Selasa, 22 Februari 2011

Upacara 'Hanta U’a Pua' Sebagai Sejarah Masuknya Islam di Bima

Disari dari Prosesi Upacara Hanta U’a Pua 19 Februari 2011

         Sara Dana Mbojo yang kini dikenal dengan nama Majelis Adat Dana Mbojo merupakan forum partner kerja pemerintah daerah kabupaten Bima dalam melaksanakan hukum adat dan hukum agama dalam tatanan kehidupan masyarakat. Majelis ini berperan untuk membina dan meningkatkan kehidupan sosial budaya dan agama masyarakat Bima untuk terus menggali dan melestarikan falsafah kehidupan berbudaya dan bermasyarakat. Dihidupkannya kembali majelis ini (sejak tahun 2000), dimaksudkan untuk mengantisipasi arus globalisasi dan modernisasi yang tengah merambat dan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat Bima.
Majelis ini diketuai oleh Dr. Hj. Siti Mariam S. Salahuddin, SH, Wakil ketua Putra Mahkota Kesultanan Bima, H. Ferry Zulkarnain, ST bin Sultan H. Abdul Kahir II. Anggotanya terdiri atas lima Saraweki yang masing-masing bergelar Ruma Bumi Kaka, Ruma Bumi Runggu, Ruma Bumi Ncandi, Ruma Bumi Kae, dan Ruma Bonto Paja dan dibantu oleh 30 Sara Tua yang meliputi 11 Sara Hukum, dan 6 Bumi Pasisi dan Jena Luma. Salah satu tradisi yang tengah dihidupkan kembali ialah Hanta U’a Pua yang digelar setiap tahun pada Maulid Nabi Muhammad SAW.
U’a Pua (melayu; Sirih Puan) merupakan serumpun tangkai bunga telur berwarna-warni yang dimasukan ke dalam wadah bersegi empat. Jumlah bunga  99 tangkai sesuai dengan usma’ul husna kemudian ditengahnya diletakkan sebuah kitab suci Al-Quran.
U’a Pua ditempatkan ditengah-tengah sebuah rumah mahligai (Bima: Uma Lige) yang berbentuk segi empat berukuran 4x4 meter. Bentuk Uma Lige (UL) ini terbuka ke empat sisinya. Atapnya bersusun dua sehingga para penari lenggo Mbojo (empat orang gadis), dan penari Lenggo Melayu (empat orang perjaka), beserta para penghulu melayu dan pengikutnya yang berada di atas  UL dapat dilihat oleh seluruh masyarakat sepanjang jalan.
UL diusung oleh 44 orang pria berbadan kekar sebagai simbol keberadaan 44 DARI MBOJO yang terbagi menurut jenis keahlian dan keterampilan yang dimilikinya sebagai bagian dari struktur pemerintahan kesultanan Bima. Mereka start dari kampung Melayu menuju Istana Bima untuk diterima oleh Sultan Bima dengan amanah untuk memegang teguh pada ajaran agama Islam.
Sebelum acara inti, upacara adat ‘Hanta U’a Pua(HUP)’ dilaksanakan di Istana Kesultanan Bima pada tanggal 12 rabi’ul awwal. Pada malam harinya diselenggarakan dzikir Maulid yang diikuti oleh majelis Adat Dana Mbojo, pejabat pemerintah, dan masyarakat umum. Dzikir ini dilaksanakan untuk memperingati hari Maulid Nabi Besar Muhammad SAW. Sembari dzikir berlangsung, oleh beberapa orang dilakukan kegiatan pengirisan daun pandan membuat “bunga bareka” yakni pandan yang dicampur dengan kembang-kembang dan wangi-wangian yang akan dibagikan kepada peserta dzikir dan tetamu.
