Goresan sederhana ini diilhami oleh berbagai temuan studi pendidikan SMP/MTs. pada SMPN 5 Bandung, SMPN 1 Bekasi, dan SMPN 4 Bekasi yang telah diakui kemampuannya dalam menciptakan outcome yang kompetitif hingga era globalisasi yang tengah merebak di segala lini kehidupan ini, serta hembusan sistem otonomi daerah (Otda) yang menampilkan corak tertentu.
Saat ini dunia, pendidikan di kabupaten Bima ditantang untuk menjawab perubahan global yang terjadi begitu cepat, seperti perkembangan ilmu, pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS) dengan berbagai media informasi dan elektronika yang sangat hebat, pasar bebas (free trade), dan juga tenaga kerja bebas (free labour). Secara nasional, saat ini juga bangsa Indonesia –termasuk kabupaten Bima– dihadapkan pada fenomena yang dilematis, yakni rendahnya peringkat daya kolaboratif dan kompetitif yang dapat dipandang sebagai indikator, bahwa sebagian pendidikan di Indonesia belum mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang berkompeten seperti dilaporkan oleh the World Competitiveness Yearbook. Kendati sekolah-sekolah tertentu dikabupaten Bima telah mampu menunjukkan nyalinya, baik ditingkat nasional maupun internasional (baca prestasi SMPN 1 Bolo pada blog: http//smpn1bolo.blogspot.com).
Tantangan lainnya adalah penyerahan sebagian wewenang pusat kepada daerah melalui mekanisme Otda. Beberapa isu sentral yang mencuat ke permukaan terkait dengan pelaksanaan Otda. Salah satu diantaranya adalah bergesernya egoistik sektoral menjadi fanatiktis daerah. Konsekensi logisnya ialah termotivasi dan meningkatnya pola dan tatanan kinerja masing-masing daerah dalam meningkatkan pembangunan di segala lini kehidupan. Namun, kenyataan menunjukan bahwa pada sisi tertentu –bidang pendidikan misal– tampaknya belum dapat diusung optimal. Berbagai bukti menunjukkan, bahwa masih ada sekolah yang “belum” mampu membenahi diri dalam menata seluruh proses pendidikan dalam memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Menghadapi segala tantangan internal maupun eksternal, saat ini Pemerintah Daerah Kabupaten Bima, dalam hal ini sekolah sebagai perpanjangan tangan dari Dinas Dikpora diberikan angin segar untuk menata secara mandiri eksistensinya dalam memprakarsai perubahan-perubahan yang terjadi dalam mengemban tugas sebagai industri jasa penghasil sumberdaya manusia yang berkualitas, akhlakul qarimah, dan profesional sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja saat ini dan masa datang. Untuk itu, sekolah sebagai institusi pengelola langsung hendaknya segera berbenah diri untuk melakukan revitalisasi manajemennya dalam satu kemasan yang bersubstansi mutu layanan jasa yang ditawarkan kepada masyarakat, yang apabila dikaitkan dengan kebutuhan sumberdaya manusia di kabupaten Bima akan memperoleh dukungan positif.
Selanjutnya, dalam menghadapi permasalahan pembangunan, termasuk membangun insan Mbojo yang madani dengan motto taho mpara ndai, surampa dou labo dana. Dalam hal ini, sekolah tidak sekedar proaktif berpartisipasi dalam pembangunan material jangka pendek. Hendaknya berpegang teguh pada berbagai keyakinan yang secara fundamental memberikan watak pada misi pendidikan, yaitu perhatian mendalam pada etika moral (etmor) yang luhur, karena etmor merupakan power, sebuah kekuatan yang mampu mengembangkan potensi yang ada pada anak-anak kita. Ketika etmor ini dijadikan core dalam penyelenggaraan pendidikan, maka mutu outcome-pun dapat diusung pelan dan meyakinkan hingga mencapai titik ideal yang diharapkan .
Memang, akhir-akhir ini sudah banyak sekolah yang mampu menunjukkan kemampuan kinerjanya, namun jika diakumulasi dalam sebuah skala ukur SNP, tampakya masih berada pada level di bawah garis rerata. Ini adalah sebuah masalah yang perlu ditangani secara profesional, hati-hati, dan membutuhkan pikiran yang jernih, serta hati yang dingin dalam menemukan solusinya. Yang kita butuhkan sekarang ialah solution and action bukan ‘bicara’. Salah satu upaya menggapai tujuan tersebut adalah melaksanakan studi banding pada sekolah-sekolah yang sudah diakui kemampuannya. Hal ini sesuai sabda nabi Muhammad Saw: ut lubul ilma walau bissi in.
Berdasarkan wacana di atas, lalu muncul pertanyaan retorik “apanya yang kurang?” atau mungkin ada yang lebih ‘over confidance’!; Kenapa kebanyakan sekolah-sekolah dipulau Jawa, sebagian di pulau Sulawesi, dan sebagiannya lagi di Sumatra selalu lebih dari kita, lalu kenapa kita tidak bisa seperti mereka? Secara filosofi, jawabannya enteng saja ‘TERGANTUNG”, tergantung pada ‘kita’ semua.
Jika dipandang secara utuh dan ilmiah sebenarnya terdapat banyak faktor yang saling berhubungan satu sama lainnya sehingga membentuk suatu jalinan yang kompleks. Kekompleksan tersebut memungkinkan timbulnya masalah. Salah satu yang diduga sebagai biangnya adalah pola pengelolaan sekolah yang ‘mungkin’ belum berterima. Untuk menjawab, sekaligus sebagai solusi alternatif yang dapat ditawarkan ialah merevitalisasi pengelolaan sekolah sebagai implementasi dari hasil comparative study yang telah dilaksanakan oleh kepala-kepala sekolah/pengawas/Ka. UPT yang baru lalu.
Untuk memenuhi seluruh kebutuhan peningkatan mutu, kebijakan dasar yang perlu ditempuh oleh sekolah dalam rangka pembaruan sistem manajemen adalah merevitalisasi pengelolaan sekolah untuk meningkatkan outcome dengan langkah berikut: (1) melakukan perencanaan pengembangan dan pengendalian mutu berdasarkan pada evaluasi diri sekolah (EDS); (2) melakukan penataan kelembagaan agar bersinergi mewujudkan visi sekolah; (3) menyelenggarakan pendidikan dan proses pembelajaran (bukan KBM) secara efisien dan efektif; dan (4) menetapkan standar proses yang akan dimonitoring dan dievaluasi oleh badan penjaminan dan pengendalian mutu (Quality Assurance). Selain itu, penanaman konsep visi dan afeksi pada seluruh warga sekolah –terutama siswa¬– merupakan hal yang urgensif dan hendaknya ditanamkan lebih dini secara holistik dan kontinyu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan tanggapan Anda di sini!