mereka menganggap bahwa kesejahteraan identik dengan uang. Tidak jarang kita dengar pernyataan yang membandingkan besarnya nominal gaji guru di Indonesia dengan Malaysia dan dengan negara-negara lain yang sudah maju. Kemudian mereka membuat generalisasi bahwa kesejahteraan guru di Indonesia masih rendah. Mereka tidak sadar bahwa mereka sedang menanamkan optimistik dan kemalasan bekerja. Padahal, diberikan kesempatan untuk berlibur pada setiap akhir semester, kebijakan jumlah beban mengajar, dan sampai pada pemberian ijin untuk hal-hal yang bersifat sosial-kemasyarakatan merupakan kesejahteraan yang telah melebihi sejahteranya guru-guru di negara lain. Demikian pula pada tataran konstitusi, guru-guru di Indonesia telah diberi kesejahteraan yang super seperti antara lain melalui Undang Guru dan Dosen (UGD). Namun, kenyataan menunjukkan bahwa UGD telah menjadi Unit Gawat Darurat bagi sebagian guru kita.
Jika dimencermati, UU RI Nomor 14 Tahun 2005, jelas bahwa UU tersebut berintikan peningkatan kesejateraan guru yang ditandai oleh adanya tunjangan khusus, tunjangan fungsional dan tunjangan profesi pendidik. Namun harus disadari bahwa peningkatan kesejahteraan guru yang diamanatkan oleh UU tersebut bukan merupakan tujuan, tetapi lebih sebagai instrumen untuk meningkatkan kinerja guru agar berdampak terhadap peningkatan MPN. Peningkatan kesejahteraan bagi guru yang telah memenuhi SKAK akan berfungsi meningkatkan kinerja, tetapi peningkatan kesejahteraan bagi guru yang SKAK-nya belum memenuhi standar sulit diharapkan untuk berdampak terhadap peningkatan kinerja sesuai yang diharapkan. Oleh karena itu, khusus untuk tunjangan profesi guru hanya akan diterima oleh guru profesional yang ditandai dengan kepemilikan sertifikat profesi guru melalui program sertifikasi. Melalui program sertifikasi, akan terwujud guru profesional, yaitu guru yang minimal telah memenuhi SKAK dan kepada mereka akan diberi tunjangan profesi pendidik yang besarnya sama dengan satu kali gaji pokok, dan selanjutnya diharapkan bahwa mereka akan berkinerja optimal dan pada gilirannya akan mewujudkan MPN.
Sebaliknya kesejahteraan yang diberikan kepada guru yang belum memenuhi SKAK, sulit untuk mewujudkan kinerja yang optimal dan selanjutnya juga tidak akan berdampak terhadap peningkatan MPN. Oleh karena itu, memberian tunjangan profesi pendidik sebagai salah satu komponen kesejahteraan kepada semua guru tanpa sertifikasi tidak akan berdampak terhadap peningkatan kinerja guru dan dengan sendirinya juga tidak akan berdampak terhadap peningkatan MPN[5].
Dari uraian tersebut jelas bahwa sertifikasi akan berdampak terhadap peningkatan kinerja guru dan selanjutnya berdampak terhadap peningkatan MPN jika sertifikasi dapat dilakukan secara objektif dan valid. Artinya sertifikat profesi guru hanya diberikan kepada guru yang telah memenuhi SKAK dan benar-benar telah memiliki SKAK yang dipersyaratkan. Hal ini hanya akan terwujud apabila program sertifikasi dilakukan secara objektif dan valid. Selain itu, sertifikasi juga hendaknya berkeadilan, dalam arti prioritas kesempatan untuk mengikuti sertifikasi berdasarkan atas berbagai faktor yang merupakan indikator kualitas dan prestasi guru di sekolah, seperti kesenioran (usia, kualifikasi akademik, pengalaman akademik, kepangkatan), prestasi kerja sehari-hari yang dinilai oleh atasan dan teman sejawat, dan kinerja profesional yang diperlihatkan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Dengan demikian mudah dipahami bahwa program sertifikasi yang dilaksanakan secara objektif, valid, dan berkeadilan akan berpengaruh positif terhadap peningkatan kinerja guru dan selanjutnya akan berpengaruh positif terhadap MPN.