Beberapa hari kemudian, upacara adat HUP digelar dan disaksikan oleh seluruh masyarakat Bima. Upacara adat HUP ini merupakan iring-iringan UL yang diusung oleh 44 orang tiap sudutnya berjumlah 11 orang menggambarkan keberadaan 44 kelompok masyarakat dari Mbojo, yakni kelompok asli Dou Dana Mbojo sesuai dengan jenis keahliannya. Misalnya dari kelompok Ngali yang menjadi guru ngaji, dari kelompok Bedi menjadi tentara. UL tersebut membawa Penghulu Melayu yang mengantarkan rumpun Bunga Dolu 99 buah melambangkan 99 nama Allah Asma’ul Husna dan sebuah Al-Quran untuk disampaikan kepada Sultan Bima. Iring-iringan Penghulu Melayu terdiri atas empat putri penari Lenggo Mbojo dan empat putra penari Lenggo Melayu merupakan perpaduan seni budaya tradisional Bima dan Melayu. Diiringi pula oleh musik Genda Mbojo. UL diusung hingga depan serambi Istana yang sedah ditunggu oleh Sultan dan pembesar kerajaan serta tetamu lainnya.
Rombongan penghulu Melayu kemudian menyerahkan Bunga Dolu dan Al-Quran sebagai lambang perjanjian antara Sultan I yang masuk Islam, Sultan Abdul Kahir dengan pendekar pembawa agama Islam pertama di Bima yakni Datuk Ribanda dan Datuk Ditiro. Penghulu Melayu merupakan keturunan dari pendekar yang membawa Islam pertama kali di Bima.
Iring-iringan UL ini disambut Tari Sere yang mengantar UL sampai ke tangga Istana. Pada posisi depan masuklah Jara Wera yang berlari kencang mendahului UL. Menurut sejarah, para penumpangnya ialah pendekar yang menunjukkan jalan serta mengantar para Datuk yang datang dari Makasar menuju Bima melalui teluk Bima ketika pertama kali membawa ajaran Islam di kerajaan Bima. Itulah sebabnya jara Wera posisinya paling depan. Dibelakang pasukan Jara Wera diikuti pasukan Jara Sara’u yakni pasukan elit berkuda Kesultanan Bima sebagai pengawal kehormatan. Pasukan ini merupakan pasukan berkuda yang amat terampil menunggang, mengatur irama, dan gerak langkah kuda. Di tengah halaman Istana, kuda-kuda ini melakukan atraksi mempertontonkan keterampilan seni menarinya. Kuda-kuda jantan berbadan tinggi tegap ini dulunya pandai menari mengikuti irama tambur yang ditabuh bertalu-talu.
Disusul pasukan Prajurit Kesultanan Bima yang disebut Laskar Suba Na’e. Pasukan ini membawa peralatan perang berupa tombak dan tameng sebagai simbol kesiapsiagaan pasukan kerajaan dalam mengamankan negeri. Dibelakang pasukan Laskar Suba Na’e berjalan UL diiringi oleh keluarga besar kampung Melayu. Mereka ialah tamu kehormatan dalam upacara adat ini. Setelah UL tiba di tangga Istana, UL diturunkan untuk mengantarkan rumpun bunga Dolu dan Al-Quran yang diserahkan kepada sultan Bima.
Setelah penyerahan Al-quran lalu digelar Tari Lenggo Mbojo dan Lenggo Melayu dihadapan para undangan dan disaksikan oleh masyarakat umum. Diakhir acara, Bunga Dolu dibagikan oleh sultan kepada masyarakat Bima yang hadir sebagai simbol membagi berkah kepada rakyat sekaligus menandakan kerajaan sangat peduli kepada kemakmuran rakyatnya. Dengan berakhirnya pembagian Bunga Dolu, maka berakhir pulalah seluruh rangkaian upacara adat HUP.

1 komentar:

  1. sebuah warisan budaya yang perlu di wariskan kepada generasi berikutnya,,!!! klw di Dompu acara seperti itu yang berbau kebudayaan jarang di jumpai lagi,,!! mungkin saja pemerintah Dompu belum punya waktu untuk menghidupkan kembali kegiatan yang seperti itu karena masih sibuk dengan urusan pemerintahan yang sedang kacau balau..!!
    semoga saja dengan danya kegiatan yang di adakan oleh pemerintah Bima, akan bsa menggugah hati para pemimpin yang ada di Dompu, dan bsa ikut melestarikan kebudayaan para leluhurnya..!!

    BalasHapus

Berikan tanggapan Anda di sini!