Sabtu, 01 Januari 2011

Bahasa Bima (Tantangan dan Pemecahannya)

Disampaikan pada Seminar Nasional Bulan Bahasa di Mataram-NTB

Perubahan era globalisasi yang cukup pesat saat ini membawa dampak dalam berbagai tatanan kehidupan masyarakat Bima, termasuk terhadap bahasa dan sastra. Diduga sebagian masyarakat Bima telah mengalami perubahan sikap terhadap bahasa Indonesia. Akhir-akhir ini, bahasa Indonesia telah kehilangan pamornya(wibawa) pada sebagian masyarakat Bima. Mereka diduga telah berkurang respeknya(rasa hormat) terhadap bahasa Indonesia.
Di sisi lain, hasil pengamatan penulis pada sebagian masyarakat Bima, juga telah terjadi perubahan sikap terhadap bahasa daerahnya sendiri (bahasa Bima). Ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya generasi muda Bima yang sudah tidak mampu lagi berbahasa Bima, baik lisan maupun “tulisan”. Bahasa daerah hanya fasih dilafalkan oleh orang-orang tua.
Dahulu, umumnya masyarakat Bima berbahasa ibu bahasa Bima yang sebutan lokalnya nggahi Mbojo, sedangkan kini sudah banyak generasi Bima yang meskipun bersuku Bima asli justru menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Dengan demikian, keberadaan bahasa daerah kini sangat dilematis sehingga cenderung ke arah kepunahan.
Sikap masyarakat terhadap bahasa Bima juga tergambar dari perilaku orangtua dalam menurunkan bahasa pertama(bahasa ibu) di dalam keluarga. Ada orangtua yang menurunkan bahasa Bima sebagai bahasa pertama kepada anaknya, tetapi ada pula yang menurunkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Pertimbangan orangtua mengajarkan bahasa pertama bahasa Indonesia adalah untuk kepentingan kependidikan. Menurut mereka, jika anak sejak kecil diajarkan bahasa Bima, akan tertinggal dalam pendidikan terutama pendidikan dasar, mengingat bahasa pengantar di sekolah adalah bahasa Indonesia.
Dilematis memang, jika anak diajarkan bahasa pertama bahasa Indonesia. Ia akan mampu mengikuti proses pendidikan secara baik, tetapi secara tidak langsung merupakan suatu upaya sistematis terhadap pemusnahan bahasa daerah. Sebaliknya, jika anak diajarkan bahasa daerah sejak dini maka akan menjadi salah satu upaya melestarikan bahasa daerah, tetapi konsekuensinya terkendala dalam dunia pendidikan. Menyikapi kondisi demikian, sebagian orangtua berpendapat bahwa bahasa yang diajarkan kepada anak tergantung pada lingkungan berdomisilinya suatu keluarga. Jika lingkungan masyarakat sekitar mayoritas penutur bahasa Bima hendaknya anak diajarkan bahasa pertama bahasa Bima pula.
Secara geografis, sikap positif terhadap bahasa daerah mulai mendapat tantangan serius dilingkungan masyarakat perkotaan. Masyarakat kota yang heterogen memilih berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah. Hal ini dapat difahami karena bahasa Indonesia lebih bersifat netral, dan dapat dimengerti oleh semua suku yang ada di Indonesia.
Mengantisipasi pudarnya kepedulian masyarakat terhadap bahasa dan sastra daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten Bima melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayan, sejak tahun 1994 telah mengakomodir bahasa dan sastra daerah Bima ke dalam kurikulum Pendidikan Dasar sebagai salah satu materi submatapelajaran muatan lokal. Pada tahun yang sama (1994) telah disusun pula buku pelajaran bahasa dan sastra daerah Bima “Caha Tanao” sebagai solusi terhadap keluhan guru-guru atas kekurangan sumber belajar. Buku pelajaran tersebut disusun oleh guru-guru yang berkompeten dalam bidangnya yang dikemas dalam bentuk task. Namun sejauh ini program pengajaran bahasa Bima tersebut belum pernah dievaluasi. Apakah program tersebut memiliki dampak positif terhadap upaya pelestarian bahasa daerah. Realitanya sekarang dapat dirasakan betapa dari hari ke hari bahasa daerah secara perlahan akan pudar. Tidak dapat dipastikan apakah dua atau tiga generasi depan, masih eksis di daerah ini. Untuk menghindari punahnya bahasa dan sastra daerah terdapat beberapa alternatif, antara lain mengadakan studi atau penelitian tentang sikap masyarakat terhadap bahasa daerah, menyusun kurikulum muatan lokal bahasa dan sastra, melaksanakan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

3 komentar:

  1. assalamu alaikum.
    mungkin ada baiknya kita kembalikan keg. pembljrn kita ke pembljrn berbasis bhs bima. biar gr bhs indo nggak lagu. haa... haa....
    wassalam

    BalasHapus
  2. Wa'alaikum salam. Yaaah, boleh mungkin, boleh juga tidak, tergantung cara orang menyikapinya. Tapi ingat...! BAHASA MENUNJUKAN BANGSA. Andaikan dunia ini sudah sama dengan keinginan manusia, referensi itu tidak akan pernah ada. sayangnya dunia tidak pernah sama dengan keinginan manusia karena dari diri manusia sendiri, dunia itu tidak mempunyai makna. Sebagai manusia, tidak dapat menanggung sesuatu tanpa makna. Bahkan menyelidiki sesuatu yang tanpa makna pun sudah merupakan upaya untuk memberi makna. Bahasa (Bima, Sasak, Samawa, Indonesia, Inggris, dll) hadir untuk menanggapi dunia yang tanpa makna, dan menjadi sesuatu yang menyerupai kehendak manusia. Dengan bahasa manusia memberi jawaban atas sesuatu yang dianggap kurang atau tidak menyerupainya. Jadi bahasa apapun namanya PENTING

    BalasHapus
  3. buah simalakama. Kata-kata itu layak disematkan pada persoalan ini. dari satu sisi pemerintah berkeinginan agar BI bisa dijadikan sebagai alat komunikasi sehari-hari sehingga berulangkali kongres bahasa diadakan sebagai langkah awal untuk membina dan melestarikan BI itu sendiri, tapi disisi lain koq Bahasa Daerah (BD) juga turut digalakkan sebagai upaya untuk menjaga kepunahan. Mana yang seharusnya dikedepankan nih? kita tidak bisa menyalahkan orangtua yang sejak awal sudah mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. kan ini sebagai usaha untuk mengedepankan kepentingan yang lebih besar dan lebih bermanfaat bagi perkembangan kemajuan ini ke depan.

    BalasHapus

Berikan tanggapan Anda di sini!