Selain ditentukan oleh kinerja guru, upaya MPN juga akan sangat ditentukan oleh pelaksanaan penilaian yang valid, objektif dan tegas, baik penilaian oleh guru dan satuan pendidikan maupun penilaian oleh pemerintah. Khusus penilaian oleh guru dan satuan pendidikan mempunyai peran yang penting, karena selain bertujuan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil pembelajaran secara berkesinambungan, juga bertujuan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa dalam rangka memelihara kontinuitas proses belajar siswa. Namun sangat disayangkan, ketika diakhir perjalanan siswa dalam menempuh suatu jenjang pendidikan akan dihadapkan pada ujian nasional yang konsepnya amat jauh dari formula authentic asessement. Hasil ujian nasional hingga tahun 2011 ini masih dijadikan sebagai dasar penetapan kelulusan siswa, kendati ada keterlibatan nilai sekolah. Selain itu, sekolah telah diberi kewenangan untuk menetapkan kelulusan, tetapi mengapa formula untuk memperoleh NA, besarnya porsentase keterlibatan NS lebih rendah (40%) daripada NUN (60%)? Mengapa pula porsentase NRR lebih rendah (40%) daripada Nilai Ujian Sekolah/NUS (60%) dalam perolehan NS? sementara NRR merupakan hasil authentic asessement dan US didominasi oleh uji domain kognisi. Hal-hal semacam ini menggambarkan bahwa sekolah masih menjadi subordinasi-birokrasi dari pemerintah pusat.
D. Program Sertifikasi Guru
Sertifikasi guru merupakan proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi SKAK dengan mengacu pada UU Nomor 14 Tahun 2005, PP Nomor 19 Tahun 2005, Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007, dan Permendiknas Nomor 18 Tahun 2007. Program sertifikasi guru ini diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah dan dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel[6]. Sertifikasi guru dalam jabatan yang telah memenuhi SKAK, yaitu pendidikan formal minimal Sarjana (S-1/A-IV) dan/atau Diploma 4 (D-4/A-IV) akan dilakukan melalui penilaian portofolio sebagai suatu bentuk uji kompetensi guru untuk menilai yang bersangkutan telah memenuhi SKAK yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional[7].
Penilaian portofolio dilakukan sesuai ketentuan pemerintah yang merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mendeskripsikan: (a) kualifikasi akademik, (b) pendidikan dan pelatihan, (c) pengalaman mengajar, (d) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (e) penilaian dari atasan dan pengawas, (f) prestasi akademik, (g) karya pengembangan profesi, (h) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (i) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan (j) penghargaan yang relevan dengan pendidikan. Guru dalam jabatan yang lulus penilaian portofolio akan mendapat sertifikat pendidik, sedangkan yang tidak lulus penilaian portofolio dapat: (a) melakukan kegiatan-kegiatan untuk melengkapi dokumen agar mencapai nilai lulus dan (b) mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru yang diakhiri dengan ujian, sesuai persyaratan yang ditentukan oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi[8].
Secara retoris dapat dipertanyaan: apakah kumpulan kertas dalam penilaian portofolio dapat menjamin kevalidan data?; dan apakah perguruan tinggi yang ditunjuk sudah dapat melaksanakan tugas seperti yang diamanatkan oleh permendiknas itu? Kita harus cermati bahwa ketika program sertifikasi ini digaungkan hingga implementasi, bermuncullah berbagai kegiatan seminar dimana-mana, dan lahir pula perguruan tinggi hingga ke desa-desa terpencil, semuanya bertajuk pendidikan. Masih dalam kategori baik jika mereka dengan serius dan benar mengikuti kegiatan dan perkuliahan itu, tetapi jika sekedar untuk mendapatkan legitimasi melalui sehelai kertas sertifikat seminar dan ijazah –yang tidak jelas ujung pangkalnya–, harapan apa yang dapat diperoleh.
Lebih unik lagi, sekitar pertengahan tahun 2010 kegiatan-kegiatan itu mulai surut dan bahkan menghilang. Walau praduga tak bersalah, hendaknya dicari tahu kenapa itu semua terjadi, padahal sebelumnya tidak pernah terjadi, Ada apa di baliknya? Seyogyanya sebelum program ini dilanjutkan hendaknya ditemukan terlebihdahulu jawaban dari pertanyaan di atas. Penulis khawatir dengan pola penilaian portofolio akan menjadi penyakit polio yang secara pelan akan menggerogoti MPN yang tengah kita usung bersama.
[1] Permendiknas Nomor 19 tahun 2005 tentang SNP
[2] Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru
[3] UU RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
[4] Asiatin, Kaptun. Pengembangan Profesionalitas Guru dan tenaga Kependidikan. Makalah UNJ. 2005
[5] Kapsi Asiatun dan Kokoh Komariah. Sertifikasi untuk Pengembangan profesionalisme Guru dan tenaga Kependidikan. Makalah UNJ, 2005, Hal. 3
[6] UU RI Nomor 14 Tahun 2005 Psl. 11 Ayat 2 dan 3
[7] Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Akademik dan Kompetensi Guru
[8] Permendiknas RI Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan tanggapan Anda di sini!