Senin, 17 Januari 2011

Manakah yang benar, S2 atau S-2?

Penggunaan bahasa selama ini tampak tidak seragam dalam menulis jenjang pendidikan strata dua dan strata tiga pada program pascasarjana. Di satu pihak, ada yang menuliskannya dengan singkatan S2 dan S3 (tanpa tanda hubung), sementara yang lainnya menulis dengan S-2 dan S-3 (dengan tanda hubung). Manakah penulisan yang benar?
Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu dijelaskan bahwa – sesuai dengan kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan – tanda hubung mempunyai beberapa fungsi, antara lainnya ialah untuk merangkaikan:
a. Se- dengan kata berikutnya yang diawali dengan huruf kapital, misalnya se-pulau Sumbawa dan se-Indonesia;
b. Ke- dengan angka, misalnya ke-2, ke-7, dan ke-21;
c. Angka dengan –an, misalnya 2000-an, dan 5.000-an
d. Singkatan (huruf kapital) dengan imbuhan atau kata, misalnya di- PHK, sinar-X, atau hari-H;
e. Nama jabatan rangkap, misalnya Menteri-sekretaris Negara. 
Dengan ketentuan (b) dan (c) tersebut tampak bahwa perangkaian ke- angka dan angka dengan –an dilakukan dengan menggunakan tanda hubung. Hal ini menunjukan bahwa perangkaian angka dengan unsur lain yang tidak sejenis (bukan angka) dilakukan dengan tanda hubung. Selain itu, pada ketentuan (d) tampak pula bahwa singkatan berhuruf kapital dengan imbuhan atau kata, juga dirangkaikan dengan tanda hubung. (bukan tanda pisah). Hal itu mengindikasikan bahwa singkatan berhuruf kapital,  jika dirangkaikan dengan unsur lain yang tidak sejenis juga ditulis dengan menggunakan tanda hubung.
Sejalan dngan penjelasan tersebut, jenjang akademik strata dua pada program pascasarjana, jika disingkat lebih tepat ditulis dengan menggunakan tanda hubung, yaitu S-2, bukan S2. Huruf S pada singkatan itu merupakan singkatan berhuruf kapital yang dirangkaikan dengan unsur lain (angka 2) yang tidak sejenis. Angka 2 pada singkatan itu juga digabungkan dengan unsur lain yang tidak sejenis, yaitu S. Oleh karena itu, perangkaian kedua unsur yang tidak sejenis itu lebih tepat menggunakan tanda hubung. Hal yang sama juga berlaku bagi jenjang strata tiga, yang disingkat S-3 dan strata satu, yang disingkat S-1, bukan S1. Angka dibelakang singkatan S itu tidak menyatakan jumlah (seperti P4 = 4P). Dengan demikian, angka 1, 2, dan 3 pada S-1, S-2, dan S-3 bukan berarti 1S, 2S, atau 3S, melainkan menyatakan tingkat pertama, kedua, ketiga.       

5 komentar:

  1. kalau dari sisi bahasa memang apa yang dikatakan Bapak itu benar. Tapi kalau kita yg tdk mau peduliu dg struktur bahasa, justeru saya tdk sepakat. karena menyangkut nilai rasa yang melekat pada kata itu. Maka kata S1, S2 atau S3 adalah lebih tepat penggunaannya.

    BalasHapus
  2. Berikhtiarlah untuk melawan rasa psimistis, karena dengannya akan menumbuhkan ketidakpedulian kita terhadap 'sesuatu'. Semua orang bisa bernilai rasa, berpendapat, dan ber...apapun namanya sesuai azas kebebasan berpendapat. Benar menurut Si A belum tentu benar menurut Si B. Kebenaran yang hakiki tentu hanya milik Allah. Sebagai mahluk ciptaan-Nya (dalam konteks duniawi)dalam hidup ini kita semua dikawal oleh berbagai norma. Salah satunya ialah norma berbahasa. Kita sebagai aktivis tidaklah berlebihan jika saya mengajak untuk berbahasa yang baik dan benar dalam formula keilmuan seperti telaah penggunaan S1 dan S-1 yang menjadi pertanyaan banyak orang. Jika seseorang tidak peduli pada sesuatu yang salah, sadar atau tidak pada dasarnya ia tengah menaburkan kemalasan untuk belajar alias menaburkan kebodohan berlanjut. Bersikap positif terhadap bahasa berarti kita sedang menjoenjoeng tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia. Jadi, secara keilmuan 'nilai rasa' tidak beralasan untuk membenarkan penggunaan S1, S2, dan S3 karena angka 1,2, dan 3 dibelakang S tidak menyatakan jumlah, seperti P4 yang menyatakan P empat buah [Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Coba cermati: P4 sama dengan 4P tetapi S2 tidak sama dengan 2S.

    BalasHapus
  3. Saya mendukung pendapat bapak. Memang harus diakui bahwa kita harus punya standar nilai/norma dalam bertindak ataupun bertutur kata.Tetapi pendapat bapak tentang standar penulisan bahasa Indonesia yang baku itu bisa dipertanggungjawabkan? Persoalannya adalah bahwa saya sering juga menemukan kata S-2 atau S-3 yang menggunakan kata yang berbeda. Ada juga yang menggunakan kata S.2 atau S.3 (menggunakan tanda titik ditengah kalimat). Meskipun kata S-2 atau S-3 dan kata S.2 atau S.3 sama-sama menggunakan kata penghubung, jelas memiliki makna yang berbeda. Jangan-jangan kata yang terakhir ini yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya menurut kaidah Bahasa Indonesia yang baku.

    BalasHapus
  4. Ralat komentar, pak! Saya mendukung pendapat bapak. Memang harus diakui bahwa kita harus punya standar nilai/norma dalam bertindak ataupun bertutur kata.Termasuk dalam berbahasa. Tetapi pendapat bapak tentang standar penulisan bahasa Indonesia yang baku itu apa bisa dipertanggungjawabkan? Persoalannya adalah bahwa saya sering juga menemukan kata S-2 atau S-3 yang menggunakan kata yang berbeda. Ada juga yang menggunakan kata S.2 atau S.3 (menggunakan tanda titik ditengah kalimat). Meskipun kata S-2 atau S-3 dan kata S.2 atau S.3 sama-sama menggunakan kata penghubung, jelas memiliki makna yang berbeda. Jangan-jangan kata yang terakhir ini yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya menurut kaidah Bahasa Indonesia yang baku.

    BalasHapus
  5. Memang Pak Ketua! Berpendapat itu boleh, bebas, dan oleh/dari siapapun, tetapi harus dibarengi dalih keilmuan dan/atau dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Mari kita usung terus Bahasa Bima dan Bahasa Indonesia sebagai budaya kebanggaan. Terima kasih, Bapak telah ikut membangun dan mempertahankan budaya. Pertahankan MERAH-PUTIH-mu

    BalasHapus

Berikan tanggapan Anda di sini!